(Kebangkitan) Konservatisme dan Politik Kebencian

Christian Guntur Lebang
Pemerhati isu Pertahanan, Politik, Hubungan Luar Negeri dan Keamanan Siber. Mahasiswa Master of Cyber Security Analysis Macquarie University.
Konten dari Pengguna
3 Februari 2017 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christian Guntur Lebang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa akademisi menyebutkan dunia kini sedang dilanda gelombang kebangkitan konservatisme dan populisme. Fenomena Brexit dan terpilihnya Donald J. Trump menjadi presiden AS disebut sebagai contoh utama penguatan konservatisme tersebut. Mengapa kemudian kecenderungan tersebut terjadi? Tulisan ini menyatakan konservatisme, yang sangat kuat berlandaskan pada nilai-nilai agama, adalah sebuah gerakan politik dengan membuat ujaran kebencian (hate speech) sebagai senjata utamanya dan media memiliki peran besar di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Hate speech menjadi sebuah alat politik yang ampuh karena pada dasarnya hal tersebut mendorong terbentuknya polarisasi kelompok, menciptakan imajinasi ‘musuh bersama’, serta mempertebal jarak antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Dalam bukunya, Hate Spin (2016), Cherian George misalnya menjelaskan bahwa kebencian ini tidak hanya digunakan secara satu arah (ujaran kebencian konvensional, yang digunakan untuk mendiskreditkan kelompok lain yang berbeda), tetapi juga digunakan untuk viktimisasi kelompok untuk kepentingan mobilisasi kemarahan yang lebih besar. George menggunakan istilah offense-giving dan offense-taking untuk kedua hal ini.
Tren konservatisme ini sendiri bukanlah sebuah fenomena tunggal yang terjadi tanpa konteks. Ada kepentingan politik yang memang menunggangi tren tersebut. Tren ini dimulai dengan adanya kelompok-kelompok agama yang memegang peranan penting dalam hate spin, karena agama dianggap memiliki justifikasi yang dapat dipercaya oleh masyarakat untuk keperluan framing tertentu. Kemampuan untuk melakukan framing inilah yang akhirnya menjadikan agama sebagai alat penggerak politik yang sangat efektif. Contoh-contoh framing yang dilakukan menekankan pada bagaimana ada kelompok tertentu yang membenci ‘kita’, yang menentang kepercayaan yang ‘kita’ anut, sehingga ‘kita’ harus menyingkirkan ‘mereka’. Kelompok-kelompok yang disebut George sebagai hate spin agents, menggunakan agama untuk memperkuat basis politiknya dengan melakukan pembenaran ujaran kebencian dan framing seperti di atas terhadap kelompok-kelompok lain, khususnya minoritas. Hal inilah yang dapat menjadi sesuatu yang berbahaya bagi sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, George menjelaskan bahwa fenomena ini bukanlah milik agama tertentu saja dengan menggunakan contoh tiga negara, yaitu India yang mayoritas Hindu, Indonesia yang mayoritas Islam, serta Amerika Serikat yang mayoritas Kristen. Dengan menggunakan contoh ketiga negara tersebut, George memperlihatkan bagaimana agama digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan politiknya yang berakibat semakin menjamurnya hate groups yang meligitimasi tindakan kekerasan kepada kelompok minoritas atas dasar agama.
Salah satu permasalahan utama dalam menghadapi diskursus kebencian ini adalah kenyataan bahwa penyebaran kebencian tersebut sudah banyak ditemukan dalam pendidikan dasar bagi anak-anak dan generasi muda. Dengan masuk melalui institusi-institusi pendidikan serta buku-buku bacaan, kebencian tersebut diproduksi terus-menerus dan disebarkan ke generasi-generasi yang akan datang. Dan bagi aktor-aktor politik, ini adalah sumber daya politik yang sangat berharga. George mengambil contoh bagaimana sebuah NGO bernama ACT! for America di Alabama mencoba melakukan framing kepada buku-buku pelajaran sosial yang memuat pembelajaran tentang pendekatan multicultural merupakan ruang untuk ‘penyebaran ajaran Islam yang sesat’. Di AS juga dapat ditemukan adanya lobi-lobi untuk menulis ulang sejarah agar menuliskan AS sebagai negara Kristen, dibandingkan negara yang mendukung kebebasan beragama untuk semua. Kemampuan framing ini membuktikan bahwa permasalahan penyebaran kebencian juga adalah sesuatu yang sistemik berada dalam berbagai lapisan kehidupan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, peranan Google dan berbagai jenis media berperan besar dalam penyebaran kebencian. Satu hal yang menjadi perhatian adalah karena persaingan untuk menjadi yang tercepat dan paling menarik, kini media-media, baik yang konvensional maupun modern, berlomba-lomba untuk memberitakan sesuatu yang bombastis tanpa memikirikan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat luas. Berita tentang ujaran kebencian dari satu tokoh tentu akan lebih dipilih untuk menjadi liputan utama dibandingkan sekelompok pemuka agama berkumpul untuk menyerukan persatuan. Wajah moderat dari berbagai ajaran agama menjadi tergeser oleh pemberitaan-pemberitaan bagaiamana kebencian trus diproduksi oleh berbagai kelompok dengan kepentingan politik tertentu. Hal ini menjadi salah satu bahan bakar utama menguatnya konservatisme di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari penyebaran ujaran kebencian ini semakin membesar, George melihat pentingnya peran negara dalam melakukan penegakan hukum, masyarakat sipil untuk mempromosikan nilai-nilai yang moderat, serta media untuk tidak ikut serta dalam lingkaran setan penyebaran informasi kebencian tersebut. Negara diharapkan lebih berperan dalam penegakan hukum kepada aktor-aktor yang terbukti melakukan ujaran kebencian tanpa harus takut terhadap tekanan dari kelompok-kelompok konservatif.
Selain itu, negara juga harus lebih asertif dalam melindungi kelompok minoritas dengan mencabut aturan-aturan yang selama ini dianggap mendiskriminasi dan menekan minortas. Hal ini perlu agar aturan tersebut tidak dapat digunakan oleh kelompok-kelompok kebencian tersebut sebagai landasan mereka dalam tindakan-tindakannya, terutama yang menjurus ke arah kekerasan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sipil di sini berperan besar untuk menjadi buffer bagi penyebaran kebencian tersebut di level akar rumput. Secara spesifik George menyebutkan menguatnya kelompok-kelompok kebencian di Indonesia dimulai dengan hilangnya aktor-aktor intelektual Islam yang menyebarkan nilai-nilai keberagaman dan Islam yang moderat. Akhirnya, diskursus yang muncul menjadi Islam yang represif dan keras terhadap kelompok minoritas.
Di sisi lain, seperti yang telah disinggung di atas, media kini memiliki tendensi untuk menjadi yang paling cepat memberitakan serta menggunakan sudut pandang yang cenderung bombastis agar semakin laris. Efek buruknya adalah ada persepsi tertentu yang muncul di masyarakat tanpa disadari oleh pembuat berita itu sendiri. Media harus kembali menjadi corong kebenaran yang memberitakan sesuatu dengan investegasi yang mendalam dan tentu saja dengan didasari oleh kesadaran moral terkait dampak pemberitaan yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT