Untuk Djanur: Catatan dari Buruknya Permainan Persib

27 April 2017 13:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Persib vs Arema. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Keputusan Persib Bandung mendatangkan Dejan Antonic, 20 Januari 2016, menjadi sebuah momen yang begitu dilematis bagi bobotoh.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, mereka ingin Persib menjadi sebuah kesebelasan yang luar biasa, seperti yang dilakukan Dejan terhadap Pelita Bandung Raya. Namun, di sisi lain, mereka tidak ingin kehilangan Djadjang Nurdjaman – yang kala itu harus pergi ke Italia untuk menimba ilmu kepelatihan – yang baru saja memberikan masa bulan madu untuk ‘Maung Bandung’ —menyusul suksesnya Djanur mempersembahkan gelar juara liga.
Kepergian pelatih yang sering dipanggil Djanur tersebut adalah sebuah kehilangan yang tak tertahankan. Tak heran, ketika Umuh Muchtar memecat Dejan hampir enam bulan berikutnya, nama Djadjang muncul sebagai kandidat yang paling diinginkan.
***
Romantisme Djanur bersama Persib tampaknya hanya sebuah kisah masa lalu. Belum ada setahun setelah momen itu, muncul suara-suara dari pendukung Persib sendiri yang meminta kepada manajemen Persib agar Djanur dicopot.
ADVERTISEMENT
Keinginan bobotoh untuk melihat Djanur pergi didasari oleh kegagalan Persib meraih hasil apik dalam dua ujian perdana mereka di GoJek Traveloka Liga 1. Menghadapi Arema FC dan PS TNI, Persib hanya mampu meraih total dua angka.
Dua angka memang tak buruk sebagai awal. Tetapi, melihat komposisi skuat Persib yang jauh mengkilat ketimbang dua kesebelasan tersebut, dua angka jelas adalah bencana. Belum lagi dalam dua laga tersebut, Persib bermain di lokasi yang tidak asing bagi mereka.
Situasi di lapangan memang menggambarkan betapa buruknya penampilan Persib dalam dua laga awal. Melawan Arema, Persib tampak begitu kesulitan untuk mencetak gol karena buruknya penyelesaian akhir.
Tiga nama yang diturunkan di lini tengah Persib saat melawan Arema tampil begitu sempurna. Kombinasi Hariono, Gian Zola, dan Michael Essien menunjukkan bahwa ketiganya bisa menjadi tumpuan Persib musim ini.
ADVERTISEMENT
Permasalahan penyelesaian akhir sudah diatasi ketika melawan PS TNI. Namun, tipikal permainan Djanur, yang begitu khas dengan permainan sayap, membuat lawan dengan mudah mengantisipasi hal apa yang akan dilakukan Persib ke depannya.
Pelatih Persib Djadjang Nurdjaman. (Foto: Instagram @igpersib)
Pertandingan melawan PS TNI menjadi peringatan. Tampil di Pakansari, melawan kesebelasan yang kualitas pemainnya jauh di bawah mereka, Persib justru gagal mendapatkan tiga angka.
Beberapa kesalahan bahkan terjadi saat susunan pemain dikeluarkan. Alih-alih memasang Matsunaga Shohei – yang notabene bagus sebagai pemain sayap – di posisi sayap kanan, Djanur malah memasang Angga Febrianto berpasangan dengan Atep yang mengisi sayap kiri.
Masalahnya, dengan memainkan Angga sebagai pemain sayap, serangan Persib jadi tak menakutkan. Serangan Persib di bawah arahan Djanur yang begitu identik dengan permainan dari sisi lapangan menjadi tak kentara.
ADVERTISEMENT
Kesalahan tersebut akhirnya benar-benar terjadi saat laga berjalan. Kreativitas Angga yang minim membuatnya tak memberikan efek maksimal. Matsunaga, yang memiliki tipikal bergerak dari pinggir lapangan lalu melakukan tusukan ke tengah, bahkan terlihat memiliki peran lebih besar ketimbang Angga.
Keberuntungan Persib terjadi saat Fulgensius Billy Paji Keraf dimasukkan pada menit ke-35. Awalnya, Billy memang tak mampu langsung mengubah jalannya pertandingan. Dia seakan masih meraba apa yang dilakukan oleh rekan setimnya.
Djanur beruntung memilih Billy saat itu. Satu gol Persib hadir dari kepandaian Billy membaca permainan lawan. Umpan chip yang dilakukan oleh Billy kepada Atep pada menit ke-51 adalah satu hal yang jarang dilakukan oleh pemain muda Indonesia.
Masalah kembali hadir saat Djanur tak kapok melakukan kesalahan. Ditariknya Billy dan keputusannya memasukkan Carlton Cole beberapa menit kemudian malah menimbulkan persoalan baru. Cole tak terlibat peran apapun dalam laga tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika melihat pembelaan Djanur yang berkata bahwa dua gol PS TNI terjadi karena kelengahan pemain belakang, maka Djanur-lah orang yang harus disalahkan. Mengapa dia memasukkan seorang penyerang jika dia paham konsekuensi lini belakang yang sering terjadi jelang laga berakhir?
Para pemain Persib di sesi latihan. (Foto: Novrian Arbi/ANTARA)
Kesalahan taktik Djanur sebenarnya sudah terlihat sejak laga melawan Arema lalu. Beberapa keputusannya, seperti menarik Zola dan memasukkan Cole adalah sebuah keputusan yang keliru.
Dua laga sudah lebih dari cukup untuk membuktikan problem besar terbesar Persib dan Djanur: Sayap yang begitu dijadikan sebagai tumpuan serta kesalahan taktik jelang laga berakhir adalah sumber terbesar hasil minor yang didapatkan oleh Persib musim ini.
Jika melihat Djanur terus-terusan mengandalkan permainan sayap, terlihat dengan jelas betapa one dimensional-nya dia dan sulitnya dia menemukan rencana B ketika lawan mematikan permainan sayap timnya.
ADVERTISEMENT
***
Dua laga menjadi bukti nyata bahwa serangan Persib yang terkungkung pada dua sisi sayap adalah masalah terberat ‘Pangeran Biru’. Beruntung bagi Djanur, mereka memiliki Febri Hariyadi dan Billy Keraf yang mampu mengobati masalah tersebut.
Jelang laga melawan Sriwijaya FC, Sabtu (29/4/2017), Persib wajib mencoba pola baru untuk menciptakan serangan. Kendati kondisi tak memungkinkan ‘Maung Bandung’ untuk berubah dengan sempurna dalam waktu yang cepat, tetapi mereka wajib melakukan itu karena Yanto Basna dkk. jelas tidak akan membiarkan Persib menciptakan serangan dengan pola yang sama.
Apa yang dialami oleh Pusamania Borneo FC —yang kalah 0-1 dari Sriwijaya— menjadi contoh bagaimana permainan sayap mati di tangan dua bek sayap Sriwijaya, Gilang Ginarsa dan Indra Permana, yang agresif.
ADVERTISEMENT