Terancam Merugi, Pengusaha Properti Sesalkan Sikap Bupati Cirebon

Konten Media Partner
21 Januari 2020 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon (FKPPC) menggelar konferensi pers persoalan proyek pembangunan unit rumah yang terkendala. (Juan)
zoom-in-whitePerbesar
Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon (FKPPC) menggelar konferensi pers persoalan proyek pembangunan unit rumah yang terkendala. (Juan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ciremaitoday.com, Cirebon - Puluhan pengembang (developer) perumahan di Kabupaten Cirebon terancam merugi miliaran rupiah akibat terdampak regulasi pertanahan.
ADVERTISEMENT
Kerugian timbul setelah sekitar 21 pengembang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon (FKPPC) tak menerima hak atas tanah dari Pemkab Cirebon maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.
FKPPC mengklaim, proyek pembangunan sedikitnya 4.000 unit rumah di Kabupaten Cirebon terkendala hak guna bangunan atas tanah. "Minimal 4.000 rumah yang pembangunannya terkendala izin," ungkap Ketua FKPPC, Yudo Arlianto, Selasa (21/1/2020).
Dengan asumsi 1 hektare tanah milik 21 pengembang yang tergabung dalam FKPPC senilai Rp2,5 miliar, dia menyebut, nilai investasi mereka sejauh ini lebih dari Rp50 miliar.
Jumlah itu berpotensi menjadi kerugian. Sebab bila tak segera menemukan solusi, ribuan kepala keluarga terancam tak bisa memeroleh tempat tinggal. "Di sisi lain, bila kami merugi, praktis usaha kami mandeg dan terpaksa memberhentikan para pekerja," cetusnya.
ADVERTISEMENT
Pihaknya memperkirakan 400 pekerja pada bisnis ini terancam kehilangan pekerjaan. Menurutnya, Bupati Cirebon, Imron Rosyadi pernah berjanji penyelesaian permasalahan ini pada Desember 2019. Namun, hingga kini janji tersebut menguap.
"Kami menyesalkan sikap Bupati yang tak tegas dan jelas. Bupati malah menyampaikan tidak tahu alasan BPN tak mau memberikan hak atas tanah, namun di sisi lain tak dapat mengintervensi BPN dengan alasan BPN merupakan lembaga vertikal," paparnya.
Di sisi lain, pihaknya juga menyesalkan penolakan BPN atas permohonan pemberian hak atas tanah dengan alasan melanggar tata ruang.
Menurutnya, klaim BPN yang menilai adanya pelanggaran tata ruang wilayah tersebut justru tidaklah sesuai. Peta yang dijadikan acuan BPN sebagai dasar pengeluaran pertimbangan teknis, imbuhnya, tak sepenuhnya sesuai kenyataan.
ADVERTISEMENT
Dia menyontohkan, beberapa lokasi perumahan milik pengembang dinilai melanggar Lahan Produksi Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Nyatanya, imbuh dia, Dinas Pertanian yang memiliki kewenangan atas hal tersebut sudah mengeluarkan pernyataan alih fungsi lahan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan LP2B.
"Bahkan, Pertek BPN sendiri menyatakan lokasi tersebut bukan merupakan sawah produktif," ujarnya.
Selain penilaian pelanggaran LP2B, beberapa lokasi perumahan juga dianggap telah melanggar Garis Sempadan Sungai (GSS). Nyatanya, lanjutnya, tak ada sungai di lokasi tersebut.
Beberapa lokasi perumahan lain pula dinilai melanggar lokasi cagar budaya/situs. Faktanya, klaim Yudo, di lokasi bersangkutan tak ada cagar budaya dan telah diklarifikasi secara tertulis oleh otoritas setempat.
Dia menyebutkan, BPN mengklaim pengukuran yang mereka lakukan akurat karena menggunakan koordinat berbasis digital. Namun, pihaknya menilai hal itu absurd karena sistem digital BPN tak reliable dalam menentukan lokasi berdasarkan kenyataan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Sekalipun ditolak, sampai kini para pengembang itu mengaku belum mendapat surat resmi penolakan dari BPN.
"Proses pemberian hak atas tanah kami masih menggantung. Padahal, proses ini sudah berlangsung lebih dari enam bulan, bahkan ada yang sudah satu tahun dan belum dapat penjelasan," ungkapnya.
Salah satu pengembang yang tergabung dalam FKPPC, Mahfudz HR mengaku, menjadi pengembang yang mengalami situasi tak jelas selama sekitar 14 bulan.
Sejauh ini, dari target 94 unit rumah yang akan dibangun, dirinya baru membangun 12 unit rumah. "Sudah ada yang terjual, tapi konsumen nggak bisa menempati rumahnya karena terkendala hak guna bangunan," keluhnya.
Akibatnya, Mahfudz harus mengembalikan uang muka kepada konsumen. Dampak terburuk lain, Mahfudz terpaksa menerima tudingan sebagai pengembang yang menipu konsumen.
ADVERTISEMENT
Pengembalian uang muka dialami pula pengembang lain. Karena itu, FKPPC mendesak DPRD memfasilitasi dan memediasi pertemuan dengan Bupati Cirebon dan BPN. Mereka mengancam membawa persoalan ini ke ranah hukum bila tak ada penyelesaian sampai akhir bulan ini.