Invisible Hopes: Asa di Balik Jeruji Besi

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
31 Januari 2022 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana pemutaran dan diskusi film Invisible Hopes di Cinepolis Sun Plaza, Medan pada hari Sabtu (29/01). Sumber: Dok. pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pemutaran dan diskusi film Invisible Hopes di Cinepolis Sun Plaza, Medan pada hari Sabtu (29/01). Sumber: Dok. pribadi.
ADVERTISEMENT
Invisible Hopes. Karya dokumenter yang berkisah tentang anak-anak yang lahir dari rahim Ibu narapidana/warga binaan pemasyarakatan (WBP). Akibatnya, mereka, anak-anak imut, lucu, dan bersih tanpa dosa, harus tumbuh di balik jeruji besi yang konon dingin kecuali untuk koruptor.
ADVERTISEMENT
Film yang dinobatkan sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2021 ini disutradarai oleh Lamtiar Simorangkir, sineas muda yang sebelumnya lebih suka menggarap film fiksi. Hal ini dituturkannya pada kegiatan diskusi bertajuk NoBaSi (Ngobrol Bareng Sineas) yang digelar di Literacy Coffee, Medan.
Dalam diskusi yang berlangsung pada Kamis (27/01) itu, Lamtiar juga bercerita ihwal titik balik ketika proses produksi Invisible Hopes. Awalnya, ia memang terbilang sangat bersemangat membuat dokumenter ini, karena ia merasa telah melihat sesuatu yang selama ini tersembunyi (atau disembunyikan?). Sesuatu yang nyaris tak terlihat, bahkan oleh lembaga-lembaga yang seharusnya memberi perhatian.
Lalu, dalam salah satu kunjungannya ke Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan (rutan/lapas), Lamtiar bertemu dengan seorang anak perempuan, anak salah seorang WBP di sana. Lamtiar memperhatikan bagaimana si anak berlari memasuki sel menyusul bunyi bel yang dibunyikan sipir lapas. Ketika anak-anak seusianya terbiasa dengan bel masuk-keluar kelas TK, ia malah terbiasa dengan bunyi bel masuk-keluar sel penjara. Pemandangan tersebut sekonyong-konyong membuat emosi Lamtiar bergejolak. Membuat film dokumenter tentang anak-anak yang lahir dan tumbuh di rutan/lapas itu baginya tak lagi sekadar karena bersemangat, melainkan sebuah keharusan. "Orang-orang harus tahu keberadaan anak-anak ini." batin Lamtiar.
ADVERTISEMENT
Belakangan, Lamtiar bersama timnya, dengan sokongan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sedang giat melakukan roadshow; mengadakan pemutaran dan diskusi film Invisible Hopes. Tujuannya, menurut Lamtiar, adalah untuk menyulut serta meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap isu yang diangkat dalam film. Bahwa banyak anak yang lahir dan tumbuh di penjara karena ibu mereka harus menjalani hukuman.
Pada hari Sabtu kemarin (29/01), Medan mendapat kesempatan untuk menyaksikan film ini. Kegiatan pemutaran dan diskusi diadakan di Cinepolis Sun Plaza Medan. Pemutaran film berjalan lancar, meski diskusi berlangsung sangat singkat karena keterbatasan waktu.
Lamtiar, sang sutradara beberapa kali menyampaikan, bahwa film yang digarapnya bukan untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu. Entahlah, saya tak begitu mengerti, apa urgensi Lamtiar mengatakan hal tersebut. Menurut saya, film tersebut, dengan sendirinya, sudah menunjuk siapa saja pihak yang keliru dan abai, kalau tak mau dikatakan bersalah. Dengan begitu, khalayak bisa menyimpulkan, pihak mana yang lebih bertanggung jawab mencari solusi atas persoalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas masalah
Begitu banyak hal yang bisa dijadikan bahan diskusi setelah menonton film dokumenter ini. Kendati demikian, saya tak berniat membeberkan jalan cerita secara keseluruhan, supaya pembaca yang belum menonton senantiasa penasaran dan akhirnya mencari cara untuk menonton film ini. Satu hal yang sangat saya apresiasi dari karya dokumenter ini adalah keberhasilannya mengurai kompleksitas masalah.
Bukan perkara mudah memang untuk melihat tema film ini sebagai suatu masalah yang kompleks lagi struktural. Penonton yang terlalu emosional bisa saja terjebak pada pemahaman bahwa masalah utamanya adalah WBP perempuan yang melahirkan anak di penjara. Jikalau berangkat dari pemahaman seperti itu, tentu solusi yang terlintas adalah bagaimana caranya membuat anak-anak yang lahir di penjara mendapat perlakuan yang baik; diberi akses kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Juga bagaimana cara agar WBP perempuan yang hamil di penjara mendapat perlakuan khusus demi menyelamatkan anak yang tengah dikandungnya.
ADVERTISEMENT
Namun, bila sebelumnya permasalahan yang diangkat dalam film sudah teridentifikasi sebagai masalah struktural, maka dibutuhkan solusi yang struktural pula. Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan yang bisa menuntun ke akar permasalahan perlu diajukan terlebih dahulu. Misalnya, kenapa rutan/lapas sedemikian padat (overcrowded)? Kasus apa saja yang mengantarkan mereka ke penjara? Layakkah mereka dihukum sebegitu lama untuk kasus-kasus yang seharusnya bisa dicegah kalau saja penegak hukum mengedepankan upaya pencegahan? Bagaimana pertimbangan hukum Hakim saat menjatuhkan hukuman pada mereka; perempuan yang rentan, tertindas dan dibebani banyak hal dalam tatanan masyarakat patriarkis? Sudah sejauh mana upaya pemerintah dalam membina WBP? Dan serentetan pertanyaan lainnya.
Jika Anda sudah menonton dokumenter ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas seharusnya tak asing lagi. Dokumenter apik ini pastilah mengarahkan para penonton kritis pada pertanyaan-pertanyaan di atas.
ADVERTISEMENT
Beberapa pertanyaan saya di atas, misalnya, muncul karena sepanjang film, saya menemukan fakta-fakta di mana sebagian WBP ternyata mendapat hukuman karena tersandung kasus narkoba. Beberapa di antaranya, berdasarkan percakapan yang berlangsung saat perekaman film, bahkan mengaku menyimpan narkoba hanya untuk konsumsi pribadi. Artinya, mereka yang merupakan korban dari peredaran narkoba, yang seharusnya dipulihkan, malah dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang tergolong lama.
Dalam percakapan yang lain, terungkap fakta bahwa peredaran narkoba masih terjadi di dalam rutan/lapas. Maka layak dipertanyakan, bagaimana sistem pengawasan yang diterapkan di rutan/lapas? Adakah keterlibatan petugas? Pertanyaan ini tentu mendesak untuk segera dijawab. Dalam film sendiri, ditampilkan bagaimana WBP yang kedapatan menggunakan narkoba mendapat hukuman berupa penempatan di sel isolasi. Jika upaya yang dilakukan hanya sekadar menghukum WBP pengguna narkoba, tanpa upaya masif untuk membongkar jaringan peredaran narkoba tersebut, maka tak heran kalau kejadian serupa selalu berulang, dan upaya pemberantasan seakan berjalan di tempat.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, kompleksitas masalah itulah yang tervisualisasikan dengan sangat baik dalam film dokumenter ini.
Demikianlah, film Invisible Hopes dikerjakan dengan penuh ketulusan, dengan--sebagaimana diungkapkan Lamtiar ketika memenangi penghargaan FFI 2021--"berdarah-darah". Sebagai filmmaker, capaian dalam FFI 2021 tentu cukup membayar jerih payah Lamtiar dan kawan-kawan. Tapi tak akan pernah lunas, sampai negara (pemerintah) mengambil tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan yang dengan gamblang telah diurai dalam Invisible Hopes. Harapan-harapan itu kini sudah terlihat, cobalah melihat lebih dekat.