Marquee Player dan Ekspektasi yang Tak Terpenuhi

Daniel Fernandez
Aset Bangsa. @L1_Segitiga
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2017 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Fernandez tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Michael Essien dan Carlton Cole (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Michael Essien dan Carlton Cole (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tak terasa Go-Jek Traveloka Liga 1 sudah mulai mendekati garis akhir. Tiga puluh pekan telah dilewati, peta persaingan pun mulai terkotak – kotakkan. Tak lupa tim – tim terbaik mulai bersiap mengeluarkan strategi terbaiknya demi gelar juara di akhir musim.
ADVERTISEMENT
Semoga liga yang penuh intrik dan dram sejak awal musim ini bisa diselesaikan dengan damai. Salah satu alasan mengapa sering terjadi kegaduhan pada musim ini adalah karena beberapa regulasi yang diberlakukan tanpa perencanaan yang baik dan terkesan mengada – ada.
Perbedaan mencolok yang terjadi pada musim ini adalah diberlakukannya aturan mengenai pemain dibawah 22 tahun dan juga berkenaan pengunaan pemain marquee. Meski mengundang polemik sejak proses sosialisasi, pada akhirnya operator liga tetap berteguh hati untuk tetap mengesahkan keberadaan dua regulasi tersebut.
Namun salah satu regulasi tersebut tak berumur panjang, atas dasar telah terkumpulnya pemain – pemain muda untuk mengisi tim SEA Games 2017, regulasi penggunaan pemain dibawah umur 22 tahun dihapuskan di pertengahan musim. Sayangnya keputusan tersebut tidak berlaku terhadap satu regulasi lainnya yang juga meresahkan, yaitu perihal penggunaan pemain marquee.
ADVERTISEMENT
Polemik terjadi di awal musim ketika operator liga memutuskan untuk memperbolehkan setiap tim untuk memakai empat pemain asing dengan catatan salah satunya adalah pemain berlabel marquee. Sontak hal tersebut tidak bisa diterima oleh banyak pihak, apalagi regulasi tersebut diberlakukan beberapa hari setelah Persib Bandung merekrut Michael Essien sebagai pemain baru mereka. Banyak tim merasa tidak diperlakukan secara adil oleh operator liga berkenaan dengan regulasi ini, mereka merasa aturan seperti ini hanya menguntungkan untuk tim – tim besar dan berkantong tebal.
Operator liga pun telah menetapkan berbagai persyaratan mengenai para pemain marquee. Persyaratan pertama adalah pemain marquee terdaftar di skuat tim nasional di salah satu dari tiga putaran final Piala Dunia terakhir (Piala Dunia 2006 (Jerman), 2010 (Afrika Selatan), dan 2014 (Brasil), atau jika tak masuk dalam kategori syarat pertama, pemain tersebut harus bermain di liga Eropa dalam kurun waktu delapan tahun terakhir (2009-2017). Tak kehabisan akal, tim – tim lain yang sebelumnya tidak berencana menggunakan pemain marquee mulai mencari celah dari regulasi tersebut. Beberapa tim mulai merekrut pemain – pemain yang kebetulan pernah bermain barang satu - dua kali di liga papan atas Eropa.
ADVERTISEMENT
Pemain marquee memang dianggap menjadi kebutuhan tim – tim yang berlaga di Liga 1 musim ini, karena jika mereka memilih untuk tidak menggunakan pemain marquee mereka hanya berhak memainkan tiga pemain asing di saat klub lain memainkan empat pemain asing. Hal tersebut diasumsikan akan mengakibatkan kesenjangan dan penurunan kualitas permainan. Namun pada akhirnya pemain marquee hanya menjadi salah satu dari banyaknya faktor yang mempengaruhi kualitas sebuah tim.
Tak Sesuai Harapan
Lazimnya penggunaan pemain marquee adalah untuk mendongkrak animo penonton untuk hadir langsung ke stadion. Itulah mengapa regulasi ini jamak dilakukan di negara – negara dimana sepak bola bukanlah olahraga yang begitu diminati oleh masyarakatnya. Berbeda dengan Indonesia, antusiasme terhadap sepak bola sudah tak perlu diragukan lagi. Kecintaan terhadap sepak bola pun kadang kala melebihi batas nalar pikiran. Maka dari itu hadirnya para lulusan Liga Eropa tidaklah berpengaruh terhadap animo mayoritas para suporter di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bahkan di beberapa kasus, kehadiran pemain marquee tidak mampu menarik para loyalis klub untuk kembali menonton di stadion. Kejadian miris ini terjadi kepada dua tim yaitu Borneo FC dan Arema FC. Meski sudah merekrut pemain marquee, klub masih kesulitan untuk menarik masyarakat untuk berbondong – bondong ke stadion.
Beberapa partai kandang Borneo FC maupun Arema FC kini sepi penonton, hal ini tentu berdampak terhadap pemasukan klub yang menurun drastis. Lebih ironis karena pada musim lalu laga kandang mereka jarang sepi penonton seperti musim ini. Selain untuk mendongkrak jumlah penonton di laga kandang, kehadiran pemain marquee pun diharapkan untuk meningkatkan pemasukan klub dari penjualan seragam resmi tim. Sayangnya, kultur suporter Indonesia yang belum terbiasa membeli seragam resmi klub menjadi penghalang hal itu terjadi. Ditambah sistem penjualan merchandise klub yang masih jauh dari kata baik dan mudah.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, hadirnya seorang marquee player hanya satu dari banyaknya faktor yang mempengaruhi performa sebuah tim. Tidak ada jaminan bahwa sebuah tim yang menggunakan pemain marquee akan lebih mudah meraih kemenangan dan berlaku juga sebaliknya. Hal itu bisa dilihat dari performa Persipura Jayapura yang tetap konsisten berada di papan atas klasemen meski hanya memiliki tiga pemain asing. Berbanding terbalik dengan Persib Bandung walau sempat memiliki dua pemain alumnus EPL, Maung Bandung masih saja berkutat di papan tengah.
Tidak terpenuhinya ekspektasi dari mayoritas pemain marquee ini disebabkan dua hal yaitu sudah menurunnya kemampuan sang pemain bintang dan tidak spesialnya kemampuan peamin in. Sudah uzurnya para pemain marquee yang bermain di Liga 1 membuat klub tidak bisa terlalu banyak berharap kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Alasan lainnya adalah tidak spesialnya kemampuan sang pemain. Meski mempunyai riwayat bermain di Liga Eropa beberapa nama tidak memperlihatkan kemampuan yang berbeda dibanding para pemain asing yang sudah lama bermain di Liga Indonesia. Namun hal tersebut tidaklah berlaku kepada semua pemain berlabel marquee. Masih ada beberapa nama yang performanya tidak mengecewakan seperti Paulo Sergio yang berhasil membawa Bhayangkara United menjadi calon juara Liga 1, dan Willem Jan Pluim yang sudah bermain mengesankan sejak musim lalu.
Pada akhirnya tidak banyak yang bisa diharapkan dari kehadiran para pemain marquee. Satu hal yang pasti regulasi ini hanya mencederai asas keadilan dan kesetaraan di antara 18 tim yang berkompetisi musim ini. Harapan untuk kedepannya tentu agar regulasi – regulasi seperti tak perlu lagi ada di kompetisi sepak bola Indonesia.
ADVERTISEMENT
L1_segitiga