news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Peran Internet di Awal Gerakan Demokrasi Digital Indonesia

Damar Juniarto
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network, alumnus IVLP 2018 on Cyber Policy and Online Freedom of Expression Network.
Konten dari Pengguna
5 Januari 2017 23:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damar Juniarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi demonstrasi (Foto: Huffington Post)
Titik inilah yang saya pikir dapat dijadikan pintu masuk untuk serius memertimbangkan peranan internet dalam demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kembali ke tahun 1994 hingga awal tahun 2000, ketika internet mulai digunakan oleh gerakan prodemokrasi di Indonesia hingga David T. Hill dan Krishna Sen menulis bahwa teknologi komunikasi seperti Internet memainkan peran sentral untuk menggulingkan kediktatoran Soeharto.
Pada 20 tahun yang lalu, masyarakat Indonesia masih mengandalkan cara mendapatkan informasi melalui media konvensional: koran, majalah, radio dan televisi. Selain itu, internet baru diperkenalkan ke masyarakat Indonesia, selisih setahun dari kepopulerannya di Amerika Serikat.
Internet Service Provider (ISP) baru muncul sehingga orang mulai mempunyai email pribadi dan bisa berselancar dengan peramban Netscape Navigator, yang dikembangkan dari pendahulunya NSCA Mosaic.
ADVERTISEMENT
Di zaman Orde Baru, kontrol informasi berjalan begitu kuat mulai dari aturan surat izin terbit yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, intervensi ke meja redaksi oleh rezim, hingga pembunuhan wartawan.
Salah satu kontrol informasi dikenal dengan nama bredel (dari kata breidel yakni pembatasan), yang dianggap “pencabut nyawa” bagi media yang kritis. Begitu dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dengan seketika media tersebut tidak bisa beroperasi.
Praktik bredel ini merupakan warisan ketakutan pemerintah kolonial atas media pers yang dikelola kaum nasionalis. Untuk mengatasinya dikeluarkan haatzai artikelen, yaitu undang-undang yang mengancam pers apabila dianggap menerbitkan tulisan-tulisan yang “menaburkan kebencian” terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Lewat Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994, ketiga media ini ditutup karena dianggap tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab sehingga mengganggu stabilitas nasional.
Meskipun bertentangan dengan Undang-undang Pers yang saat itu berlaku, UU Nomor 21 Tahun 1982, kekuasaan yang otoriter menyebabkan ada kebuntuan informasi. Kebuntuan informasi ini segera disikapi oleh kalangan media saat itu.
Orde Baru (Foto: Tiger Panzer)
Setelah pembredelan terjadi, pada bulan Agustus 1994 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan dan AJI menerbitkan majalah Suara Independen. Isinya menyebarluaskan informasi yang seringkali bertolak belakang dengan informasi yang telah disetir oleh kekuasaan otoriter di bawah Soeharto.
Tapi tak lama, tiga orang yang bergiat di majalah yang menyiasati seolah penerbitannya berada di Australia itu, Ahmad Taufik, Danang KW, dan Eko Maryadi, akhirnya ditangkap dan dipenjara.
ADVERTISEMENT
Setahun berlalu, internet mulai digemari anak muda. Apalagi saat itu, Yahoo! sudah memulai jasa pembuatan email gratis sehingga orang berlomba untuk memiliki email gratis.
Search engine, mailing-list, internet relay chat (IRC) semakin akrab dengan masyarakat sehingga tercetus gagasan untuk memanfaatkannya sebagai lalu lintas informasi alternatif, pengganti yang buntu tadi itu.