
Lewat episode sejarah monumental seperti Pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740 atau keterlibatan orang Tionghoa dalam perdagangan awal rempah; ditunjuknya orang Tionghoa sebagai syahbandar (kepala pelabuhan) kesultanan-kesultanan Nusantara; atau keberadaan kawasan permukiman Tionghoa—pecinan—yang berusia lebih dari tiga abad di kota maritim seperti Jakarta dan Banten, kita mengetahui bahwa orang Tionghoa telah hadir di Kepulauan Indonesia jauh sebelum orang-orang Eropa datang pada abad ke-17.
Memori kolektif masyarakat kepulauan rempah-rempah, Maluku, yang saya peroleh dari penceritaan Perdana Menteri Tidore, Amin Faruq, mengingat bahwa “[…] orang-orang Tionghoa, di samping orang-orang Timur Tengah, adalah mitra dagang cengkeh paling awal yang berurusan dengan Tidore, Ternate, dan Halmahera”. Sebagian dari orang-orang Tionghoa ini kemudian memutuskan untuk berkehidupan di Kepulauan Indonesia dan berkembang menjadi masyarakat Tionghoa peranakan.
Melihat keterikatan panjang antara masyarakat Tionghoa dan Kepulauan Indonesia, menarik untuk menaikkan sebuah pertanyaan mendasar: mengapa pandangan tentang orang Tionghoa sebagai orang asing masih bertahan di Indonesia?
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814