Dipecat KPK, Saya Kehilangan Nama Baik dan Pekerjaan, tapi Itu Belum Seberapa

Christie Afriani
Seorang spesialis kerja sama, Bagian dari IM57 Institute, dan BTS Army
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2021 10:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
19
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christie Afriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belum genap dua minggu setelah saya dan 57 rekan saya diberhentikan dengan hormat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi per 30 September lalu. Dibilang tidak berwawasan kebangsaan dan anti-Pancasila tapi diberhentikan dengan hormat. Bingung? Ya sama, saya juga. Padahal kalau ada sekelompok orang, diberi label antipancasila dan tidak bisa dibina, harusnya ini red flag untuk BNPT atau Densus 88.
Foto adalah milik Aldo M. diambil pada 30 September 2021 di Gedung ACLC KPK.
Semua berawal dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Tes yang seharusnya tidak diperlukan, namun malah jadi justifikasi pemberhentian 58 pegawai. Lolos atau tidak lolos di dalam tes itu sebenarnya hal biasa. Tidak dalam TWK ini.
ADVERTISEMENT
TWK ini luar biasa karena sebelum tes tidak dijelaskan konsekuensinya. Saat tes materinya ajaib non-substantial. Lalu setelah tes hasilnya tidak dapat diketahui karena dianggap rahasia negara. Saat tes CPNS sudah semakin transparan dengan hasil yang langsung dibuka setelah tes selesai, KPK justru umpet-umpetan dan lempar-lemparan saat ditagih hasil tes oleh peserta. Padahal Pimpinan KPK selalu ceramah tentang nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas, tapi ternyata manis di bibir saja.
Pimpinan KPK Alexander Marwata mengatakan kami sudah resmi menjadi manusia merdeka. Saya memakai kesempatan ini untuk bisa tidur siang sepuasnya. Biasanya, saat kerja di KPK, meski WFH, jadwal meeting pasti padat. Pun setelah diberikan SK-652 oleh Pimpinan, yang membuat saya tidak boleh bekerja meski belum dipecat, setiap hari pasti ada saja kegiatan. Konsolidasi dan diskusi sana-sini. Sebab inilah yang memang harus dilakukan ketika diperlakukan semena-mena. Melawan sekuat-kuatnya.
ADVERTISEMENT
Perlawanan sekuat-kuatnya juga muncul saat saya baru bangun tidur siang tanggal 6 Oktober 2021. Saya membaca tulisan tentang tiga anak perempuan yang dicabuli oleh ayah kandungnya. Seketika saya ingin kembali tidur dan berharap bisa melupakan apa yang barusan saya baca.
Nyatanya saya malah melek seada-adanya dan dada saya bergetar. Kok bisa ada ayah mencabuli anak kandung? Kok bisa laporan Ibu kandungnya dibilang kurang bukti? Kok bisa malah kesehatan mental Ibunya diragukan? Terlalu banyak pertanyaan di kepala. Tidak ada satupun yang bisa saya jawab. Saya marah sekali. Belum selesai saya marah karena perilaku Pimpinan KPK, kemarahan ini bertambah setelah membaca berita tersebut. Pelindung masyarakat yang seharusnya mengayomi, malah menghentikan penyidikan dan sibuk menyebar info bahwa berita tersebut hoax.
Ilustrasi berita pencabulan oleh anak kandung kepada tiga anak perempuannya.
Waktu saya dinyatakan tidak lolos TWK dan akan diberhentikan dari KPK, saya sempat merasa jadi orang yang paling sengsara. Sedih, marah, kecewa, frustasi, semua campur jadi satu. Saya yang sedang kerja, sedang melakukan tugas sebagai pegawai, tiba-tiba dipecat tanpa ada penjelasan. Bagaimana bisa?
ADVERTISEMENT
Saat mencari keadilan atas perlakuan sewenang-wenang ini, saya malah dibilang barisan sakit hati. Bahkan saat sudah ada bukti maladministrasi dan pelanggaran HAM, saya dan rekan-rekan masih tetap dibilang halu. Caper. Bikin rebut. Bikin gaduh. Bagaimana bisa?
Tapi membaca berita tanggal 6 Oktober kemarin membuat saya merenung, dan berpikir tentang segala peristiwa ini. Saya kehilangan nama baik dan pekerjaan. Tapi Ibu dan anak-anak itu, mereka kehilangan lebih banyak dari saya. Tiga anak itu kehilangan masa depan, Ibunya kehilangan kehidupan, dan mereka semua kehilangan rasa aman.
Kejadian yang menimpa mereka bukan membuat saya berpikir untuk berhenti melawan karena kalah sengsara. Tapi justru memaksa saya mengingat bahwa kami ini korban dengan musuh yang sama. Kami sesama warga negara Indonesia yang berhak hidup layak penuh rasa aman, berhak atas pekerjaan, berhak untuk berpikir, tapi justru hak-hak kami dirampas oleh negara sendiri. Saat kami mengadu dan minta keadilan, kami malah dipertanyakan dan cenderung disalahkan. Lalu kami harus apa?
ADVERTISEMENT
Berbagai peristiwa di mana negara gagal melindungi rakyatnya sendiri memang bikin frustasi. Rasanya ingin memberikan yang terbaik untuk negara, tapi hasilnya selalu mengecewakan. Ingin optimistis, tapi kabar buruk lebih banyak dari kabar baik. Ingin mendukung pemerintah, tapi pemerintah sering berpihak kepada kekuasaan daripada rakyatnya. Kalau kita tidak bisa lagi mengandalkan institusi negara, kita tahu bahwa sekarang kita hanya punya satu sama lain. Rakyat harus saling membantu rakyat karena kita menghadapi musuh yang sama. Keserakahan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan.