Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Sang Pembaharu Itu Bernama Ahmad Dahlan

Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
29 April 2022 16:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keraton, masjid, pasar. Begitulah kira-kira gambaran tata ruang ibu kota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kalau anda datang ke Yogyakarta dan berjalan ke selatan dari titik nol kilometer sampai alun-alun utara, anda akan melihat keraton di sebelah selatannya. Di sebelah barat alun-alun utara Anda akan melihat Masjid Gedhe. Kemudian jika Anda berjalan balik ke utara sekira setengah kilometer dan masuk ke sebelah timur jalan utama, Anda akan melihat Pasar Beringharjo.
Ketiga titik tersebut masih dipertahankan sampai sekarang, meski secara fungsional tata ruangnya sudah tak seperti itu lagi. Dulu, keraton menjadi pusat politik, masjid sebagai pusat keagamaan, dan pasar sebagai pusat ekonomi. Tata ruang semacam itu seakan-akan menyampaikan makna tersirat, kalau sebuah pemerintahan mau langgeng, ketiga unsur tersebut harus saling melengkapi dan saling menyeimbangkan; bukan berselingkuh untuk membenarkan apa yang salah.
Keraton sebagai simbol politik berpusat pada sosok-sosok seperti raja beserta jajarannya. Masjid sebagai simbol agama berpusat pada sosok-sosok ulama atau tokoh agama lain. Sementara pasar sebagai pusat ekonomi berpusat pada sosok-sosok pedagang atau pengusaha. Ketiga subyek tersebutlah yang bisa mewujudkan keseimbangan yang dimaksud.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
check
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
check
Bebas iklan mengganggu
check
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
check
Gratis akses ke event spesial kumparan
check
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten