news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 2)

Konten dari Pengguna
1 November 2018 12:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chiara Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Dok. pixabay.com
Jumpa lagiiii…bersama Maissy di sini… hehehe…Gak deng…balik lagi dengan Chiara aka Chichi di sini.
ADVERTISEMENT
Saya mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan, likes, dan komen tulisan saya sebelumnya. YES YOU!! Thank you for your inputs and for the support. Saya jadi semangat nulis, nih.
Lanjut ceritanya yuk. Pasti pada penasaran selama saya di AS pernah tidak mengalami pelecehan atau harassment karena selembar kain yang selalu menghiasi kepala ini. Jawabannya alhamdulillah enggak pernah. Surprised? Don’t be! Karena beberapa teman saya di AS yang berhijab juga tidak pernah mengalami hal-hal negatif juga.
Saya pernah menanyakan ke Heba Jay, seorang hijabi blogger dan influencer yang tinggal di New York mengenai hal tersebut dan dia pun tidak pernah mengalami ini.
Alhamdulillah, never Chichi. I’m so blessed to grow up in Dearborn, Michigan, where 90% of its population are Moslems. Even after moving to New York, I never had any bad experience related to my identity as a Moslem”.
ADVERTISEMENT
Foto: Dok. Instagram @heba_jay
Bagaimana dengan Houston? Houston itu adalah tuan rumah berbagai perusahaan minyak yang memiliki karyawan dari seluruh belahan dunia. Mahkluknya beraneka ragam.
Negara bagian ini juga dekat dengan perbatasan Meksiko. Penduduk yang muslim? Ada lebih dari 40 mesjid di Houston dan sekitarnya, ada beberapa supermarket dan restoran halal juga. Komunitas muslim tinggal pilih mana yang cocok. Aman deh.
Tapi jujur ada juga beberapa teman yang tidak seberuntung kami. Adalah Reka, adik kelas kami di Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga ASN Kemenlu. Tahun 2008 Reka magang selama 3 bulan di KJRI New York.
Setiap hari Reka commute dari kos-kosan di Queens ke Manhattan. Di suatu pagi ketika dia sedang naik ke salah satu gerbong kereta ada seorang laki-laki yang memaki dan berusaha menarik hijabnya.
ADVERTISEMENT
“Reaksi pertama saya shock pastinya. Saya kira 7 tahun setelah peristiwa 9/11 di NY sudah tidak ada lagi Islamophobia. Saya kira orang-orang AS yang sebagian besar terpelajar sudah terbuka matanya bahwa teroris tidak sama dengan Islam.”
Dalam kasus Reka yang membuatnya lebih sedih lagi adalah tidak ada seorang pun di gerbong tersebut yang berusaha membela atau membantunya ketika hal tersebut terjadi. Eits, jangan men-judge orang sana dulu ya. Kita pun di sini banyak yang lebih memilih untuk diam ketika melihat ketidakadilan terjadi.
Reka dan saya pandangannya sama. Kita sadar bahwa umumnya orang AS itu baik-baik dan menghormati orang lain. Kami punya teman kuliah WN AS yang memperlakukan kami dengan baik, counterpart KJRI juga baik, dan bahkan petugas imigrasi saat saya ataupun Reka datang gak ada yang minta kami lepas hijab untuk diperiksa seperti yang kami berdua khawatirkan pada awalnya.
ADVERTISEMENT
Tapi yang tetap perlu diperhatikan adalah walaupun mereka mayoritas baik tapi ada saja segelintir kelompok ekstrimis yang anti terhadap Islam. That’s not exclusive to the US. We have it here in Indonesia as well and everywhere else in the world.
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 2) (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Dok. www.af.wil.) Master Sargeant Laura Magee, Nevada ANG Chaplain "I want people to know that Islam is not evil."
Cerita yang kurang mengenakkan lagi ya. Tapi kali ini di Houston. Saya kenal dengan Khadijah seorang wanita berumur 50 tahun, karyawan department store Target dekat KJRI Houston.
Saya kalo bosan di rumah ya paling senang cuci mata di Target. Khadijah yang pertama kali menyapa saya ketika kami berkenalan. Dia bilang sering lihat saya di Target. Saya ketawa. Ya, saya ini hobi nyari barang obral. Jadi setiap ke Target selalu ketemu dan say salaam ke Ibu yang satu ini. Suatu hari saya kaget melihat dia memakai wig ketika sedang bekerja.
ADVERTISEMENT
“Khadijah what happened? Are you not allowed to wear hijab to work?” Dengan muka sedih dia bilang “No, somebody hit me on the head with a brick at my apartment complex. So right now I’m a bit scared wearing it. I Just want to be safe. This is the only alternative.”
Hancur hati saya. Kebayang kan sedihnya, takutnya, itulah realita hidup sebagai minoritas. Tapi, untungnya di AS itu penegakan hukumnya jalan. Tindak kriminal seperti ini akan diusut sampai tuntas, ada rekaman saksi dan CCTV. Sayang saya sudah keburu pulang ke tanah air sebelum tahu akhir cerita Khadijah.
Dulu ada teman saya bilang orang Islam itu kalo jadi minoritas pasti diinjek-injek dan dia menyebutkan beberapa negara di mana terdapat kasus umat muslim minoritas yang terbatas kebebasannya, negeri Paman Sam juga termasuk yang ikut disebut. But you know what… I don’t feel that way. I feel most Americans do respect and accept diversity, differences including what religion you belong to.
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 2) (2)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok. flickr by Olivia Ortiz Asenita Fernandez
ADVERTISEMENT
Mereka belum kenal komunitas muslim lebih dekat aja. I know I’m simplifying things but I think thats the basic reason for all these hate. Tak kenal maka tak sayang, timbul curiga kemudian berujung ke konflik.
Kembali ke cerita saya di Houston dan New York, kalo mau menjalankan ibadah saya bebas. Waktu kuliah di Houston saya salat di salah satu bilik individu di dalam perpustakaan atau di ruang komputer Gedung Kantor Master of Liberal Arts.
Selain saya ada si Makhrukh (Pakistan American) dan Fizah (Mexican Palestinian American) yang memakai hijab di angkatan saya. Gak pernah ada yang komplen atau ganggu kami.
Teman yang muslim lebih banyak lagi ada si Shahir dari Saudi Arabia, Mustafa, dari Pakistan, Jahan (Iranian Filipino American) dan saya lupa yang lainnya haha.
ADVERTISEMENT
Kalo ke New York, wadaw, bertebaran orang muslim. Saya paling seneng ketemu hijabers lainnya. Pasti kita sadar akan papasan dengan orang berhijab trus pas deket langsung ngomong “Salaam sister”.
Pernah ngucapin salam sama sister lain di Indo? Kagak pernah kan kecuali kenal. Trus kalo mau sholat, yang menjalankannya di pinggir jalan aja ada. Tapi kalo saya malah geleuh salat di trotoar jalan.
Bukannya apa-apa, walaupun sudah pake karton tebal dan sajadah sebagai alas tetap saja trotoar New York itu rawan kotoran. Banyak guk-guk lucu-lucu suka buang hajat di trotoar soalnya.
Tips saya lebih baik ke toko, ambil beberapa baju trus ke kamar ganti. Sholat deh di sana. Aman kok. Kadang saya suka minta ijin kalo lagi ramai dan gak pernah ada petugas kasih liat muka gak senang atau sebel sama saya.
ADVERTISEMENT
Begitu juga kalo sedang berada di bis menuju ke Washington DC tempat suami bertugas atau di atas pesawat. Biasanya saya tegur penumpang sebelah trus bilang “Excuse me, I’m going to pray for a few minutes. I just want to let you know and I don’t want you to be scared or anything”. Rata-rata mereka akan jawab “Oh no, go ahead.”
Satu lagi nih, kalian tau gak kalo di Terminal 4 John F. Kennedy Fitzgerald Airport (JFK) di New York ada tempat ibadah terpisah untuk umat Islam, Katolik, Protestan, dan Yahudi.
Setiap hari Jumat ada sholat Jumat yang umatnya sampai tumpah keluar ruangan (karyawan airport banyak yang Muslim). Ini bukan satu aula trus semua bisa ibadah rame-rame gitu ya. JFK menyediakan khusus satu ruangan yang cukup besar untuk satu agama lengkap dengan mimbar, kitab, dan perangkat ibadah lainnya.
ADVERTISEMENT
Seingat saya bisa menampung 30-40 jamaah untuk Mesjid. Yang lain lebih kecil karena ada tempat duduk yang memakan tempat. Saya pun pernah penasaran dan mampir ke ruangan (chapel) agama lainnya. Ya, ruangan Yahudi juga. Kepingin tau aja.
Menulis kembali cerita ini membuat saya jadi berkaca pada diri saya sebagai mayoritas di Indonesia. Apakah kita umat muslim mayoritas di Indonesia telah menjaga hak-hak minoritas? Apakah minoritas hidup dengan damai dan bisa menjalankan ibadah dengan tentram di Indonesia? Sudahkah mereka mendapatkan hak-hak mendasar? Mungkin PR kita masih banyak dan jauh karena kita sebagai bangsa harus terus belajar untuk menerima dan menghormati perbedaan.
ADVERTISEMENT
Saya teringat cerita masa kecil mama saya di kota Poso. Beliau cerita dulu waktu di Poso semua orang berdampingan hidup dengan damai. Tetangga kiri orang Arab, tetangga kanan Tiongkok, tetangga depan orang Jawa. Mama sekolah SD-SMP nya di sekolah Katolik padahal Oma itu guru ngaji yang fasih bahasa Arab, hahaha.
Teman-temannya rata-rata keturunan non muslim Tiongkok. Sampai sekarang sudah pindah di Jakarta masih saja temenan baik. Bahkan kalo salah satu dari mereka pesta di rumahnya, sudah disediakan khusus “halal corner” untuk mama dan teman lainnya yang muslim. Manis yaaa.
Waktu saya kecil saya seneng banget diajak ke pesta-pesta teman mama ini. Makanannya enak-enak haha. Teman mama juga lucu-lucu dan heboh kalo ngumpul.
ADVERTISEMENT
Khas orang Sulawesi Utara. Kalo mereka berdoa atau kebaktian saya dan keluarga ya ngeriung sendiri aja gak ikutan. Trus saya dan adik-adik paling suka curi-curi pandang ke “non halal corner” karena penasaran lihat babi panggang yang pake apel dimulutnya hahahaha. Seperti di film-film ituloh. Gak, gak dimakan dan gak kepengen makan.
Namanya anak-anak ya buat lucu-lucuan dan cerita-cerita ke tante dan sepupu lain di rumah. Makanya waktu kerusuhan Poso terjadi, mama sedih banget. Dia bilang di sana itu semua basudara. Islam, Kristen, Kong Hu Cu, Sulawesi, Jawa, Arab, Tiongkok semua sudah seperti saudara. Saling kenal. Saling bantu. Saling jaga.
Sepenggal Cerita Hidup di AS sebagai Triple Minoritas (Bagian 2) (3)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok. pixabay.com
Perbedaan yang kita miliki adalah kekuatan dan potensi terbesar kita, bukan alat pemecah bangsa. Perbedaan itulah yang menyatukan kita dan menenun tali-tali kebangsaan dan karakteristik kita sebagai bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saya optimis dan yakin bahwa kita sebagai manusia menginginkan hidup yang damai dan tentram dengan sesama. Don’t be scared of differences. Embrace it. Learn from it and together we build this great country of ours! I love you Indonesia!!!
Wow, kok akhirnya nasionalis banget hahaha. Sepertinya terpengaruh oleh beberapa mata kuliah di Sekolah Staf Dinas Luar Negeri beberapa minggu ini.
Okey. Sekian dulu. Nanti lanjut lagi yaaa. Oiya, a vote of thanks to Reka and Heba who are willing to share their stories in my piece. Thank you guys.