Benedict Anderson, pengarang Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), menulis: “Masyarakat dibedakan, bukan dari kepalsuan atau keasliannya, namun dari cara bagaimana mereka diimajinasikan.” Di kalimat ini, kata ‘imajinasi’ adalah kata kerja; sebab ia dirancang, diupayakan, serta dialami sebagai bagian dari proses mencipta.
Imajinasi bisa berupa penghiburan yang tak hadir secara fisik. Hal itu terjadi di Hollywood selama Depresi Besar dari 1929 hingga 1939 yang kemudian melahirkan cara tutur film serta gagasan American dream yang serba eskapis. Formula ini bisa menjadi jawaban mengapa Hollywood mampu secara efektif menancapkan imajinasi khasnya di benak banyak orang yang ingin lari dari realitas sehari-hari.
Imajinasi juga bisa berbentuk harapan atas hari esok yang lebih baik. Di Jepang, ia mewujud optimisme yang mulai semarak setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki hingga jelang tahun-tahun economic miracle. Ceceran optimisme itu masih meninggalkan jejaknya pada kesadaran kolektif warga Jepang yang bisa kita lihat di, misalnya, filmografi Hayao Miyazaki atau JRPG (Japanese Role-Playing Game) yang protagonisnya identik dengan keniscayaan bahwa: better days are going to come, you just have to make it so.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814