Festival HAM, Sikap Gerakan, dan Komitmen Negara

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
11 Desember 2021 11:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Gordon Johnson from Pixabay. Source: https://pixabay.com/vectors/human-rights-hands-arms-fingers-2099066/
zoom-in-whitePerbesar
Image by Gordon Johnson from Pixabay. Source: https://pixabay.com/vectors/human-rights-hands-arms-fingers-2099066/
ADVERTISEMENT
Semarang, 18 November 2021, di depan Hotel PO, warga simpatisan Aksi Kamisan berdiri tegak menyuarakan tuntutannya. Aksi Kamisan adalah aksi diam yang telah berlangsung sejak tahun 2007. Tujuannya sederhana: tak henti mengingatkan negara akan tanggung jawabnya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia yang melekat dalam diri semua warga negaranya. Lebih spesifik, aksi ini bertujuan mendesak negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lampau.
ADVERTISEMENT
Pada hari Kamis pagi itu, di Hotel yang disebutkan di atas, digelar Festival HAM 2021. Diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Kantor Staf Presiden (KSP) dan pemerintah daerah Kota Semarang. Digelar sebagai agenda tahunan, festival ini telah berlangsung sejak tahun 2014 dengan format konferensi dan dikenal sebagai Konferensi Kabupaten/Kota HAM. Tujuan utamanya, mendorong tata kelola pemerintahan daerah yang berorientasi pada kemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Dari latar belakangnya, jelas bahwa festival ini birokratis.
Skala kegiatan
Festival HAM diselenggarakan sebagai kegiatan berskala nasional. Artinya, terdapat upaya untuk melibatkan pihak-pihak yang menjadi representasi semua daerah di Indonesia. Namun di sinilah letak persoalannya. Karena pada dasarnya kegiatan ini birokratis, maka pelibatan pihak di dalamnya pun tentu birokratis pula. Lantas di mana posisi rakyat sebagai kelompok yang hak-hak asasinya rentan terlanggar dan dilanggar?
ADVERTISEMENT
Aksi Kamisan di depan Hotel PO saya kira cukup menjawab pertanyaan di atas. Ya, rakyat sesungguhnya tidak diberi tempat dalam kegiatan ini. Digelar di hotel-hotel mewah, kegiatan yang mengaku mengampanyekan HAM ini justru melibatkan sejumlah elite politik yang terindikasi sebagai aktor pelanggar HAM.
Pada Festival HAM tahun ini misalnya, terdapat nama Moeldoko sebagai salah satu narasumber dalam sebuah sesi diskusi. Barangkali ada yang mengatakan bahwa mantan Panglima TNI ini berbicara dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Namun pandangan semacam ini justru menyingkap keruwetan yang lebih mendasar: bagaimana bisa seseorang yang terindikasi melanggar HAM, mendapat jabatan strategis di pemerintahan?
Adalah sebuah ironi tatkala pemerintah sebagai pihak dominan, yang justru kerap melakukan pelanggaran HAM, diberi panggung bicara tentang HAM di depan banyak orang yang boleh jadi merupakan korban pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Eks Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati misalnya, menyebutkan bahwa sah-sah saja pemerintah diberi ruang dalam perbincangan soal HAM, namun hanya sebagai pendengar, bukan pembicara.
Belum lagi skala Festival HAM yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Tentu apa-apa yang dikatakan oleh pemerintah tentang HAM bergaung sampai ke telinga banyak orang di seluruh penjuru negeri ini. Alhasil, pemerintah kian dominan, dan cenderung menampilkan diri sebagai pemerintah ramah HAM, padahal praktiknya tak selalu demikian.
Tak hanya di depan warganya, pemerintah juga berkesempatan menampilkan diri ke dunia internasional sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, sehingga berpotensi mengaburkan pandangan dunia internasional atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia. Dalam ungkapan lain, Festival HAM sangat mungkin dijadikan kamuflase oleh pemerintah yang pada praktiknya sama sekali tidak memprioritaskan prinsip-prinsip HAM dalam penyelenggaraan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Gerakan HAM
Konsep dasar HAM menempatkan negara sebagai pemangku kewajiban. Artinya, negara punya kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM segenap warga negara sebagai pemangku hak. Konsep ini berakar pada teori kontrak sosial, sehingga tidak berlaku kebalikan, di mana negara memperoleh hak setelah melaksanakan kewajiban, ataupun warga harus melaksanakan kewajiban sebelum hak-haknya dipenuhi.
Hubungan antara warga dengan negara tentu tak melulu baik. HAM warga negara kerap terabaikan, bahkan dilanggar secara aktif oleh negara. Untuk itulah warga kemudian menuntut negara untuk memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini, yang sering terjadi antara warga dengan negara adalah konfrontasi, alih-alih kolaborasi. Sikap konfrontatif warga (masyarakat sipil) tentu wajar, mengingat kedekatan dengan kekuasaan sangat berpotensi mematikan perspektif kritis masyarakat sipil itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sikap konfrontatif masyarakat sipil dalam memperjuangkan penegakan HAM ini terlihat jelas dalam gerakan-gerakan yang dibangun selama ini. Contohnya adalah Aksi Kamisan sebagaimana disinggung sebelumnya. Gerakan ini telah berlangsung selama 14 tahun, namun tidak pernah berkonsolidasi dengan negara, dari rezim pemerintah yang satu ke rezim pemerintah yang lain. Apa yang gerakan ini lakukan adalah terus mendesak negara untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Contoh lainnya dapat dilihat pada gerakan menuntut keadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Tahun 2015 merupakan salah satu momen besar dalam perjuangan pencarian keadilan oleh para korban pelanggaran HAM pasca G 30 S. Di Den Haag, Belanda diselenggarakan International People's Tribunal 1965 (IPT 1965) yang bertujuan mendesak negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, melakukan penyelesaian secara hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pasca G 30 S.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Rakyat ini melibatkan banyak pakar hukum dan HAM dari berbagai negara. Namun, pemerintah Indonesia pada saat itu tidak menyambut baik upaya pengungkapan fakta ini. Sebaliknya, pemerintah justru berlindung di balik narasi “nama baik” negara. Asumsinya, jika persoalan nasional sebuah negara dibawa sampai ke pengadilan internasional, maka negara yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Inilah kedangkalan yang disesalkan oleh pemerintah kala itu.
Dari konfrontatif ke kolaboratif
Sikap konfrontatif dalam gerakan penegakan HAM tak sepenuhnya hilang. Namun dalam beberapa tahun belakangan, sikap kolaboratif juga mulai kelihatan. Tak jarang, misalnya kita mendengar agenda-agenda yang mengampanyekan HAM, turut melibatkan pemerintah di dalamnya.
Tahun 2016 dapat diambil sebagai contoh. Setahun setelah penyelenggaraan IPT 1965, pemerintah Indonesia menggelar Simposium Nasional dengan tajuk “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”. Kegiatan ini diikuti oleh para sejarawan, pelaku dan saksi sejarah, ilmuwan sosial, hingga para penyintas peristiwa G 30 S. Pelaksanaan simposium nasional ini tidak terlepas dari kegeraman pemerintah atas tindakan kelompok masyarakat sipil yang membawa tuntutannya ke pengadilan rakyat internasional.
ADVERTISEMENT
Tak banyak perubahan berarti setelah simposium nasional ini. Tidak ada tindak lanjut terkait pemulihan hak-hak korban, maupun intensi negara untuk mengklarifikasi pengabaian hingga keterlibatannya dalam peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Dari pengalaman ini, motivasi pemerintah mengadakan agenda-agenda HAM kembali dipertanyakan. Apakah sekadar didorong oleh kegeraman akibat “dipermalukan” oleh rakyatnya? Maka, perubahan sikap gerakan HAM, dari konfrontatif menjadi kolaboratif pun dengan sendirinya turut dipertanyakan. Dari mana inisiatif itu muncul? Apa motivasinya? Apa yang hendak dicapai? Dan seabrek pertanyaan lain yang harus diajukan terus-menerus demi melawan pemapanan wacana tentang HAM. Sehingga HAM di Negara Kesatuan Republik Indonesia tak serta-merta dijadikan sebagai tema festival di hotel-hotel mewah.
Jika peralihan sikap perjuangan penegakan HAM dari konfrontatif ke kolaboratif tidak menyumbangkan kebaikan, alih-alih mereduksi esensi perjuangan, maka tak ada jalan lain selain melanjutkan konfrontasi dengan pemerintah dalam menuntut penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak-hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT