Anoreksia nervosa: Apakah Bentuk Hukuman Diri bagi Orang yang Tertekan

Jane Amaris Azalia Nareswari
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya. Merupakan seorang penulis beginner yang ingin mendapat pengalaman baru
Konten dari Pengguna
30 November 2021 14:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jane Amaris Azalia Nareswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto : Damir Samatkulov, Unsplash (https://unsplash.com/photos/x7JIZ8XEyGM)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Damir Samatkulov, Unsplash (https://unsplash.com/photos/x7JIZ8XEyGM)
ADVERTISEMENT
Anorexia bukanlah kata yang jarang kita dengar di masa sekarang. Anorexia, tepatnya anorexia nervosa, merupakan salah satu tipe eating disorder yang ditandai dengan penurunan berat badan yang signifikan. Penurunan ini dapat disebabkan oleh banyak hal seperti gangguan pada tubuh, psikis, dll.
ADVERTISEMENT
Pada artikel ini, kita akan mendiskusikan mengenai apa hubungan anorexia nervosa dengan depresi, khususnya mengenai apakah anorexia nervosa dapat menjadi bentuk ‘self-punishment’ dari seseorang yang depresi.
Untuk mendalami topik, harus kita ketahui dulu apa itu depresi serta bagaimana depresi dapat menimbulkan ‘self-harm’ sebagai bentuk hukuman pada diri mereka sendiri. Depresi, menurut APA (American Psychology Association) adalah gangguan psikis yang mungkin ditandai dengan tidak adanya ketertarikan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, penurunan atau kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau kebanyakan tidur, ketidakmampuan untuk fokus, serta perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan dan pikiran berulang untuk mati atau bunuh diri.
Ilustrasi Remaja Perempuan Depresi Foto: Shutterstock
Seseorang yang menderita depresi, merasakan rasa bersalah yang berlebihan sehingga mereka menyalahkan diri mereka untuk apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Rasa bersalah tersebut dapat berkembang, dan dapat berujung pada self-harm, dan bahkan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Bentuk self-harm yang dilakukan oleh penderita dapat bervariasi secara psikis maupun fisik dan mengurangi jumlah makan ini merupakan salah satunya. Pengurangan jumlah makan tidak hanya memotong makan satu ataupun dua porsi, tetapi dapat tidak makan berhari-hari. Kelaparan menjadi semacam pelepasan rasa bersalah.
Bagaimana kelaparan dapat menjadi pelepasan? Menurut riset ‘The Addictive Model of Self-Harming (Non-suicidal and Suicidal) Behavior’ (2016), perilaku self-harm (Non-suicidal maupun suicidal) dapat dikonsepsikan sebagai sikap adiktif. Sikap adiktif ini berhubungan dengan mesocortical dopamine, yang mengatur tentang ‘reward’, serta pelepasan endogen opioid dalam sistem saraf utama.
Apa hadiah atau 'reward' yang didapatkan dari self-harm? ‘Reward’ yang didapatkan dari melakukan self-harm adalah kelegaan. Kelegaan ini dapat dihubungkan dengan perasaan bersalah serta malu yang diderita oleh seseorang yang mengalami depresi.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang terpuruk dalam situasi di mana mereka tertekan dan mengalami stress berat, ada rasa sakit psikologis yang diderita. Semakin lama, cara-cara seperti berbicara, melakukan aktivitas lain, dsb, akan terasa tidak cukup lagi.
Untuk membebaskan rasa sakit psikologis yang semakin berat ini, banyak aksi ekstrem yang dilakukan seperti penyalahgunaan narkotika, miras, rokok, dan self-harm. Dengan menemukan kelegaan dalam melakukan salah satu dari aksi tersebut, akan memunculkan potensi di mana mereka akan melakukan aksi secara berulang-ulang hingga menyebabkan adiksi.
Dengan demikian, bagaimana dengan anorexia nervosa sebagai bentuk ‘self-punishment’ bagi mereka yang menderita depresi? Sebenarnya, tidak semua orang yang mengalami depresi akan mengalami Anorexia nervosa akan tetapi, depresi bisa menjadi pelatuk terjadinya anorexia.
ADVERTISEMENT
Ketika mengalami depresi, salah satu perasaan yang muncul adalah malu. Rasa malu tersebut dapat mendorong kita untuk mengubah diri menjadi sesuatu yang dapat ‘diterima’ dalam pikiran mereka. Aksi – aksi yang dilakukan akan semakin lama semakin ekstrem untuk menemukan suatu resolusi dari rasa malu tersebut.
Pada tahap inilah, ‘self-harm’ terjadi dan berubah menjadi ‘self-punsihment’. Rasa malu tersebut akan memunculkan perasaan bersalah yang dapat disebut sebagai ‘maladaptive guilt’, sebuah bentuk rasa bersalah di mana penderita menyalahkan diri mereka atas situasi yang tidak dapat terkendali. Perasaan ini kemudian memunculkan pemikiran bahwa penderita pantas untuk dihukum, dan hukuman ini adalah semacam pelepasan dari perasaan malu dan bersalah.
Memotong jumlah makan, serta rasa kelaparan tersebut akan dianggap sebagai ‘self-punishment’. Perilaku ini tidak akan terjadi hanya satu ataupun dua kali. Seperti yang telah dijelaskan, pelepasan endogen opioid dapat menyebabkan kekebalan serta adiksi terhadap rasa kelaparan ini. Oleh karena itu, ada kemungkinan jika seseorang yang depresi dapat menderita anorexia nervosa. Maka dari itu, secara garis besar, anorexia nervosa dapat menjadi bentuk ‘self-punisment’ bagi sebagian penderita depresi.
ADVERTISEMENT
Sumber : American Psychological Association. Depression. APA Website.
Gambin, M., & Sharp, C. (2018). The relations between empathy, guilt, shame and depression in inpatient adolescents. Journal of affective disorders, 241, 381–387. Blasco-Fontecilla, H., Fernández-Fernández, R., Colino, L., Fajardo, L., Perteguer-Barrio, R., de Leon, J. (2016). The addictive model of self-harming (non-suicidal and suicidal) behavior. Frontiers in Psychiatry, 7.
Sumber Foto : Damir Samatkulov, Unsplash (https://unsplash.com/photos/x7JIZ8XEyGM)