Tenun Koloncucu dan Harapan untuk Anak Cucu

Konten Media Partner
25 Februari 2019 20:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hajja Sehat ketika ditemui cermat pada Senin (25/2) sedang membuat Tenun Koloncucu menggunakan alat tradisional di Rumahnya. Foto: Rizal Syam/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Hajja Sehat ketika ditemui cermat pada Senin (25/2) sedang membuat Tenun Koloncucu menggunakan alat tradisional di Rumahnya. Foto: Rizal Syam/cermat
ADVERTISEMENT
Orang sering memanggilnya Hajjah Sehat. Nama Hajja melekat pada perempuan berusia 57 tahun ini setelah Ia berangkat ke Mekah-naik Haji. Ketika ditemui oleh cermat pada Senin (25/2) di Kelurahan Toboleu, Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara, Sehat tengah mengerjakan tenun bermotif Bunga Popiah, di bagian belakang rumahnya.
ADVERTISEMENT
Kakinya yang mulai kesakitan menjadi kendala baginya dalam menenun. Tak seperti dulu, sekarang ia hanya mampu menenun selama 2 jam. “Saya menenun kalau pagi, setelah itu kalau kaki sudah sakit, saya istrahat kemudian menyiapkan makan siang. Sehabis Duhur baru menenun lagi,”kata perempuan usia senja itu.
Keterampilan menenun ia dapatkan dari orangtua. Keluarganya memang sejak dulu menjadi pengrajin Tenun Koloncucu. Saat ini, menurut Hajjah Sehat, hanya lima orang yang masih melakoni usaha tenun koloncucu ini.
Sehat menuturkan cerita rakyat, tenun Koloncucu adalah hasil akulturasi budaya Ternate dan Buton. Dahulu kala Sultan Ternate menikahi seorang putri dari kesultanan Buton. Karena pernikahan tersebut, sang putri mendatangi Ternate dengan membawa serta beberapa pengawal serta dayangnya. Dari itu, hubungan orang Ternate dengan Buton sangat akrab. Komunitas Buton pun diberi tempat membangun kampung, yang kini disebut Koloncucu.
ADVERTISEMENT
Namun, dari cerita rakyat ini, masyarakat belum mengetahui secara pasti, di era Sultan Ternate ke berapa yang meminang putri dari Buton itu. Dalam catatan sejarah, salah satu yang menyebarkan Islam di Buton adalah Sultan Zainal Abidin, Raja Ternate ke-18 yang berkuasa antara 1486-1500.
Proses pembuatan Tenun Koloncucu. Foto: Rizal Syam/cermat
“Para orang tua kami menjadi bagian dari kesultanan, mereka biasa menenun untuk orang-orang di lingkungan kesultanan,” Kata Sehat, keturunan keempat penenun kain tenun Koloncucu, asal Buton.
Meski begitu, terdapat perbedaan antara kain tenun Buton dengan kain tenun Ternate. Dimana kain tenun Buton cenderung polos tanpa motif, sedangkan kain tenun Koloncucu ini, memiliki berbagai macam motif. Motif-motif tersebut antara lain adalah motif wajik, motif rica, motif bunga tanjung, motif dan popiah. Untuk motif bunga tanjung sendiri menurut Hajjah Sehat biasa digunakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan Kedaton Ternate sebagai ikat rambut.
ADVERTISEMENT
Menghasilkan sebuah kain dengan panjang 4 meter dan lebar 75 cm, Sehat mengaku membutuhkan waktu hingga 2 minggu. “Itu pun harus fokus, tak ada kerjaan lain,” Katanya.
Hajja Sehat saat membuat tenun Koloncucu bermotif Popiah menggunakan alat tradisional. Foto: Rizal Syam/cermat
Proses panjang pengerjaan tersebut dikarenakan alat yang digunakan benar-benar masih tradisional. Bagian-bagian dari alat Tenun Koloncucu ini memiliki nama. Kayu yang berguna untuk merapatkan benang itu disebut Walida. Atau sebilah bambu yang berfungsi untuk merangkai motif yang disebut kari.
Untuk benang sendiri, ia menggunakan berjenis polyester yang dipesan dari Surabaya. Proses pewarnaan benang ini menurut Sehat, melalui proses yang alami, yakni menggunakan warna buah atau daun, dengan teknik pencelupan.
Harga yang dipatok untuk kain Tenun Koloncucu ini sebesar Rp1,6 juta. Sedangkan jika ditambahkan dengan selembar selendang harganya mencapai Rp2,2 juta. Untuk syal dihargai Rp200 ribu.
ADVERTISEMENT
Setiap bulan, selalu ada pembeli yang datang ke rumahnya untuk memesan kain Tenun Koloncucu. “Tak pernah ada sisa, saat ini saja tak ada kain yang sudah jadi. Setiap jadi langsung ada yang datang ambil,” Katanya.
Kain tenun miliknya ini memang banyak peminat, terutama bagi para petinggi daerah. Sebab, kain Tenun Koloncucu biasanya dijadikan cinderamata bagi seorang pejabat ketika datang ke Ternate.
“Biasanya ada bos-bos yang kebetulan pindah tugas, nah anak buahnya kasih ini (kain tenun) untuk cinderamata. Beberapa waktu lalu Ibu Kapolres juga pesan,” Katanya.
Hasil tenun Koloncucu oleh Hajja Sehat sudah habis terjual. Pada Senin (25/5), ketika ditemui cermat, Sehat baru memulai membuat satu tenun lagi dengan motif popiah. Foto: Rizal Syam/cermat
Perempuan yang sudah membuat kain Tenun Koloncucu sejak tahun 1987 ini berharap banyak anak muda yang bisa melanjutkan langkahnya sebagai penenun, agar identitas lokal tersebut tak hilang.
ADVERTISEMENT
“Dulu banyak yang tahu menenun sebenarnya, cuma karena mereka banyak yang kerja kantoran jadi tak lagi menggelutinya. Makanya sekarang tinggal 5 orang,”ungkap Hajjah Sehat. “Saya ingin ada yang terus melanjutkan ini (menenun). Sampai anak cucu nanti masih ada yang tahu menenun,” Imbuhnya.
Digemari Warga Asing
Selain di dalam negeri, Hajjah Sehat mengakui bahwa kain hasil tenunnya ini juga digemari oleh para wisatawan asing. “Banyak bule-bule yang cari untuk dijadikan oleh-oleh,” Katanya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Gita Wibawaningsih, Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian. Menurut Gita, hasil tenun Indonesia ini bisa menghasilkan devisa yang besar bagi Negara. Di Tahun 2016 nilai ekspor kain tenun Indonesia mencapai USD 2,6 juta, sedangkan pada semester 1 tahun 2017 nilai ekspor tersebut mencapai USD 1,37 juta.
ADVERTISEMENT
Negara yang menjadi pasar bagi tenun Indonesia menurut Gita –seperti dikutip dari majalah Kina- adalah Belanda, Italia, Jerman, India, dan Arab Saudi.
---
Rizal Syam