Pengorbananku Dibalas dengan Perselingkuhan Suami

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2021 15:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi
Pernikahanku dengan Dustin sudah memasuki usia 17 tahun saat ia mengalami koma tepat dua bulan. Kami sepakat untuk tidak memiliki anak dengan harapan semua akan tetap romantis seperti awal pernikahan. Jadi aku tidak perlu memikirkan tentang anak yang kutinggal di rumah selagi aku harus mengurus Dustin di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Aku hanya perlu membagi waktu antara pekerjaan kantor dan dirinya meskipun harus kuakui itu membuatku kewalahan. Perusahaan tempatku bekerja sedang banyak urusan yang harus kutangani tetapi di sisi lain aku harus merawat Dustin setelahnya. Aku bahkan lupa mengurus diriku sendiri karena semua perhatian telah tumpah pada dua fokus itu.
Wajah kelelahanku sering kali terlihat oleh para perawat di sana karena tiap kali aku bangun mereka menyelimutiku dengan kain tebal. Tak ada satu pun perawat di lantai itu yang tidak mengenalku bahkan aku hafal betul jadwal pergantian jam kerja mereka. Sering kali aku berbincang selagi mereka mengurus Dustin yang diam tak berdaya. Hitung-hitung melepas penat setelah seharian mengurus pekerjaan dan dikejar waktu untuk segera tiba di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari dokter datang untuk memastikan keadaannya meski tak banyak yang bisa mereka lakukan. Mereka mengatakan kalau Dustin mengalami penyakit langka yang masih dicari obatnya. Memasuki bulan ketiga, untuk pertama kalinya Dustin membuka mata dan bertingkah seolah ia hanya tidur satu malam. Aku adalah orang pertama yang melihatnya terbangun dan segera kunyalakan alarm untuk memanggil dokter juga perawat.
Dua dokter dan tiga perawat datang memenuhi ruangan tempat suamiku dirawat. Dustin terlihat sangat bingung melihat banyak tenaga medis yang datang ke ruangannya. Dokter menjelaskan kalau ia mengalami koma selama tiga bulan karena penyakit langka yang masih mereka observasi. Mendengar kalimat itu, wajah Dustin berubah menjadi gelisah seolah dia telah melewatkan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Semua tenaga medis kembali ke tempat mereka setelah mendapatkan beberapa informasi dari Dustin. Selama itu aku hanya terus memerhatikan gerak tubuh Dustin yang masih saja gelisah. "Apa yang kamu cemaskan?" Tanyaku sesaat setelah semua tenaga medis keluar dari ruangan, "pekerjaanku, aku harus menghadiri beberapa tugas luar kota yang sangat penting" jawabnya. "Mereka sudah tahu kondisimu dan pasti sudah mengirimkan orang lain untuk menggantikanmu" balasku.
Dustin menatap wajahku lekat-lekat dengan sangat jengkel "kamu tidak tahu betapa berartinya pekerjaan ini untukku" sahutnya. Aku hanya bisa menutup mulutku rapat-rapat, takut salah mengucapkan kalimat yang membuat penyakit Dustin semakin parah. Aku mengambil lap dan wadah besar yang sudah kuisikan air hangat untuk memandikan suamiku "tidak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri di kamar mandi" sahutnya dengan nada ketus.
ADVERTISEMENT
Aku tetap diam dan mengembalikan wadah itu ke tempat seharusnya. Lamanya Dustin di rumah sakit membuat para perawat memenuhi ruangan itu dengan beragam peralatan untuk aku mengurusnya. Aku sengaja duduk di sofa yang letaknya berjauhan dengan ranjang suamiku. Kukira setelah terbangun dia akan kembali bersikap manis padaku, persis seperti yang selama ini kurindukan darinya. Sayangnya, semua itu hanyalah angan-anganku saja.
Tiga hari setelah Dustin terbangun dari koma, dokter memperbolehkan dia untuk beristirahat di rumah. Aku mengurus semua administrasi dan biayanya kemudian membantu dia mengemas semua barang. Sesampainya di rumah, bukannya beristirahat ia justru berganti pakaian dan bersiap pergi. "Mau ke mana kamu?" Tanyaku, "aku harus segera menemui atasanku di luar kota" jawabnya.
ADVERTISEMENT
"Kamu baru saja terbangun setelah tiga bulan koma dan sekarang kamu akan pergi ke luar kota?" Tanyaku dengan nada tinggi. "Sudah kubilang pekerjaan ini sangat penting bagiku! Apa kamu mau aku kehilangan pekerjaan?" Bentaknya. Aku tidak mau Dustin kehilangan pekerjaan tetapi juga tidak ingin dia pergi setelah tersadar dari koma selama tiga bulan. Namun bukan Dustin namanya jika ia tidak keras kepala, ia tetap pergi meski aku sudah berulang kali melarangnya.
Dustin pergi selama satu minggu dan ia sama sekali tidak bisa kuhubungi. Aku menghubungi kantornya tapi mereka justru berbalik bertanya padaku tentang Dustin. Mereka bahkan tidak tahu kalau Dustin sudah sadar dan keluar dari rumah sakit. Pernyataan itu tentu saja membuatku sangat bingung dan hanya bisa menunggunya pulang untuk meminta penjelasan.
ADVERTISEMENT
Di hari kedelapan, aku yang baru meletakkan tubuhku di atas kursi makan mendengar bunyi bel dari luar. Dengan malas aku bangkit dan mulai berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Aku terkejut ketika melihat Dustin sudah berdiri di sana dengan koper besarnya, tanpa menyapa ia langsung masuk dan menarik kopernya ke kamar kami. Aku bergegas menutup pintu besar itu dan mengikuti Dustin.
"Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa kantor tidak tahu kalau kamu sudah keluar dari rumah sakit?" Cecarku, "aku ingin kita bercerai" jawabnya. Aku yang masih mau menanyakan banyak hal terdiam mendengar jawabannya. Jawaban yang sama sekali tidak menjawab pertanyaanku tetapi sukses membuatku sakit seperti dihujam banyak belati. "Apa? Kamu bilang apa?" Tanyaku, "kamu bertanya ke mana selama ini aku pergi? Aku pergi ke rumah kekasihku untuk menjelaskan apa yang terjadi dan aku ingin cerai agar bisa menikahinya" jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dustin membuka kemeja yang ia pakai dan pergi ke kamar mandi begitu saja. Ia meninggalkan aku yang tak bergeming mencerna semua informasi baru yang menghancurkan seluruh hidupku. Tanpa dikomando satu per satu air mata sudah meluncur tanpa rintangan membasahi pipiku. Aku menyeka air mata itu dan pergi ke dapur untuk memasak makan malam.
Di dapur berulang kali aku menahan teriakkanku dan tetap berusaha mengendalikan perasaanku. "Aku tidak ingin terlihat lemah di mata Dustin!" kecamku pada diri sendiri. Aku memasak makanan kesukaan Dustin untuk terakhir kalinya, tentu saja dengan perasaan carut-marut yang seolah meronta untuk dilampiaskan. Pipiku mulai memerah menahan tangis yang sejak tadi ingin tumpah membawa pergi semua kekecewaan.
ADVERTISEMENT
Makan malam sudah jadi dan Dustin menuruni tangga tanpa rasa bersalah untuk menyantap makan malamnya. Pertama kalinya dalam hidupku merasakan makan malam yang sangat sunyi tanpa ada perbincangan tentang apa yang kami lewati hari itu. Tak ada tawa. Tak ada canda. Bahkan kami tidak saling menatap. Seolah semua kebekuan itu melahap habis kehangatan yang 17 tahun kami rasakan.
Aku menyelesaikan makan malamku lebih cepat kemudian naik ke kamar untuk membersihkan diri. Seperti biasanya. Di dalam kamar mandi aku menangis, membiarkan suara air yang memancur menenggelamkan suara tangisku. Sakit rasanya mengingat semua yang sudah kami jalani. Kami bangun. Semua pengorbanan yang telah kulakukan selama tiga bulan terakhir harus sia-sia. Hubungan kami terasa baik-baik saja, tak ada perubahan besar di diri Dustin saat ia memiliki kekasih di luar sana.
ADVERTISEMENT
"Ia sangat pandai" pikirku. Pandai dalam memainkan peran sekaligus perasaanku. Satu jam aku berada di kamar mandi dan merasakan hangatnya air yang membasahi tubuhku. Aku keluar dan tak menemukan Dustin di kamar, seperti malam-malam sebelumnya. Aku berganti pakaian dan melakukan rutinitas malamku seperti biasa. Susah payah aku menyembunyikan perasaanku. Menegarkan hati seolah semua baik-baik saja.
Aku naik ke tempat tidur lebih dulu dan mematikan lampu tidurku. Tak lama aku mendengar Dustin masuk ke kamar dan tidur di sampingku. Ia terlihat tanpa beban setelah mengakhiri hubungan yang selama 17 tahun kami jalani bersama. Aku mendengar dengkuran Dustin tak lama ia merebahkan tubuhnya. Menunggu beberapa saat, aku memberanikan diri untuk berbalik dan menatapnya untuk terakhir kali.
ADVERTISEMENT
"Besok kita akan pergi ke pengadilan dan aku tidak akan bisa terganggu oleh dengkuran itu lagi" batinku. Air mata mulai menetes membasahi bantalku tetapi buru-buru aku menyekanya agar Dustin tidak mengetahui kelemahanku. Semalaman aku tidak bisa terlelap, tetapi pagi-pagi sekali aku sudah bersiap mengenakan pakaian terbaik bahkan telah selesai memasak sarapan. "Kamu sangat bersemangat untuk mengakhiri hubungan ini" ucap Dustin saat ia turun ke meja makan.
"Ya karena itu artinya aku harus terbebas dari dengkuranmu di malam hari" jawabku, Dustin terkekeh sambil menyantap sarapan kesukaannya. "Maaf itu sudah jadi kebiasaanku" jawabnya, "sebenarnya aku cukup terbiasa selama 17 tahun terakhir tetapi karena ini permintaanmu maka semua harus terjadi" balasku. Dustin meletakkan alat makannya dan menatapku sendu "maaf karena semua harus berakhir seperti ini, kamu adalah istri yang hebat dan aku menyukai semuanya" balas Dustin.
ADVERTISEMENT
Ingin rasanya aku meneror calon mantan suamiku itu dengan beragam pertanyaan. Meminta penjelasan. Kalau semua terasa baik-baik saja lantas mengapa dia melakukan semua ini padaku? Namun niat itu kuurungkan, aku tak akan kuasa menahan tangis jika mengutarakannya dan aku tidak ingin terlihat lemah di saat-saat seperti itu. Aku terdiam dan kembali menyelesaikan sarapanku lebih dulu "kamu bersiap, aku harus menyerahkan beberapa berkas ke kantor lalu menjemputmu. Kita akan ke pengadilan hari ini" ucapku.
Aku meletakkan piring kotorku ke tempat cucian piring dan berbalik untuk mengambil tas kerjaku. Aku memasuki mobil, menyalakannya, dan bergegas pergi dari sana. Sebenarnya aku berbohong pada Dustin, pagi-pagi sekali aku sudah menghubungi atasanku untuk meminta izin hari itu. Hanya saja aku tidak tahan dengan topik pembicaraan Dustin yang membuat luka dihatiku semakin menganga.
ADVERTISEMENT
Mobil melaju cukup cepat tetapi bukan ke arah gedung tempat aku bekerja melainkan ke kafe saat kami bertemu pertama kali, 19 tahun lalu. Tidak ada yang berubah dari kafe itu, hanya beberapa wajah asing yang baru kulihat. Aku memesan hot white mocca, seperti biasanya, aku dan Dustin sering pergi ke sini bahkan setelah beberapa tahun pernikahan.
Namun belakangan tidak lagi, selain lokasinya yang sangat jauh, Dustin sangat sibuk dengan pekerjaannya. Setelah menghabiskan satu cangkir white mocca dan mengenang semua memori bersama Dustin, aku bergegas kembali menjemputnya. Aku tak perlu keluar dari mobil atau mengirimkannya pesan, cukup menekan klakson keras-keras agar dia cepat keluar. Meski caraku ini membuat beberapa tetangga berteriak karena terkejut.
ADVERTISEMENT
Dustin segera keluar dan menggantikan posisiku yang menyetir, sedangkan aku bergeser ke kursi satunya. Dustin sangat benci jika aku yang menyetir mobil karena menurutnya itu amat sangat merendahkan dia sebagai laki-laki. Di perjalanan menuju pengadilan, kami terdiam dan aku hanya menoleh ke arah berlawanan untuk melihat situasi jalan. Namun seperti ada sesuatu yang menyuruh aku untuk menoleh ke depan, ketika memutar kepala aku sangat terkejut melihat sebuah truk sedang mengarah ke arah kami.
"DUSTIN AWAS!!" Teriakku, seketika Dustin membanting stir dan kami menabrak satu pohon besar. Sejak itu aku tidak mengingat apa pun dan terbangun di ranjang rumah sakit. Beberapa saat setelah membuka mata, hal pertama yang ada di pikiranku adalah Dustin. "Di mana Dustin?" Tanyaku pada perawat yang ada di sana, ia segera menekan bel untuk memanggil dokter.
ADVERTISEMENT
Para dokter berhamburan masuk ke ruangan tetapi aku mulai menyadari kalau aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Dokter mengatakan pada saat kecelakaan kakiku terjepit cukup lama dan membuat beberapa saraf tidak berfungsi. Singkatnya, aku harus berada di kursi roda entah sampai kapan. Mendengar penjelasan dokter, hatiku semakin menciut membayangkan kesialan yang akan aku jalani.
Perceraian. Cacat. "Lengkap sudah penderitaanku" pikirku. Tak lama setelah tenaga medis itu keluar, Dustin masuk ke ruanganku. Ia tampak sehat dan baik-baik saja. Ia tersenyum sendu ke arahku, "maafkan aku, semua ini salahku. Aku akan merawatmu" ucapnya. "Aku tidak bisa meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini" tambah Dustin. Aku menghela napas lega, "setidaknya penderitaanku tertahan satu hingga aku bisa berjalan lagi" batinku.
ADVERTISEMENT
Dustin mulai merawatku 24 jam sejak hari itu bahkan hingga aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Dustin membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah dan merawat diriku. Ia bahkan mengantar dan menjemput aku dari kantor, seperti awal-awal pernikahan. Tiga bulan Dustin menggantikanku mengurus rumah, tiba-tiba ia menyuguhkan makan malam romantis ketika aku pulang dari kantor.
Aku mengernyitkan dahi, terheran-heran dengan tingkah Dustin yang seperti bukan dirinya. Dustin menggendongku hingga ke kursi kemudian menyuguhkan makanan dan menuangkan aku segelas wine. Kami menyantap makan malam itu meskipun otakku masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Aku tahu sekarang alasanmu ingin makan di luar, ternyata butuh waktu untuk memasak tetapi menghabiskannya dalam sekejap" ucapnya.
Tiga bulan menggantikanku, Dustin kini tahu alasan-alasan aku terlihat seperti zombi atau selalu merengek untuk makan di luar. Malam itu tak hanya makan malam tetapi menjadi malam yang romantis bagi kami berdua. Dua bulan kemudian, dokter menyatakan kalau aku sudah bisa berjalan kembali dengan kakiku dan di saat bersamaan aku menemukan kalau aku mengandung anak Dustin.
ADVERTISEMENT
Aku memutuskan untuk menyembunyikan kabar itu karena tidak ingin Dustin merasa terpaksa untuk tetap bersamaku. Sesampainya di rumah, ketika Dustin pergi membelikan obat untukku, aku mengemas semua barangnya dan kuletakkan di depan pintu. Dustin yang sudah kembali sangat terkejut melihat beberapa kopernya sudah ada di depan pintu. Ia bergegas memasukkan kembali koper-koper itu.
Melihat tingkah Dustin membuat aku lagi-lagi mengernyitkan dahi. "Aku tidak ingin pergi" katanya, "aku sudah meninggalkan kekasihku selagi kamu berada di rumah sakit. Aku jatuh cinta padamu lagi, maaf karena sudah sempat membuatmu sakit hati" tambahnya. Mendengar penjelasan Dustin membuat mataku semakin berkaca-kaca, aku tak kuasa lagi menahan tangis yang sudah kupendam beberapa bulan.
Dustin memelukku dan mengatakan kalau banyak perawat yang menceritakanku di rumah sakit. Saat itu aku dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dustin dan dia mendengar banyak cerita tentangku. "Aku tidak tahu kalau kamu merawatku selama itu, kamu harus bekerja pagi-pagi dan menjagaku hingga larut malam. Mereka mengatakan betapa beruntungnya aku memiliki istri sepertimu" cerita Dustin.
ADVERTISEMENT
Aku sangat bersyukur ia tersadar berkat cerita perawat yang menyaksikan pengorbananku saat Dustin tak berdaya di rumah sakit. Dustin memelukku dengan sangat erat dan aku menangis di pelukannya "aku tahu kalau wanita itu belum tentu bisa melalukan apa yang kamu lakukan untukku" bisiknya. Tangisku semakin menjadi-jadi, semua kesialan berubah menjadi bahagia, lebih dari yang kuminta.