Konten dari Pengguna
Neurotech: Ketika Startup Mulai Masuk ke Dalam Otak Kita
4 November 2025 11:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
Kiriman Pengguna
Neurotech: Ketika Startup Mulai Masuk ke Dalam Otak Kita
Teknologi neurotech memungkinkan otak manusia terhubung langsung dengan komputer. Inovasi ini menjanjikan masa depan baru, tapi juga memunculkan pertanyaan soal etika dan privasi pikiran.Christabel Mandie Lunardi
Tulisan dari Christabel Mandie Lunardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Teknologi yang Menyentuh Pikiran
ADVERTISEMENT
Bayangkan suatu hari kamu tidak perlu mengetik untuk mengirim pesan, cukup dengan memikirkannya. Atau seorang pasien lumpuh bisa kembali menulis hanya dengan membayangkan gerakan tangannya. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, tetapi perlahan mulai menjadi kenyataan lewat teknologi yang disebut neurotech, singkatan dari neurotechnology.
ADVERTISEMENT
Neurotech adalah bidang yang menggabungkan ilmu saraf dan teknologi untuk membaca, merekam, bahkan memengaruhi aktivitas otak manusia. Startup besar seperti Neuralink milik Elon Musk, hingga perusahaan seperti Synchron dan Blackrock Neurotech, sedang berlomba-lomba menciptakan antarmuka antara otak dan komputer, atau yang dikenal sebagai brain-computer interface (BCI). Tujuannya bukan hanya membantu pasien, tetapi juga membuka potensi baru bagi manusia untuk berinteraksi langsung dengan mesin.
Namun di balik semua keajaiban itu, muncul pertanyaan besar: apakah kita benar-benar siap ketika teknologi mulai masuk ke dalam pikiran kita?
Bagaimana Teknologi Ini Bisa Membaca Otak
BCI bekerja dengan menangkap sinyal listrik yang dihasilkan oleh neuron di otak. Neuron saling berkomunikasi melalui impuls listrik, dan sinyal itu bisa direkam oleh elektroda kecil yang ditempatkan di permukaan atau di dalam otak. Data dari sinyal tersebut kemudian diterjemahkan oleh algoritma komputer menjadi tindakan tertentu, seperti menggerakkan kursor, mengetik huruf, atau mengendalikan lengan robotik.
ADVERTISEMENT
Contoh paling terkenal datang dari Neuralink yang beberapa waktu lalu melakukan uji coba implan pada manusia pertama. Chip buatan mereka berisi ribuan elektroda mikroskopis yang merekam aktivitas neuron dengan presisi tinggi. Dalam uji tersebut, seorang pasien lumpuh mampu menggerakkan kursor di layar hanya dengan berpikir.
Sementara itu, startup Synchron memilih pendekatan yang lebih aman dan tidak terlalu invasif. Mereka mengembangkan alat bernama Stentrode, yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah di dekat otak tanpa harus membuka tengkorak. Teknologi ini memungkinkan pasien mengirim pesan teks hanya dengan membayangkan gerakan tangan.
Kedua pendekatan tersebut menunjukkan satu hal yang sama: manusia mulai menjembatani jarak antara pikiran dan mesin.
Dari Dunia Medis ke Dunia Komersial
Awalnya, neurotech dikembangkan untuk tujuan medis. Teknologi ini menjadi harapan besar bagi penderita kelumpuhan, penyakit neurodegeneratif seperti ALS, atau pasien yang kehilangan kemampuan bicara. Dengan bantuan BCI, mereka bisa kembali berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Namun perkembangan teknologi jarang berhenti di titik itu saja. Ketika kemampuan membaca sinyal otak semakin presisi, banyak perusahaan mulai melihat potensi komersialnya. Bayangkan jika headset neurotech bisa digunakan untuk bermain gim tanpa kontroler, menulis tanpa keyboard, atau bahkan mempercepat proses belajar karena otak langsung terhubung dengan sistem komputer.
Beberapa startup sudah mulai menuju ke sana. NextMind, misalnya, menciptakan alat yang memungkinkan pengguna mengontrol antarmuka digital hanya dengan fokus pandangan dan pikiran. Meta pun tidak mau ketinggalan. Mereka meneliti teknologi serupa untuk proyek metaverse-nya, membayangkan masa depan di mana pengguna dapat berpikir untuk berinteraksi di dunia virtual.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Seperti kebanyakan inovasi besar, neurotech membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, teknologi ini menjanjikan perubahan besar dalam dunia kesehatan dan cara manusia berinteraksi dengan teknologi. Di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang privasi dan etika.
ADVERTISEMENT
Data otak adalah bentuk informasi paling pribadi yang mungkin dimiliki seseorang. Jika algoritma bisa membaca pola pikiran, bagaimana jika data itu disalahgunakan? Siapa yang berhak mengaksesnya, dan bagaimana melindunginya? Apakah perusahaan berhak menyimpan rekaman aktivitas otak pengguna?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar teori. Dalam beberapa riset, para ahli hukum dan etika sudah memperingatkan tentang munculnya konsep baru yang disebut neuro-rights atau hak-hak neurologis. Beberapa negara, seperti Cile, bahkan mulai merancang undang-undang untuk melindungi data otak warganya. Langkah ini penting agar manusia tetap memiliki kendali atas pikirannya sendiri di era neurotech.
Selain itu, ada risiko lain yang lebih teknis. Invasi perangkat keras ke otak tidak sepenuhnya aman. Risiko infeksi, kerusakan jaringan saraf, atau kesalahan interpretasi sinyal bisa berdampak serius. Bahkan dengan teknologi paling canggih sekalipun, kesalahan kecil dalam membaca sinyal dapat menyebabkan perintah yang salah. Dan itu tentu berpotensi berbahaya.
ADVERTISEMENT
Neurotech dan Masa Depan Manusia
Meski masih di tahap awal, neurotech bisa menjadi fondasi bagi masa depan di mana batas antara manusia dan mesin semakin kabur. Jika hari ini chip otak baru bisa membantu pasien lumpuh, mungkin beberapa dekade ke depan manusia sehat pun akan menggunakannya untuk meningkatkan kemampuan berpikir atau mempercepat proses belajar.
Beberapa ilmuwan menyebut masa depan itu sebagai human augmentation, peningkatan manusia melalui teknologi. Mungkin nanti kita tidak lagi mengetik di laptop, tetapi cukup berpikir untuk menulis. Atau kita bisa mentransfer ide langsung ke komputer tanpa perantara bahasa.
Namun semua kemungkinan itu juga menuntut kebijaksanaan. Semakin besar kendali teknologi terhadap otak, semakin penting pula manusia menjaga otonominya. Tanpa kesadaran etis yang kuat, kemajuan ini bisa menjadi pedang bermata dua.
ADVERTISEMENT
Penutup: Antara Teknologi dan Kesadaran
Neurotech membuka babak baru dalam hubungan manusia dan teknologi. Untuk pertama kalinya, mesin tidak hanya berada di tangan kita, tetapi juga berpotensi berada di dalam pikiran kita. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah teknologi ini mungkin, melainkan apakah kita siap menggunakannya dengan bijak.
Ketika startup berlomba membuat alat yang bisa membaca dan menulis pikiran, manusia dihadapkan pada refleksi penting: apakah kita sedang menciptakan alat untuk membantu pikiran, atau justru memberi mesin akses ke hal paling pribadi yang kita miliki, yaitu kesadaran itu sendiri.

