news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tidak Ingin Memiliki Anak, Suami Malah Merawat Bayi Sahabatku

Cinta dan Rahasia
Mulailah membaca dengan Bismillah, akhiri dengan Istighfar. Kisah didramatisir dari kisah nyata.
Konten dari Pengguna
22 Mei 2020 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cinta dan Rahasia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dok. Pixabay.com/aramorozco
Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiksi.
Baru kali ini aku menemukan keanehan di dalam diri seorang laki-laki yang begitu aku cintai. Lima tahun menikah, aku sangat ingin memiliki anak tetapi suamiku tidak. Setiap aku memberikan alasan atau bahkan merajuk sekalipun, dia tetap bersikukuh agar aku tidak memiliki anak.
ADVERTISEMENT
“Aku terlalu pusing mendengar tangisan bayi!” Alasannya. Kami menjadi sering bertengkar hanya karena berbeda keinginan, sepertinya memiliki anak dari suami tercinta adalah mimpi semua istri. Kenyataannya aku tidak boleh bermimpi apalagi mewujudkannya, ketika aku berangan-angan ia langsung menjatuhkanku.
Sakit rasanya tidak bisa menggendong buah hati tercinta karena kehadirannya tidak diinginkan oleh suamiku sendiri. Padahal kedua orang tua kami sudah terus menanyakan kapan mereka akan diberi cucu “nanti saja masih pusing” katanya.
Penderitaanku semakin bertambah ketika sahabatku mengatakan kalau dirinya sedang mengandung. Ia sudah bersuami dan mereka terlihat sangat mesra sekali. Terbersit di dalam hati kalau aku sangat iri, sebentar lagi ada makhluk mungil nan menyenangkan yang akan dipeluk oleh mereka. Sedangkan aku hanya bisa memeluk suamiku itupun ketika ia tertidur.
ADVERTISEMENT
Semakin hari hubunganku dengan suami semakin berjarak. Ia jadi lebih senang berada di luar dan meninggalkanku sendiri untuk mengerus beragam keperluan rumah. Untungnya, sahabatku jadi sering datang ke rumah dan menemaniku selagi ia tidak berada di rumah.
Sahabatku terus memberiku kabar perkembangan bayi di dalam kandungannya. Terkadang ada bagian yang menonjol di perut, bisa jadi itu siku atau kaki bayinya. Aku sangat senang jika melihat ada gerakan-gerakan di dalam perut sahabatku, lebih bahagia lagi ketika itu terjadi padaku.
Tak terasa bayi yang berada di dalam kandungan sahabatku pun lahir. Ia sangat senang dan mengundangku untuk datang ke rumah sakit untuk melihat bayinya. Sesampainya di sana, aku tidak melihat suaminya yang berdiri mendampingi saat ia melakukan persalinan.
ADVERTISEMENT
Aku mengurungkan niat untuk bertanya padanya karena tidak ingin momen bahagia itu seketika menjadi kelam. Seiring berjalannya waktu, bayi itu semakin besar dan sahabatku selalu menitipkannya di rumah kami. Awalnya aku mengira kalau dia mengizinkanku ikut merawat bayinya karena aku sangat menginginkannya, tetapi ternyata ada maksud lain.
Aku melihat suamiku sangat senang jika anak sahabatku berada di rumah. Terkadang dia suka bermain dan mengambil bagian dalam mengurusnya, aku sudah senang akhirnya dia bisa menerima bayi di dalam rumah ini.
“Aku liat kamu sudah senang dengan bayi, gimana kalau kita punya bayi sendiri?” Tanyaku “tidak, kamu akan jadi ibu yang buruk buat anakku!” jawabnya. Sebenarnya sakit hatiku mendengar ucapan suami, tetapi semua kutelan karena masih berpikir kalau dia memang belum menginginkan anak dariku.
ADVERTISEMENT
Berbulan-bulan dia masih bersikukuh menolak agar aku melahirkan anaknya, sahabatku pun semakin sering menitipkan anaknya di rumah kami. Aku semakin kesal karena melihat suamiku terlihat sangat menyayangi bayi sahabatku “kenapa sih kamu tidak ingin punya bayi sendiri?” Tanyaku saat dia sedang menggendong bayi itu.
Lama sekali dia tidak menjawab pertanyaanku, sampai akhirnya dia mengeluarkan kalimat yang membuatku sangat terkejut “dia memang bayiku” jawabnya. “Maksudmu?” Tanyaku, ia menjelaskan kalau selama ini suami dari sahabatku adalah seorang penyuka sesama jenis.
Mereka selalu bermain di rumah sahabatku hingga akhirnya ia mengandung anak suamiku. Lima tahun lalu, aku dan sahabatku bertemu dengannya, tak lama suamiku menyatakan kalau dia menyukai sahabatku. Lama ia mengejar sahabatku tetapi rupanya perasaan itu tidak berbalas dan sahabatku lebih memilih laki-laki yang ia nikahi saat ini.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, suamiku menjatuhkan pilihannya dan menikahiku. Aku dengan senang hati menerimanya sebagai suamiku karena memang ia memiliki tipe pria yang sangat kuidamkan. Setelah mendengar penjelasannya, aku segera menelepon sahabatku dan memakinya.
Ia segera kembali ke rumahku dan berusaha menjelaskan apa yang sudah terjadi. Namun, rasa sakit hatiku sudah sangat besar terhadap mereka berdua, terlebih aku tidak menyangka kalau mereka mengkhianatiku. Selama ini aku turut senang dengan kehamilannya bahkan beberapa kali mengurus keperluan dia dan bayinya.
Ternyata apa yang kulakukan dibalas sesakit ini oleh mereka. Buatku semua menjadi jelas mengapa suamiku tidak menginginkan aku memiliki anak darinya. Karena dia menginginkan anak dari sahabatku yang memang sudah ia cinta sejak dulu.
ADVERTISEMENT
Aku meninggalkan suami, sahabatku, dan bayinya di dalam rumahku. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku yang memang berada di kota berbeda. Sudah muak aku dengan telepon dan pesan yang dikirimkan oleh mereka. Mereka memintaku untuk kembali dan memaafkan perbuatan yang sudah sangat membuatku sakit hati.
Gugatan cerai kulayangkan pada suamiku sebagai balasan atas pesan-pesannya yang tidak mengubah pandanganku terhadap kesalahan yang mereka lakukan. Aku memilih untuk menghilang dan memutus kontak dengannya, orang seperti itu tidak layak kuanggap sebagai sahabat. Kubiarkan ia membesarkan bayinya seorang diri dan kalau beruntung, mantan suamiku akan membantunya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kabar terkait mereka berdua, termasuk bayi itu.
ADVERTISEMENT