Orde Baru Tumbang, Demokrasi Digital Datang

Damar Juniarto
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network, alumnus IVLP 2018 on Cyber Policy and Online Freedom of Expression Network.
Konten dari Pengguna
6 Januari 2017 0:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damar Juniarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Press (Foto: Pixabay)
Tumbangnya Orde Baru otomatis mengubah lanskap media konvensional. SIUPP tidak lagi menjadi momok dengan dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
ADVERTISEMENT
Secara luar biasa, jumlah media meningkat drastis. Dari situasi ketika informasi dibatasi di zaman kekuasaan Soeharto, kini informasi meluap-luap. Tak hanya di media konvensional, media digital pun juga mengalami hal yang sama.
Selain Detik.com, muncul juga Astaga.com yang mendapat investasi besar dari Afrika Selatan hingga portal-portal berita lain yang terus bermunculan.
Press (Foto: Pixabay)
Sayang pada akhirnya media-media yang begitu banyak ini tutup satu per satu bukan karena aturan sensor dari kekuasaan, tetapi karena sebab-sebab yang sifatnya internal dari dirinya sendiri: mismanajemen, kegagalan menguasai distribusi, perolehan iklan yang sedikit, dll.
Masyarakat sendiri sudah mulai pintar untuk memilah informasi dari media, karena mereka mulai mengenal beragam sumber informasi, baik lewat media konvensional maupun dari media digital.
ADVERTISEMENT
Lalu lompat ke tahun 2009, muncul gerakan Cicak versus Buaya di Facebook.
Logo Cicak vs Buaya (Foto: Revius.us)
Gerakan tersebut merupakan bukti bagaimana media sosial dapat berperan untuk mengumpulkan mereka yang sepakat untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kelompok yang dipercaya ingin mengerdilkan peran KPK dengan menyatakan KPK tak lebih dari cicak yang akan berhadapan dengan buaya.
Jutaan followers berhasil dikumpulkan oleh gerakan masyarakat sipil ini dan ratusan dapat dikerahkan secara organik untuk membendung upaya penggembosan KPK.
Kemudian pada tahun 2013, gerakan warga Rembang, Jawa Tengah secara kolektif dan sengaja memutuskan memakai internet/media sosial ketika melihat fakta media-media di Jawa Tengah dibungkam untuk memberitakan persoalan keberadaan pabrik semen di Rembang.
Rembang Melawan (Foto: Dokumen pribadi)
Perjalanan mereka dimulai dari belajar memakai media sosial dan sempat harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari buzzer yang berhasil membajak hashtag #SaveRembang yang mereka pakai sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Namun perebutan ruang tersebut kemudian dimenangkan oleh gerakan warga Rembang, setelah mereka mengubah strategi lapangan dengan mengganti hashtag menjadi #RembangMelawan yang lebih progresif, serta #DemiRembang yang memanfaatkan penggalangan dukungan lewat platform petisi online Change.org.
Logo change.org (Foto: Dokumen Pribadi)
Sangat menarik untuk dipelajari bagaimana warga desa seperti di Rembang yang selama ini dipersepsi terbelakang dalam pemanfaatan teknologi internet, justru sekarang menjadi contoh gerakan masyarakat baru yang berhasil memadupadankan antara model gerakan tradisional lewat jalur kebudayaan dan gerakan modern lewat jalur sosial media.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia juga sudah terjadi pemanfaatan internet untuk demokrasi. Pemilu 2014 menandai inisiatif digital untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Dalam Temu Demokrasi Digital 2014 yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD), John Muhammad dari Public Virtue Institute, menyebutkan setidaknya pada 2014 telah lahir 64 inisiatif di internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi. Ini di luar inisiatif yang bersifat partisan atau yang dilahirkan oleh media massa.
Rinciannya antara lain: 33 buah inisiatif berbasis platform/website, 30 buah berbasis mobile application dan 1 buah berbasis keduanya.
Aplikasi (Foto: Pixabay)
Dari 34 platform atau website tersebut, 20 buah ditujukan khusus untuk kepentingan Pemilu, 6 buah tidak terkait langsung dengan Pemilu dan 8 buah berguna/bermanfaat untuk keduanya. Sementara, dari 31 aplikasi itu, seluruhnya (100%) terkait dengan kepentingan pemilu.
ADVERTISEMENT
Jika dipetakan berdasar fungsinya, dari 34 platform/website tersebut:
(a) Ada 4 lembaga yang melakukan pemantauan media sosial termasuk di antaranya Politicawave, Provetic dan aspirasikita.org;
(b) Ada 4 yang berbentuk wadah petisi daring dengan pengguna terbanyak adalah Change.org (900.000);
(c) Ada 16 yang melakukan voter education;
(d) Ada 10 yang mengerjakan pelacakan latar belakang politisi;
(e) Ada 9 yang melakukan e-counting termasuk kawalpemilu.org;
(f) Ada 9 yang melakukan public assessment seperti Meteranpolitik.org dan KawalMenteri 2;
(g) Ada 7 yang melakukan election watchdog termasuk MataMassa.org;
(h) Ada 8 yang melakukan netizen proposal, yakni seperti: kabinetrakyat.org, KAUR dan kawalmenteri.org. Background checking, e-counting, public assessment, election watchdog dan netizen proposal adalah inisiatif terbaru di Indonesia dan hanya terjadi di 2014.
ADVERTISEMENT
Sementara, jika dipetakan berdasar metodenya, dari 34 platform/website tersebut:
(a) Ada 29 yang menggunakan cara penyajian data;
(b) Ada 7 yang menggunakan cara review aggregator, seperti: jariungu.com dan meteranpolitik.org;
(c) Ada 21 yang menggunakan cara crowdsourcing;
(d) Ada 6 yang menggunakan cara voting machine; (e) ada 4 yang menggunakan cara crawling machine;
(f) Ada 7 yang dilengkapi dengan opini/analisis. (John Muhammad, 2014)
Situs kawalpemilu.org yang berbasis e-counting menjadi fenomenal pada Pemilu 2014 lalu karena berhasil mengawal suara publik dan mengontrol kinerja KPU.
Dengan pendekatan crowdsourcing dan big data, situs yang diinisiasi oleh Ainun Najib ini menghimpun inisiatif dan itikad warga untuk mengawal dan mengontrol jalannya Pemilu yang difasilitasi oleh internet.
ADVERTISEMENT
Situs kawal pemilu kemudian bertransformasi menjadi kawalpresiden.org. Situs ini mampu menjembatani conversational leadership ala Jokowi yang selama ini gemar blusukan dan ngobrol bersama rakyat sehingga percakapan (conversations) bisa terjalin nyaris tanpa batas. (Yohanes Widodo, 2015).
Dalam pemikiran saya, dinamika yang sekarang terjadi di internet memperlihatkan bagaimana masyarakat sekarang ini sedang menggunakan internet untuk melakukan counter-power, melakukan kontestasi kekuasaan atas pemahaman yang ajeg atas bernegara, beragama, dan berekonomi.
Saat ini sedang terjadi perluasan ruang publik-sosial politik ke cyberspace yang disebut demokrasi digital sehingga apa yang terjadi di internet sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan.
ADVERTISEMENT