Kembali ke Masa Depan

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
9 Juni 2022 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Radio tape. Foto: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Radio tape. Foto: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini, saya "kembali" mendengarkan musik dalam format analog. Saya putuskan membeli tape deck tua renta, amplifier jompo, dan sepasang speaker. Yang terakhir ini dalam kondisi baru, tapi sudah lama tertumpuk di gudang, sampai-sampai kardusnya bau kecoak.
ADVERTISEMENT
Perangkat-perangkat ini tak langsung bisa saya gunakan. Beberapa harus saya bawa berobat dulu ke tukang reparasi yang mencarinya susah seperempat mampus. Maklum, tukang reparasi era kiwari lebih fasih menjamah perangkat audio kekinian yang jauh lebih praktis dibandingkan audio zaman bahela.
Melihat saya membopong pemutar kaset dan penguat suara yang mungkin kali terakhir mereka lihat justru ketika ibu-bapak mereka masih muda, mereka cuma menggaruk kepala disertai tatapan heran. “Kok masih ada orang dengar musik model begini?” jelas mereka tak mengatakan ini secara langsung. Saya saja yang terlampau peka untuk menafsir respons mereka. Hohoho.
Singkat cerita, saya menemukan “dokter” untuk perangkat audio saya di kecamatan sebelah. Tak lama, cuma dua hari, proses pemulihan selesai. Saya pun akhirnya bisa mendengarkan musik yang tersimpan di pita-pita kaset yang sebagian sudah berjamur. Sebelumnya, saat beli tape deck, saya diberi bonus empat buah kaset. Satu di antaranya adalah album Franky & Jane. Dedengkot musik folk/country Indonesia kesukaan Ibu saya yang jadi kesukaan saya juga.
ADVERTISEMENT
Franky Sahilatua, Broery Marantika, Bob Tutupoly. Tiga nama yang saya ketahui dari Ibu saya. Kalau saya coba-coba bayangkan, sebagaimana remaja putri masa kini menggilai Rizky Febian, Tulus, Rendy Pandugo, atau Ardhito Pramono, mungkin demikianlah kegandrungan Ibu saya pada Broery dan kawan-kawannya. Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Hohoho.
Saya kini mendengar musik dari perangkat kuno saya nyaris setiap hari. Kaset pita saya beli secara berkala. Sebagian besar dari pasar loak. Ceban untuk empat buah kaset. Jelas sangat terjangkau. Belum lagi nikmat luar biasa tatkala menemukan album Chrisye terselip di tumpukan kaset Andy Williams dan Connie Francis.
Walkman dan kaset pita yang saya dapat dari pasar loak. Foto: Dok. Pribadi.
Ada pula kaset yang diberi dan dibelikan teman. Tak semuanya mujur. Terakhir, kaset yang diberikan oleh teman saya itu, bersampul Broery Marantika tapi isinya lawak Srimulat. Ada juga yang bersampul KLA Project (Katon is one of my heroes) tapi isinya lagu rohani Kristen. Kampret betul!
ADVERTISEMENT
Belakangan, saya juga dikirimi sejumlah kaset telanjang oleh Abang saya. Pada tengah malam, saya mulai memutarnya satu-satu. Hasilnya, saya menemukan dua album Sheila on 7, satu album Gigi, dan satu album Padi. Menemukan beberapa album ini, rasanya, beh, seperti dikirimi playlist sama ayang! Saya sempat menceritakan penemuan ini pada Abang saya. “Padahal, itu semua bisa kau dengarkan di Spotify.” begitu tanggapannya. Saya lalu menanggapi balik seperti Tejo kepada Surti. “Fuck you!” kata saya.
Walkman dan beberapa kaset pita milik saya. Foto: Dok. Pribadi.
Kembali?
Kata kembali di awal tulisan ini saya beri tanda petik bukan tanpa alasan. Mendengarkan musik dalam format analog, saya tak sepenuhnya kembali. Saya bahkan tak mengenal perangkat audio seperti tape deck di masa kanak-kanak dan remaja saya. Saya cuma punya radio tape. Merknya saya tak ingat. Yang pasti bukan merk berharga mahal. Saya ingat bagaimana saya mendekap radio itu, menyetel frekuensi sampai mendapat siaran yang stabil. Kadang, tak peduli itu pop atau dangdut, saya dengarkan saja sampai saya tertidur. Radio itu jatuh berkali-kali saat saya tertidur. Radio itu mulai tak terjamah sejak saya mendengar radio melalui ponsel. Saya tak ingat pasti ujung nasibnya bagaimana. Tapi speaker-nya masih sempat saya copot dan gunakan untuk mendengar lagu dari ponsel.
ADVERTISEMENT
Selain radio tape, saya juga ingat pernah memiliki beberapa walkman. Lagi-lagi, bukan merk berharga mahal. Saat duduk di sekolah dasar, saya bahkan sering dapat walkman karena menang undian. Kebanyakan saya gunakan untuk mendengar radio saja. Saya tak ingat punya kaset pita kala itu. Tapi saya ingat pernah memutar album Alexandria-nya Peterpan di walkman saya.
Ketika kini hasrat untuk mendengar musik secara analog sekonyong-konyong muncul, saya justru mengenal perangkat dan merk yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Perangkat dan merk yang, jauh lebih bagus dari yang saya kenal di masa lalu tentu.
Wacana fafifu wasweswos tentang barang antik, vintage, retro, atau apapun sebutannya, menurut saya memang relatif. Sesuatu yang sudah ditinggalkan di satu tempat, bisa jadi baru dikenal di tempat lain. Di bidang perangkat audio, faktor ekonomi bisa jadi contoh yang bagus. Dulu, di beberapa tempat, orang-orang barangkali cuma mampu membeli radio tape buatan dalam negeri. Sementara di lain tempat orang-orang sudah mulai bosan dengan tape deck impor dari Jepang.
ADVERTISEMENT
Orang-orang audio analog mungkin sering menanyakan pilihan dan keputusannya: kenapa saya mendengar musik secara analog di masa yang sudah serba ‘klik’ ini? Aris Setyawan, dalam kolomnya di Kumparan Plus, misalnya, coba menjawab dengan menyingkap semesta musik yang terlampau luas. Mustahil kita bisa menjelajahi semua. “Too much music, too little time to listening to.” tulisnya. Maka kembali ke audio analog menjadi alternatif bagi Aris Setyawan. “…demi kenyamanan mendengarkan musik yang lebih baik.” demikian Aris mengakhiri tulisannya berjudul Cara Mendengarkan Musik di Era Kiwari itu.
Pertanyaan serupa juga saya lontarkan pada diri sendiri. Memutar musik secara analog di era digital ini, saya mungkin bernostalgia sedikit. Mendengarkan The Cats sebagaimana Ibu saya dulu mendengarkannya. Tapi selebihnya, yang saya lakukan adalah, kembali ke masa depan yang saya lewatkan! Begitulah, untuk saat ini, saya bisa memberi penjelasan atas perasaan-perasaan paradoksal yang saya alami sejak memutuskan bermain audio analog. Besok-besok saya coba cari penjelasan lain. Sekarang saya mau membersihkan jamur yang menempel di pita kaset-kaset saya dulu.
ADVERTISEMENT