Menikah karena Utang Budi, Istriku Diam-diam Selingkuh dengan Sopir Sendiri

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
22 Mei 2020 12:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi.
“Ini hadiah dari Ibu,” ucapnya. Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Meski kami menikah tanpa rasa cinta tetapi rasanya tetap saja dia milikku seorang. Tujuh tahun lalu kami menikah dengan rasa terpaksa karena keluargaku memiliki utang budi dengan keluarganya. Mereka menjodohkan kami dengan harapan akan dapat keturunan yang jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, parasku memang cukup tampan dan kaya. Tidak heran kalau orang tuanya bersikukuh menginginkan aku jadi menantu mereka. Sebenarnya wanita yang kunikahi tidak jelek atau kuno dari segi berpakaian hanya saja pikirannya tidak lepas dari pekerjaan.
Sempat aku menganggap kalau perjodohan itu rasanya terlalu kuno di zaman sekarang, apalagi dengan alasan kalau utang budi pada keluarga lain. Sudah klasik. Dengan berat hati aku menyetujui perjodohan itu karena sudah bosan melihat drama perseteruanku dengan mama.
Mama akan menggunakan jurus air mata untuk membuatku luluh. Bagaimana tidak? Meski dengan mudah aku bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari pilihannya tetap saja aku tidak ingin jadi anak durhaka. Kata mereka “Cinta akan tumbuh karena terbiasa,” tetapi sepertinya itu tidak berlaku untukku.
ADVERTISEMENT
Pernikahan kami cenderung individual, aku tidak mau mengurus apa pun untuk kebutuhannya, begitupun sebaliknya. Meski tinggal dan tidur di tempat yang sama, kami tidak tertarik dengan kehidupan masing-masing. Pada awal pernikahan aku tahu kalau dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya tetapi sepertinya usaha dia tidak cukup keras.
Sampai detik ini aku tidak merasa memiliki perasaan apa pun kepadanya. Seiring berjalannya waktu kami sering bertengkar karena kepribadian yang memang bak bumi dan langit. Dia selalu berteriak kepadaku dan aku pun membalas hal yang sama.
Buang jauh-jauh mimpi kedua orang tua kami yang menginginkan cucu yang jauh lebih baik. Intensitas bertengkar semakin sering dan akhirnya kami memutuskan untuk tidak lagi tidur di satu kamar yang sama. Dia memiliki kamar dengan aturannya sendiri begitu pula denganku.
ADVERTISEMENT
Saat itu kami menganggap kalau itu adalah jalan tengah agar tidak terus-menerus bertengkar. Aku sempat mencoba untuk membuatnya terkagum dengan membanjirinya hadiah dan perhatian tetapi sepertinya itu tidak sesuai dengan ekspektasinya. Sebagai pria rasanya ingin sesekali apa yang kulakukan dihargai walau sedikit dan tidak langsung disalahkan karena tidak sesuai harapan.
Sejak itu, aku menyerah dan membiarkan dia melakukan versinya sendiri. Aku merasa kalau kami sudah sama-sama berusaha tetapi sepertinya tidak berhasil. Kami bertahan hanya karena ingin melihat orang tua bahagia, ya hanya sebatas itu. Tidak ada perasaan apa pun di dalam rumah tangga kami, terkadang aku iri dengan teman-temanku yang menikah atas pilihannya sendiri.
Mereka terlihat sangat bahagia sedangkan aku hanya merasa kalau aku sedang menjalani hidupku sendiri. Semakin sering kami bertengkar, aku mulai curiga kalau dia memiliki pria lain. Sikapnya semakin dingin dan selalu menjauh dariku, terlebih kami sudah tidak satu kamar.
ADVERTISEMENT
Suatu hari saat ia sedang mandi, aku mengecek ponselnya. Kebetulan kami memang sepakat untuk tidak mengunci pintu, toh kami suami-istri. Di ponselnya tidak ada pesan dari pria lain, kemudian kucoba periksa tas yang selalu ia bawa. Di dalamnya terdapat jam tangan mewah yang sudah dipitakan.
Aku sudah kegeeran dan menganggap kalau itu hadiah untukku karena sebentar lagi kami merayakan hari jadi pernikahan yang kedelapan tahun. Aku tersipu dan kembali menyimpannya baik-baik di dalam tas itu, ketika istriku keluar dari kamar mandi ia terkejut melihatku.
“Kamu ngapain di sini?” Tanyanya yang hanya dililit oleh selembar handuk “engga, sebentar lagi anniversary mau makan malam di mana?” Tanyaku, “hmm..di hotel temanku boleh? Dia baru launching beberapa bulan ini dan katanya di sana makanannya enak,” jawabnya “boleh,” jawabku.
ADVERTISEMENT
Kemudian aku menghampirinya dan mulai mencumbunya. Seminggu kemudian tepatnya tiga hari sebelum makan malam kami dimulai, aku melihat kalau sopirku mengenakan jam tangan yang sebelumnya kulihat ada di tas istriku. “Kamu beli itu di mana?” Tanyaku “ini hadiah Pak” jawabnya, “dari siapa?” Tanyaku “aduh maaf Pak, saya engga bisa jawab karena orangnya minta dirahasiakan,” balasnya.
Aku tidak kehabisan akal untuk menekannya agar dia mengatakan yang sebenarnya. Selama perjalananku ke tempat rekan kerja yang untungnya cukup jauh, aku terus memutar otak agar dia memberitahuku. Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, hanya saja ingin mendengar dari mulut sopirku.
“Ini hadiah dari Ibu, Pak” jawabnya, wajahku rasanya seperti ditampar oleh seseorang. Rasa-rasanya aku menyesal telah menawarkannya makan malam mewah dan berniat membelikannya berlian yang menawan. Aku melihat wajah sopirku pucat pasi, “mulai hari ini kamu berhenti bekerja,” kataku setelah menghadiri rapat penting itu.
ADVERTISEMENT
Aku kemudian menelepon istriku “sopir itu sudah kupecat hari ini,” ucapku “loh kenapa? Bukannya kerja dia bagus?” Tanyanya “iya bagus kok, sebagus jam tangan mewah yang kamu kasih ke dia,” jawabku “kamu juga mulai hari ini berhenti jadi istriku dan aku akan urus semuanya,” tambahku. Kemudian aku memutus sambungan telepon dan tidak membiarkannya memberi penjelasan.
Bagiku semua sudah jelas. Aku menghubungi kedua orang tuaku dan memberitahu mertuaku. Mereka sangat terkejut dan orang tuaku setuju agar aku menceraikannya. Proses itu kuserahkan pada pengacaraku dan berjalan sangat baik, meski surat resmi kami belum keluar tetapi dia dan sopir itu sudah keluar dari rumahku.