“Kita tidak bisa memilih bagaimana kita dilahirkan.”
Pernyataan semacam ini gamblang kebenarannya sampai tidak perlu diucapkan (“truisme”, istilah kerennya). Namun, jika sudah demikian jelas, mengapa ia bisa muncul sebagai penegasan dalam kondisi-kondisi tertentu? Terlebih lagi, ia muncul sebagai adegan pembuka di Ngenest (2015) dan A Man Called Ahok (2018), dua film yang menampilkan perjalanan protagonis beretnis Cina mencari posisinya di masyarakat.
(Iya, Cina, bukan Tionghoa. Kenapa? Karena saya Cina. Jadi ya suka-suka saya.)
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814