Yohanes Jonga Penegak HAM, Teladan Hak Asasi di Masa COVID-19.

Daniel Rian Ardhyantara
Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
31 Oktober 2020 5:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Rian Ardhyantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yohanes Jonga Penegak HAM, Teladan Hak Asasi di Masa COVID-19.
zoom-in-whitePerbesar

Biografi dan Awal Perjalanan

ADVERTISEMENT
Yohanes Jonga merupakan Pastor penegak HAM yang lahir di Nunur, Manggarai, Flores, NTT pada 4 November 1958 dan merupakan anak dari Arnoldus Lete dan Yuliana Malon. Dalam pendidikannya, setelah menjalani masa SD-SMP, Beliau melanjutkan pendidikan di Seminari Tingkat Menengah Santo Dominggo Hokeng di Flores dan Seminari Tingkat Tinggi Santo Petrus Ritapiret, NTT, Papua.
ADVERTISEMENT
Setelah menyelesaikan studinya, Yohanes Jonga memulai menjadi orang yang bergerak di Gereja pada tahun 1986-1990, yakni menjadi Katekis. Paroki St Stefanus Kimbia Lembah Baliem di Papua menjadi tempat dimana Pastor Yohanes Jonga menjadi katekis. Beberapa tahun kemudian, 1994-1999 Beliau menjadi Pastor di salah satu Kabupaten, yaitu Fakfak, lebih tepatnya di Paroki Mimika Timur. Pada tahun 2000-2007, Beliau menjadi Pastor Paroki St Mikhael Waris. Dan pada akhirnya, 2007-hingga saat ini Pastor Yohanes Jonga di Waris menjadi Pastor Paroki. Selain itu ia juga sekaligus menjadi Dekan di Dekanat yang bertempat di Keerom Keuskupan Jayapura.
Melihat keadaan di Papua yang penuh dengan ketidakadilan, hal itu membuat Beliau bersikap keras dan galak jika terjadi suatu pelanggaran HAM ataupun ketidakadilan di Papua. Beliau mempunyai tekad yang keras untuk memberantas segala ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat Papua. Hal ini yang menjadi dedikasinya hingga 23 tahun berjuang untuk menegakkan keadilan di tanah Papua.
ADVERTISEMENT

Karya dan Teladan dari Yohanes Jonga

Pada tahun 1986, Beliau tiba di Paroki Santo Stefanus, Wamena untuk menjalankan tugas. Beliau mengatakan bahwa sejak kakak nya bekerja sebagai guru SD di Keppi, Merauke, Yohanes Jonga sudah tertarik dengan Papua. Sejak saat itu, Yohanes Jonga mulai merintis karya kemanusiaannya. Berbagai kegiatan kemanusiaan juga dijalankan ditengah perjalanan tugas paroki yang Beliau emban. Walaupun begitu, beliau tetap menjadi seorang yang kritis terhadap Keuskupan. Hingga akhirnya Uskup menyadari bahwa aktivitas yang Yohanes Jonga merupakan gerakan kemanusiaan untuk masyarakat.
LBH menjadi tempat dimana beliau terlibat dalam tindakan penegakan HAM. Yohanes Jonga sangat menolak adanya kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan penindasan. Bahkan beliau pernah mengikuti demo dengan mahasiswa atas kasus ketidakadilan beasiswa. Yohanes Jonga juga memberikan andil dalam peningkatan martabat dan pemberdayaan perempuan, dan juga terlibat dalam penyelesaian OPM. Atas segala tindakannya, ia juga mendapat berbagai julukan seperti “Pastor HAM”, “Pastor Perempuan”, “Pastor OPM” dan juga “Pastor Idpoleksosbudhankam” atas segala kontribusinya. Beliau juga mempunyai sikap yang ramah, respect dan hangat terhadap satu dengan lainnya membuat kesan siapa saja kepada beliau menjadi baik. Yohanes Jonga juga merupakan seseorang yang mudah beradaptasi dan low profile. Beliau bahkan tidak pernah bercerita tentang dirinya, apalagi tentang kesuksesan dan prestasi yang telah beliau peroleh.
ADVERTISEMENT
Penegakkan HAM dan tindakan sosial Yohanes Jonga menghasilkan suatu karya yang cukup sepadan. 10 Desember 2009 merupakan tanggal dimana beliau memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien, suatu penghargaan dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Dewan Juri menyatakan beliau sebagai pemenang atas perjuangan berbagai hak seperti sosial budaya, sipil, ekonomi dan politik rekam jejak perjuangan Panjang di Papua

Pemikiran-pemikiran Yohanes Jonga

Yohanes Jonga merupakan seorang Pastor sekaligus seorang yang sangat mendalami dan menegakkan Hak Asasi Manusia. Berbagai aktivitas kemanusiaan dan penerapan cinta kasih sudah beliau laksanakan selama berada di Papua. Dalam menjalankan tugas di lingkungan yang baru, tentu saja beliau mengalami cobaan dan ancaman. Namun beliau tidak gentar dan mempunyai pemikiran, bahwa sebagai pastor, beliau memiliki panggilan suci untuk membela manusia yang tertindas, tidak peduli apapun risikonya. Ada beberapa pemikiran yang mendasari semua tindakannya. Beberapa pemikiran tersebut seperti, “Persoalan menyangkut pembangunan di Papua sudah demikian kompleks dan multidimensional yang merasuk hampir ke seluruh aspek kehidupan.”
ADVERTISEMENT
Muridan sebagai teman dari Yohanes Jonga juga menyebutkan beberapa pemikiran dari beliau seperti, “Hanya karena komitmen dan keterpanggilan saja, seorang pastor seperti dirinya mau ditugaskan di pedalaman Papua yang memiliki resiko besar.” Muridan juga menambahkan, “Berdoa dimana saja, kapan saja dan hanya ingin hidup damai.” merupakan prinsip dan pemikiran dari Yohanes Jonga.
Bahkan sampai saat dimana Yohanes Jonga memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien ia juga mempunyai beberapa prinsip dan pemikiran yang menunjukan bahwa beliau tulus dalam setiap tindakan kemanusiannya. Menurut beliau, atas penghargaan tersebut, hidupnya untuk melayani sesama dan bukan sebagai prestasi dalam menolong orang lain. Dibandingkan harus terus mencatat dan bercerita tentang masalah dan setiap aktivitasnya, Yohanes Jonga lebih suka untuk turun tangan dan langsung bertindak.
ADVERTISEMENT

Implementasi Pemikiran dan Teladan di Masa COVID-19

Seluruh dunia kini sedang mengalami permasalahan bersama dalam tatanan kehidupan karena adanya pandemi COVID-19. Interaksi Sosial menjadi kebiasaan antar manusia harus terhambat. Protokol kesehatan, kewaspadaan dan proteksi diri sudah menjadi prinsip dasar setiap manusia untuk mengantisipasi penyebaran virus ini. Kewaspadaan dengan virus memang sangat penting, tetapi ada beberapa masyarakat yang menjadi egois dan tidak memperhatikan satu dengan lain, bahkan saling merendahkan martabat sesama sebagai manusia.
Kewaspadaan memang sangat penting, tetapi kita juga tidak boleh menghilangkan rasa kemanusiaan kita dengan mengucilkan dan menjatuhkan martabat mereka. Kita perlu menerapkan pemikiran Yohanes Jonga, bahwa hal terpenting dalam setiap tindakan manusia adalah saling menolong dan melayani. Kita juga perlu menjunjung hak dan martabat manusia. Sebagai contoh, jika ada yang terjangkit, janganlah kita mengucilkan atau bahkan merendahkan, melainkan bantulah sebisa mungkin dan patuhi protokol agar mereka merasa dihargai sebagai sesama dan psikologi mereka tidak terganggu. Terkadang keserakahan dan egois menyelimuti manusia, di mana yang bukan hak mereka tetap mereka ambil. Korupsi atas dana bantuan COVID-19 dan juga pembagian sembako yang kurang merata menunjukan adanya ketidakadilan, keserakahan, dan keegoisan manusia. Dalam hal ini kita bisa menerapkan pemikiran Yohanes Jonga untuk saling membantu dan berbagi, seperti membagikan harta/barang kita yang melimpah kepada mereka yang terdampak oleh COVID-19 ini. Selain itu kita juga harus mengandalkan Tuhan pada berbagai keadaan dengan selalu berdoa, dimana saja dan kapan saja sesuai dengan pemikiran dari Yohanes Jonga.
ADVERTISEMENT
Menjaga diri pada saat pandemi memang sangat penting, tetapi kita juga harus menghargai hak dan martabat sesama. Yohanes Jonga juga mempunyai pemikiran bahwa apapun yang kita jalani harus memanggul salib, demi kebahagiaan dan kesejahteraan sesama. Dengan beberapa pemikiran dan pengimplementasian dari beliau, akan memberikan solusi dari permasalahan dalam COVID-19 seperti pengucilan masyarakat, tidak meratanya bantuan sosial dan krisis empati terhadap orang yang terdampak.
Dikutip dari : https://nasional.kompas.com/read/2009/12/09/13131696/John.Jonga..Pastor.Papua.Peraih.Yap.Thiam.Hien.Award.2009.?page=2
Penulis: Daniel Rian Ardhyantara, Mahasiswa Semester I Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Akuntansi, Universitas Airlangga