Indonesia pelan-pelan semakin dewasa dalam memandang sejarahnya. Setidaknya, hal ini dicerminkan oleh tindakan Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023. Presiden, seusai menerima laporan dan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, mengakui dan menyesalkan terjadinya dua belas pelanggaran hak asasi manusia sepanjang sejarah pascakolonial Indonesia (1965–2003).
Beberapa hari setelahnya, koran Kompas memuat tanggapan dari pihak kelompok korban pelanggaran HAM Peristiwa 1956–1966 yang diwakili oleh Bedjo Untung (pemimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan/YPKP). Bedjo mengatakan bahwa salah satu poin penting yang diharapkan adalah adanya pelurusan sejarah, mengingat “[…] sudah banyak temuan [ilmiah] yang ditulis dari peneliti dalam dan luar negeri tentang kejahatan kemanusiaan luar biasa”. Permintaan Bedjo sangat berdasar, sebab narasi sejarah yang selama ini berkembang di masyarakat merupakan salah satu sarana “penindas” bagi para penyintas pelanggaran HAM.
Dengan narasi sejarah yang berkembang di publik, stigmatisasi dan diskriminasi—setidaknya yang bersifat non-hukum—dilanggengkan. Pengetahuan publik akan sejarah (yang mungkin mereka pelajari di bangku sekolah, diturunkan oleh generasi sebelumnya, atau dibaca secara serampangan di internet) menjadi senjata mematikan yang digunakan untuk membenarkan adanya pembunuhan atau penindasan kepada kelompok tertentu. Ini terasa sekali terutama pada kasus Peristiwa 1965–1966 yang menyasar orang-orang yang dianggap terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentu saja, tidak pula mengerdilkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lain.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814