Serasa Bebas, ART Baru Menjadikan Tempat Kami sebagai Rumah Bordil

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2021 14:43 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi
Kejadian itu sekitar lima tahun lalu, aku ingat betul seluruh detail yang aku hadapi malam itu. Tentu saja aku ingat! Saat itu aku sudah berusia dua puluh lima tahun dan tidak mungkin pula aku tidak mengerti apa yang terjadi. Tahun 2016 silam Bi Minah, pengasuhku sejak bayi meninggalkan kami untuk mengurus ibunya yang sudah renta di kampung. Ia sangat berat meninggalkan rumah dan keluarga yang sudah bersamanya selama hampir dua puluh tiga tahun, begitu pula dengan kami.
ADVERTISEMENT
Tenggorokanku begitu tercekat saat memandangi Bi Minah mengepakkan semua pakaiannya ke dalam tas besar lusuh berwarna hijau. Aku sangat yakin dulu tas hijau itu berwarna terang dan entah sudah berapa lama akhirnya warna itu memudar dan menyisakan sedikit kejayaannya. “Bibi harus pergi? Engga bisa ibu Bibi saja yang tinggal di sini bersama kami?” Tanyaku sambil berusaha sekuat tenaga menahan air mata, “tidak bisa Non, ibu Bibi sudah renta sekali dan hanya bisa berbaring di pendopo. Beliau tidak mungkin dipapah dan dimasukkan ke mobil untuk menempuh perjalanan jauh ke Jakarta” jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
Aku tahu Bibi juga sedih, tapi dia tidak bisa meninggalkan kewajibannya begitu saja sebagai seorang anak. Bi Minah dulu punya keluarga sendiri tapi tak lama sejak ia pindah ke Jakarta, ia bercerai karena suaminya ketahuan selingkuh oleh warga kampung sedang kumpul kebo dengan kembang desa. Mereka belum sempat punya anak tapi Bi Minah justru bersyukur kalau anaknya tak perlu memiliki ayah bajingan seperti mantan suaminya. Bi Minah selalu bersemangat kalau menceritakan pengalaman pahitnya itu. “Sudah nganggur, ga bisa apa-apa, ehh bini kerja keras dia malah enak-enakan ngangkangin perempuan” begitu ucapnya saat mengungkapkan kekesalannya.
ADVERTISEMENT
Biasanya aku hanya terkikik dan menepuk pelan bahu Bi Minah. Dia sangat terampil dan cekatan dalam mengurus aku juga rumah kami, selain itu gaya bicaranya juga sangat lucu. Aku sayang sekali dengan Bi Minah tapi sore itu di tengah hujan deras, aku berusaha sekuat tenaga mengumpulkan nyali untuk bisa berpisah dengan bibi kesayanganku. Aku tidak menyangka perpisahan dengan seorang asisten rumah tangga akan bisa semenyakitkan itu, “Bibi janji yaaa harus kabari aku terus” ucapku merajuk layaknya anak kecil, “iya Non, nanti Bibi juga pasti akan rindu sama Non dan keluarga ini. Banyak sekali kenangan indah sama kalian, belum lagi pengalaman Bibi mengurus Non Sinta. Non yang membuat Bibi merasa punya anak selama ini. Non baik-baik yaaa, jangan kemakan gombalan laki-laki. Kalau nikah dengan Den Robby jangan lupa undang Bibi di kampung yaaa, Bibi pasti datang buat Non” ucapnya yang sukses membuat bendungan air mataku tumpah ruah.
ADVERTISEMENT
Sore itu aku dan Bi Minah sama-sama menangis di kamarnya yang hanya seluas tiga kali dua meter. Keesokan harinya Bi Minah berpamitan dengan seluruh keluargaku di Stasiun Gambir, “saya pamit ya Bu, terima kasih sudah baik sama saya dan keluarga, tolong dimaafkan kalau saya pernah ada salah kata atau perbuatan selama bekerja sama Ibu dan keluarga” ucap Bi Minah sambil menggemblok tas dan berdiri di samping tas jinjing besarnya yang berwarna hijau pudar. “Iya Minah, sama-sama ya. Maafkan saya dan keluarga kalau ada salah, terutama soal Sinta. Yaaa kamu tahu sendiri bagaimana sifat keras kepalanya” jawab Ibu. “Iya Bu, justru Non Sinta yang akan saya rindukan sekali. Wong dari kecil sampai sebesar ini sama saya terus ya Bu hehe” balas Bi Minah. Kami pun tertawa dan masing-masing dari kami memeluk Bi Minah, aku yang paling lama seolah tak boleh lepas dari pelukannya.
ADVERTISEMENT
Beberapa menit kemudian kereta dengan tujuan kampung halaman Bi Minah pun tiba, ia bergegas pergi meninggalkan kami yang tak bisa mengantarnya hingga ke peron kereta. Ketika Bi Minah membalikkan badan, air mataku mulai mengalir tanpa harus dikomando “sudah, Bi Minah akan baik-baik saja. Kalau kangen tinggal telfon atau kita datang berkunjung ke sana” ucap Ayah menenangkan aku, aku yang sudah terisak hanya menganggukkan kepala dengan lemas. “Ya sudah, ayo kita pulang. Kita harus segera cari orang untuk membantu di rumah” timpal Ibu, di perjalanan kami berdiskusi dengan beberapa saudara dan kerabat melalui telepon untuk mencari pengganti Bi Minah. Akhirnya setelah hampir seminggu mencari, ibu mendapatkan Yulia dari teman arisannya.
Singkatnya, Yulia lumayan cocok denganku. Usianya masih terbilang muda bahkan dua tahun lebih muda dariku. “Mungkin dia cocok untuk jadi teman mengobrol dengan kamu Sinta” ucap Ayah saat mengambil keputusan untuk menerima Yulia bekerja di rumah kami. Dua minggu setelah keputusan itu diambil, Yulia pun datang ke rumah kami diantar oleh salah satu teman arisan ibu. Ayah menyuruhku untuk mengantar Yulia berkeliling dan menjabarkan apa saja tugasnya di rumah kami. Yulia berparas sangat manis dengan postur tubuh seperti jam pasir, ia terlihat sangat lugu dan santun. Ciri khas wanita desa pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, aku mengantar Yulia menempati kamar yang dulunya adalah kamar Bi Minah. “Mulai hari ini kamu tidur di sini ya Yul” ucapku sambil membuka pintu kamar yang sebelumnya sudah kubersihkan, “iya Mba, terima kasih” jawabnya. Selama satu bulan tak ada yang aneh dari tingakah Yulia, ia cukup cekatan dalam mengerjakan pekerjaannya dan lumayan asyik ketika diajak mengobrol. Baru-baru ini dia berkenalan dengan asisten rumah tangga lain yang ada di komplek, memang rata-rata dari mereka itu seusia dengan Yulia jadi tidak heran kalau dia cepat akrab. Sejak itu aku jadi tidak lagi memerhatikan Yulia karena terlalu sibuk dengan pekerjaanku di kantor, terlebih membantu Ibu dengan bisnis barunya.
Aku terpaksa harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya, di kantor dan di butik milik Ibu. Belum lagi rencanaku untuk melepas perusahaan tempatku meniti karier dan membuka bisnis sendiri. Semua bercampur aduk di dalam benakku hingga rasanya sangat melelahkan. Ayah dan Ibu lebih setuju kalau aku membuka usaha sendiri ketimbang bekerja dengan perusahaan besar nan terkenal sekalipun. “Meski kecil tetap saja kamu bos, sebaliknya sebesar apa pun perusahaan kamu bekerja tetap saja kamu adalah pegawai” begitu kata Ayah. Namun semua itu butuh proses yang matang, terutama mentalku, hingga akhirnya aku memberanikan diri mengikuti jejak orang tuaku.
ADVERTISEMENT
Ketika ayah harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya, ibu dan aku harus pulang ke rumah lewat tengah malam untuk mengurus banyak hal. Di situlah kami tidak menyadari ada hal aneh yang Yulia lakukan di rumah kami. Suatu ketika aku merasa sangat tidak enak badan, mungkin karena sudah hampir tiga bulan kekurangan jam tidur, aku dan Ibu sepakat untuk pulang ke rumah lebih awal tetapi ketika sesampainya di rumah kami melihat Yulia begitu terkejut dengan kedatangan kami. Aku dan Ibu hanya bertukar pandang lalu diam-diam mengecek semua barang yang ada di rumah “tidak ada yang hilang” ucap Ibu dalam chat Whatsapp-nya kepadaku.
Begitu pula di kamar dan bagian tertentu yang aku periksa, tidak ada yang hilang. Tetapi rasa curiga kami terhadap Yulia tidak pudar begitu saja, kami merencanakan untuk kembali lebih awal secara tiba-tiba. Tepat dua minggu dari hari itu, kami kembali pulang secara mendadak tetapi bedanya kali ini masih terbilang cukup sore. Kami memantau rumah yang ternyata sering didatangi mobil tak dikenal, Ibu segera memanggil satpam komplek untuk memeriksa rumah bersama-sama. Aku sengaja menaruh mobil jauh dari rumah agar Yulia tidak menyangka tentang kedatangan kami dan ibu membuka pintu rumah dengan kunci cadangan.
ADVERTISEMENT
Klek. Pintu rumah terbuka, aku, ibu, dan dua satpam komplek pun berusaha berjalan sesenyap mungkin agar Yulia tidak curiga. Kami mencari hampir ke seluruh ruangan hingga suara desahan kencang terdengar sayup-sayup dari kamar Yulia. Aku dan ibu bertukar pandang lalu kami bergegas menuruni anak tangga untuk mendengarnya lebih jelas di depan kamar Yulia. Ibu memberi syarat pada salah satu satpam untuk mendobrak pintu kamar Yulia dan perintah itu diterimanya dengan baik. Sekejap pintu sudah terbuka dan tampaklah Yulia dengan seorang pria paruh baya tanpa busana yang terkejut melihat kedatangan kami. “Kamu sedang apa di rumah saya!” Teriak ibu dengan sangat histeris, Yulia hanya terdiam dan berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di atas kasur.
ADVERTISEMENT
Mereka berdua terdiam dan sibuk menutupi identitas masing-masing. Salah satu satpam tersebut menghubungi atasannya dan tak lama terdengar suara sirine mobil polisi yang datang ke rumah kami. Yulia dan pria separuh baya itu pun akhirnya diangkut oleh polisi, berdasarkan keterangan yang diberikan Yulia mengaku telah melakukan prostitusi secara daring dan melakukannya di rumah kami karena terlampau sering sepi di rumah. Yulia juga mengaku pada polisi kalau ia hanya dibayar empat ratus ribu per orang dan bisa menyelundupka tiga hingga empat orang dalam satu hari.
Sejak hari itu komplek rumah kami geger dengan pemberitaan yang meledak di media dan itu memberikan trauma yang cukup mendalam pada ibu. Ia tidak mau meninggalkan rumah dan membiarkan siapa pun membantunya mengurus rumah tangga, selain aku. Orang tuaku sepakat untuk tidak lagi menggunakan asisten rumah tangga dan ibu menyerahkan semua bisnisnya padaku. Rencana yang seharusnya kupikirkan matang-matang terlebih dahulu tampaknya harus berjalan lebih cepat dari yang sudah kutargetkan. Namun apa boleh buat? Aku tidak bisa mengambil risiko rumah kami dijadikan tempat prostitusi kembali oleh orang tidak dikenal.
ADVERTISEMENT