news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sosio-Legal untuk Pendidikan Hukum Indonesia yang Kaku (Bagian II)

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2021 11:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh kasus di awal tulisan ini, saya kira cukup menjadi bukti betapa hukum diajarkan dengan cara-cara yang sangat kaku. Dalam kasus pertama, yakni soal pilihan kata, tampak bahwa pendidikan tinggi hukum tidak memberi ruang bagi eksplorasi bahasa. Padahal bahasa sebagai alat komunikasi sangat krusial dalam menentukan hidup dan mati hukum itu sendiri, sebab pemahaman masyarakat atas hukum diantarkan melalui bahasa. Maka, bahasa yang digunakan untuk mengantarkan pemahaman hukum pada masyarakat haruslah bahasa yang dimengerti oleh masyarakat yang bersangkutan. Sampai di sini, satu persoalan sudah muncul, yakni jarak antara masyarakat dengan bahasa hukum yang digunakan pada umumnya. Seberapa efektif bahasa hukum yang digunakan dalam memberi pemahaman hukum pada setiap komunitas masyarakat?
ADVERTISEMENT
Masalah keterbatasan (atau lebih tepatnya pembatasan) ruang eksplorasi bahasa ini juga tergambar dalam kasus kedua, yaitu kawan saya yang makalahnya, oleh dosen dikata-katai sebagai novel hanya karena diksi yang dianggap puitis, nyastra alias bernuansa sastra. Apabila materi hukum yang ditulis dengan gaya nyastra toh tidak mereduksi esensinya, lantas apa yang dipersoalkan? Lagipula, gaya penulisan adalah sesuatu yang tidak seharusnya diintervensi. Kampus boleh saja menetapkan panduan penulisan karya ilmiah. Namun yang diatur hanyalah hal-hal yang bersifat pragmatis. Contohnya, bahwa pengutipan harus dilakukan dengan tertib. Menyebutkan nama penulis, judul buku, tahun terbit, dan sebagainya. Hal ini guna memastikan rantai pengetahuan tidak terputus. Bahwa sebelum seseorang mengatakan A, orang lain ternyata telah mengatakan A terlebih dulu. Dengan demikian, tindakan plagiarisme bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Sementara gaya penulisan bukanlah sesuatu yang bisa diatur, diseragamkan begitu saja, dan dijadikan pula sebagai penentu ilmiah-tidaknya suatu karya tulis. Ideologi seseorang misalnya, akan menentukan bagaimana gaya penulisannya, seperti; bagaimana ia menghadirkan representasi-representasi dalam tulisannya, bagaimana ia memandang masalah yang hendak dianalisis, dan sebagainya. Maka, gaya penulisan seorang liberal, misalnya, pastilah berbeda dengan gaya penulisan seorang sosialis, sementara mereka berdua bisa sama-sama tunduk pada ketentuan pengutipan.
Kekakuan berikutnya tampak dalam kasus ketiga, yakni kegiatan-kegiatan luar kelas yang kurang mendapat tempat. Kelas para dosen seakan tidak bisa diganggu gugat, sekalipun oleh kegiatan yang sama-sama membicarakan hukum. Kampus hukum, beserta pengajar-pengajar di dalamnya seolah tidak mampu, dan tidak mau melihat korelasi antara apa yang diajarkan di ruang kelas, dengan masalah yang ada di luar kelas. Kuliah hukum cuma sekadar rajin masuk kelas, presensi 100%, mengerjakan ujian, skripsi, lulus, lalu bekerja sebagai pengacara, jaksa, atau hakim. Membicarakan hukum sebagai sebuah gagasan yang berkembang sejak ratusan tahun silam tak pernah terjadi. Pun demikian dengan isu-isu hukum kontemporer yang lahir hampir setiap hari.
ADVERTISEMENT
Di kampus-kampus hukum, kita memang mengenal yang namanya klub debat, kelompok belajar, hingga komunitas peradilan semu (moot court). Namun perbincangan mengenai hukum sebagai sebuah disiplin ilmu jarang berlangsung di komunitas-komunitas semacam ini. Klub debat hanya berpikir soal lomba. Anggotanya pun punya prinsip; it is not what you say, it is how you say it. Tak heran, hanya dengan mengandalkan prinsip demikianlah mereka bisa memenangkan lomba debat.
Hal serupa terjadi dalam komunitas peradilan semu. Fokusnya cuma lomba. Kemenangan pun akan sangat bergantung pada penampilan mahasiswa, yang dengan apik memerankan hakim, jaksa, penasihat hukum, terdakwa, hingga juru sumpah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sesuatu yang pada kenyataan bisa sangat berbeda.
Sementara itu, keberadaan kelompok-kelompok belajar, kerapkali hanya untuk memenuhi kebutuhan pragmatis sebagai akibat dari paradigma pendidikan hukum yang berlangsung. Mahasiswa di dalamnya hanya fokus mendiskusikan bahan pelajaran yang diberikan dosen, guna bisa menjawab soal-soal ujian dengan tepat. Kelompok-kelompok belajar ini bahkan mengumpulkan soal-soal ujian dari tahun-tahun sebelumnya, lalu dipelajari lagi, sehingga soal-soal ujian di tahun-tahun berikutnya bisa diprediksi. Alhasil, dari tahun ke tahun, pendidikan hukum tidak pernah punya dimensi sosial, dan tidak pernah menyentuh realitas.
ADVERTISEMENT
Sosio-legal sebagai sebuah alternatif
Melihat situasi pendidikan tinggi hukum di Indonesia dengan paradigma yang doktriner, dogmatis, dan tidak memberi ruang bagi metode-metode alternatif, tentu pertanyaan yang kemudian muncul adalah tentang apa yang bisa dilakukan untuk menyiasati kondisi tersebut. Studi sosio-legal bisa menjadi jawaban.
Studi atau kajian sosio-legal mengacu pada semua bagian dari ilmu-ilmu sosial yang memberikan perhatian pada hukum, proses hukum, atau sistem hukum. Dengan demikian, studi sosio-legal pada dasarnya bersifat multidisiplin. Disiplin ilmu yang digunakan sebagai dasar menyusun landasan teori dan metodologi sangat beragam, mulai dari ilmu politik, sosiologi, antropologi, administrasi publik, psikologi, hingga ilmu ekonomi.
Keberadaan beragam disiplin ilmu dalam studi sosio-legal dengan demikian merupakan antitesis terhadap studi ilmu hukum arus utama. Jika sifat doktriner dan dogmatis studi ilmu hukum arus utama membuat ilmu hukum tereksklusi, dan pada gilirannya terisolasi dari konteks sosial, maka studi sosio-legal yang multidisiplin mengembalikannya ke konteks sosial, di mana ilmu hukum itu hidup dan berkembang optimal.
ADVERTISEMENT
Penerapan disiplin ilmu yang beragam juga menciptakan semacam tuntutan untuk benar-benar memahami isu secara komprehensif. Beragamnya perspektif yang digunakan tentu mampu memperluas pandangan terhadap persoalan yang hendak dikaji dan dicari pemecahannya. Selain itu, keberagaman tersebut juga akan memberikan kebebasan dalam mengeksplorasi teori yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis masalah, hingga kebebasan dalam mengeksplorasi bahasa yang digunakan dalam penulisan. Dengan begitu, kekakuan sebagaimana saya sampaikan sebelumnya besar kemungkinan tidak akan terjadi. Tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa tulisan ini kurang bernuansa hukum, karena memang dasar berpikirnya tidak hanya ilmu hukum semata, melainkan meliputi ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, kajian budaya (cultural studies), dan lain sebagainya.
Tuntutan untuk memahami isu dan teori secara komprehensif dan mendalam sebagai dampak dari penerapan disiplin ilmu yang beragam juga akan mengantisipasi terjadinya pengutipan-pengutipan yang menyesatkan. Menurut Eko Prasetyo,¹ banyak buku-buku bahan ajar di fakultas hukum hanya berisi adagium-adagium yang jadi hafalan semata. Diucapkan berulang-ulang oleh mahasiswa hukum seolah itulah kebenaran yang tak lagi bisa diganggu gugat. Padahal adagium atau kredo yang dihafalkan itu pun, menurut Eko, ahistoris, manipulatif, dan tidak mencerminkan kenyataan.²
ADVERTISEMENT
Adalah benar bahwa kredo itu tidak selaras dengan kenyataan,³ dan manipulatif.⁴ Namun, sedikit berbeda pendapat dengan Eko, saya tidak ingin menyebutnya ahistoris, alih-alih sebagai pengutipan tanpa basis historis. Bukan adagium atau kredonya yang ahistoris, melainkan pengutipannya yang sering dilakukan tanpa basis historis. Sehingga berujung pada manipulasi alias penyesatan. Menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang teramat asing dalam apa yang disebut dan dikenal orang kebanyakan sebagai hukum.
Pengutipan tanpa basis historis ini kerap dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang hukum. Mulai dari mahasiswa yang tengah ikut lomba debat, hingga advokat yang sedang melakukan pembelaan untuk kepentingan kliennya di pengadilan. Namun mereka tidak benar-benar paham apa makna di balik adagium itu. Tentu ini merupakan hal wajar, karena memang tidak ada kemendesakan untuk memahami makna adagium-adagium itu. Apa yang penting adalah bagaimana adagium itu bisa seolah-olah mendukung argumentasi mereka yang mengucapkannya. Contohnya, seorang anggota DPR yang menggaungkan adagium law as a tool of social engineering untuk menggagas undang-undang yang melanggar hak asasi manusia, atau seorang jaksa yang menggunakan adagium fiat justitia ruat caelum untuk menguatkan tuntutannya terhadap seorang nenek miskin yang mencuri karena kelaparan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan hukum, dan pada gilirannya praktik hukum di ranah profesional yang memprihatinkan sebagaimana dijabarkan di atas akan berjalan langgeng kalau saja tidak ada upaya untuk menegaskan kembali konteks sosial dan kemasyarakatan yang sesungguhnya senantiasa melekat dalam hukum. Studi sosio-legal, kendati masih dianggap sebagai bagian kecil dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia, bisa menjadi awal yang baik untuk mengakhiri kekakuan pendidikan dan praktik hukum di Indonesia.
¹Eko Prasetyo, Brengseknya Pendidikan Hukum di Indonesia, 2015, indoprogress.com. (Diakses terakhir kali pada 9 Oktober 2021).
²Eko mengambil adagium equality before the law (semua orang sama di hadapan hukum) sebagai contoh. Menurutnya, bagi siapa saja yang pernah berhadapan dengan hukum, akan segera mengetahui “kebohongan” adagium ini, karena pada kenyataannya, semua orang tidak sama di hadapan hukum. Perlakuan terhadap pejabat tinggi yang berhadapan dengan hukum, misalnya, pasti berbeda dengan perlakukan terhadap seorang nenek miskin yang berhadapan dengan hukum.
ADVERTISEMENT
³Karena adagium atau kredo adalah sesuatu yang dianggap ideal dan dicita-citakan. Adagium adalah das sollen (that should) alias apa yang seharusnya, bukan das sein (the existence) alias yang ada di lapangan.
⁴Sebagai akibat dari terputusnya rantai pengetahuan hukum. Sehingga, ketika adagium-adagium itu diucapkan, tidak ada yang tahu latar belakang sejarahnya, apa esensinya, kenapa bisa lahir, dan apa tujuan adagium tersebut.