Mural, Moral, Plural

Fadly Fahry S Wally
Penulis, Editor, Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2021 12:51 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadly Fahry S Wally tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia sedang diramaikan oleh fenomena mural di samping upaya menekan angka penularan virus corona. Fenomena tersebut viral lantaran mural-mural yang ditampilkan mengandung makna dan pesan mendalam tentang persoalan lebih besar yang sedang melanda negeri ini. Kehadiran gambar ilustrasi serta kalimat-kalimat yang menjadi caption mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, bahkan turut melibatkan pihak pemerintah. Belum lagi akses jejaring media sosial dengan mudah menyebarluaskan mural-mural tersebut.
Sumber gambar: dokumentasi pribadi penulis (28/08)
Apa itu Mural?
ADVERTISEMENT
Mural merupakan gambar atau lukisan yang menjadikan dinding, tembok atau permukaan luas sebagai medianya. Lukisan pada mural bersifat permanen, sifatnya sama seperti lukisan pada umumnya yang membedakan hanyalah media yang digunakan.
Mural sendiri bukanlah hal yang baru. Mural dikenal sebagai sebuah seni sejak dahulu kala. Prancis adalah negara yang memiliki mural terbanyak di dunia. Dalam sejarahnya, mural ditemukan pada sebuah gua di Lascaux, bagian selatan Prancis, yang diduga dibuat oleh manusia prasejarah 31.500 tahun lalu sebagai cara berkomunikasi dan menyimpan memori.
Pada abad pertengahan di eropa, mural klasik dominannya bertujuan menghadirkan kesan interior yang hidup, sebab mural memang lebih sering dibuat di dalam ruangan pada bangunan-bangunan bergaya Renaisans, Rococo dan Barok. Mural berkembang menjadi tren fesyen di setiap masanya. Sementara di sisi lain kreativitas mural tumbuh dan menjalar di luar ruangan. Ya, mural menjadi media bagi masyarakat urban untuk bersuara di jalanan ketika akses berpendapat begitu sempit. Para seniman mengkategorikannya sebagai seni jalanan. Jika mural di dalam ruangan cenderung eksklusif, maka mural jalanan bersifat umum dan terbuka sebab bisa dengan mudah dilihat oleh siapa saja.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang berbeda dari dua jenis mural di atas ialah berkaitan dengan tema yang diangkat. Mural jalanan biasanya berisi opini terkait persoalan-persoalan sosial dan politik, tentang kritikan yang tak jarang mengundang simpatik. Kritik sosial seringkali ditampilkan lewat mural. Kritik sosial melalui seni telah dimulai sejak awal abad ke-20 dan berkembang hingga sekarang. Pelukis revolusioner abad ke-20 Pablo Picasso misalnya, pada tahun 1937 pernah membuat mural bernama Guernica atau Guernica y Luno untuk memperingati peristiwa pengeboman oleh tentara Jerman di sebuah desa kecil di Spanyol yang merenggut banyak masyarakat sipil. Sejak saat itu banyak seniman mengadopsi seni untuk kritik sosial sebagai gaya untuk menyampaikan pesan kepada publik.
Mural di Indonesia
ADVERTISEMENT
Di Indonesia mural dengan nada kritik sosial telah ada sejak zaman revolusi. Mural-mural berisi seruan propaganda untuk kemerdekaan menghiasi tembok-tembok kota yang bergejolak menghalau gelombang penjajahan. Tulisan “Merdeka Atoe Mati” mungkin menjadi salah satu mural paling fenomenal yang mengobarkan semangat membela tanah air sekaligus menjadi peringatan bagi kedatangan NICA yang mengancam kemerdekaan.
Mural adalah ornamen yang dekat dengan masyarakat urban. Ornamen yang menandai kehadiran suara rakyat, rakyat paling bawah yang tidak mendapatkan tempat dalam sebuah sistem demokrasi. Setidaknya konsep tersebut menjamur di era Orde Baru. Di bawah rezim otoritarian, bentuk kritik sosial lewat seni dianggap salah satu paling efektif. Namun tak jarang karena hal itu pula seniman dan aktivis yang melancarkan protes kepada elite pemerintah harus mengalami persekusi.
ADVERTISEMENT
Sebagai seni, mural mampu membentuk dimensi budaya dan pemahaman tentang pentingnya kekuatan politik, ekonomi, dan sosial dalam gerakan dan tindakan perubahan sosial. Melalui peran para aktivis, kritik sosial menggunakan seni ini mampu melahirkan gerakan sosial yang tidak saja bersuara lewat karya namun juga aksi-aksi terpadu di lapangan yang mampu mempengaruhi dan mengubah arah suatu kebijakan.
Sejak era Orde Lama mau pun Orde Baru mural telah ada mengisi ruang-ruang publik. Konten mural erat dengan kondisi sosial dan politik yang sedang terjadi. Kejatuhan Orde Baru 1998 menjadi sejarah terkelam di mana sejumlah aktivis diburu hingga dilenyapkan tanpa jejak. Kasus Widji Tukul adalah salah satu yang paling nyata dan paling misterius hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Perjuangan rakyat dengan seni kritik sosial sejak zaman revolusi hingga akhir Orde Baru membuktikan bahwa Negara tidak boleh sama sekali mengabaikan suara rakyat. Sebab itulah dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya pemilik sah negeri ini adalah rakyat, maka segala kebijakan pemerintah harus mengutamakan kemaslahatan rakyat di atas segala kepentingan lainnya, sebab jika rakyat sejahtera maka Negara pula akan sejahtera.
Mural yang Viral dan Pesan Moral
Mengapa fenomena mural akhir-akhir ini banyak menyita perhatian khalayak luas termasuk pemerintah? Penghapusan mural oleh pemerintah marak terjadi di Indonesia. Dengan dalih melanggar peraturan daerah, penghinaan atas tokoh tertentu, hingga merusak pemandangan, sejumlah mural dibersihkan kembali.
ADVERTISEMENT
Mural bergambar wajah Presiden Joko Widodo bertuliskan ‘Jokowi: 404 not found’ di Batuceper, Tangerang, menjadi perbincangan ramai di media sosial. Sebelumya sejumlah mural bernada kekecewaan atas berbagai kinerja pemerintah berseliweran di tembok-tembok samping trotar, di gedung terbengkalai hingga rumah warga di lokasi berbeda. Pemerintah setempat mengambil tindakan cepat dengan mengerahkan sejumlah aparat untuk menghapus mural tersebut setelah mendapatkan laporan dari warga.
Tak hanya itu, mural bertuliskan “dipaksa sehat di Negara yang sakit” juga sempat ramai di jagat maya. Salah satu mural dengan tulisan tersebut terletak di Bangil, Pasuruan. Kemudian ada juga mural dengan tulisan “dipenjara karena lapar” di Cibodas ,Tangerang. juga mendapatkan penindakan yang sama oleh aparat. Seniman pembuat mural-mural ini diburu meski akhirnya tidak dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Situasi pandemi yang belum menunjukkan grafik perbaikan membuat masyarakat mulai gerah. Beberapa daerah memberlakukan aturan akses pembatasan sosial ketat bagi masyarakatnya. Aturan tersebut mempersempitkan ruang gerak masyarakat yang harus mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, sementara bantuan sosial tidak cukup memenuhi kompleksitas kebutuhan yang ada.
Di tengah kondisi tidak menentu tersebut masyarakat mencoba menyampaikan keluh kesah. Kritik sosial memang senantiasa digemakan di jalanan agar mudah termobilisasi siapa saja yang melintas. Bila diperhatikan lebih jauh, mural bukan satu-satunya medium kritik sosial selama masa pandemi ini. Media sosial masih berperan aktif dalam penyampaian aspirasi, bahkan mural-mural yang viral tersebut dikenal luas setelah dibagikan sejumlah akun di berbagai platform media sosial.
Berganti era, berganti rezim, kenyataan bahwa hak-hak kebebasan berpendapat dan bersuara nampaknya hanya igauan semata. Tindakan penghapusan mural jelas-jelas sebuah upaya pembungkaman suara rakyat. Tentu kita tidak melupakan mengapa Orde Baru tumbang oleh kekuatan rakyat dan masyarakat, serta hal apa saja yang menjadi tuntutan Reformasi. Demokrasi harus berdiri tegak tanpa kekangan. Ketika demokrasi berat sebelah maka bayang-bayang tirani akan nampak. Pemerintah baiknya tidak mengambil sikap anti-kritik dan menggunakan kekuasaan untuk merepresi kreativitas yang mengandung aspirasi masyarakat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Mural erat dengan pesan moral yang mengajak orang untuk berpikir dan bertindak. Ini yang membedakan mural yang merupakan seni jalanan dengan aksi-aksi vandalisme. Hal ini penting untuk dipahami bersama bahwa mural dibuat bukan untuk merusak lingkungan atau mencemari karya seni. Ada persepsi yang patah ketika pesan-pesan moral dalam mural dianggap sesuatu yang merusak.
Dengan beragam mural sebagai aksi kritik sosial harus dimaknai sebagai bentuk perhatian masyarakat kepada pemerintah, kepada Negara. Itu lebih baik ketimbang perilaku korup yang tumbuh subur beserta penegakan hukumnya yang seringkali absurd, atau aksi terorisme yang tidak berperikemanusiaan. Negara harus melindungi segenap komponen rakyatnya tanpa pandang jabatan dan kedudukan. Siapapun yang mencintai negeri dengan caranya masing-masing layak diberi tempat bukan disumpal ketakutan, apalagi untuk sekadar menyampaikan pendapat.
ADVERTISEMENT
Indonesia didiami komunitas masyarakat plural, artinya setiap warga Negara mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, bukan justru diperlakukan berdasar kelas-kelas tertentu. Jika mengekspresikan pendapat saja dianggap kriminal, bagaimana dengan mereka yang sampai hari ini masih bebas berkeliaran atas kasus korupsi yang merugikan Negara dengan jumlah miliaran bahkan triliunan rupiah, atau mantan napi yang justru dipelihara Negara mendapatkan jabatan-jabatan publik strategis, atau pelaku perusakan alam dengan membabat hutan-hutan yang mengakibatkan kebakaran hutan hingga polusi kabut asap dan bencana banjir atau longsor makin sering terjadi.
Mana sesungguhnya yang bermoral, koruptor bantuan sosial di saat pandemi yang membuat masyarakat kelaparan atau pembuat mural yang menegur pemerintah dengan karya seni yang indah? Untuk apa demokrasi ada jika untuk berekspresi orang kemudian diburu polisi? Siapa melindungi apa? Apa dilindungi siapa? Kedaulatan negeri ini masih milik rakyat atau segelintir elite untuk kepentingan politik? Mari mencermati malapraktik kehidupan di Negara ini sebelum kita semakin dipaksa sehat di Negara yang sakit, eh.
ADVERTISEMENT
Penulis
Fadly Fahry S. Wally, mahasiswa pascasarjana program studi magister Ilmu Politik Universitas Indonesia.