Kicking Away The Ladder dan Dilema Nikel Indonesia

Darynaufal Mulyaman
Dosen Prodi HI UKI Jakarta dan Research Fellow di INADIS
Konten dari Pengguna
13 September 2022 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darynaufal Mulyaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pembatasan Ekspor Nikel Indonesia dan Dinamika Pembangunan Internasional Lewat Gugatan Uni Eropa

Ilustrasi Ekspor (Ian Taylor/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ekspor (Ian Taylor/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Ha-Joon Chang, pakar ekonomi pembangunan asal Korea Selatan pada medio 2002 pernah mengungkapkan pemikiran tentang dilema pembangunan antara negara berkembang dan maju. Dilema ini menyuguhkan paradoks pembangunan internasional, yang mana negara berkembang mendapatkan tindakan yang intervensionistik ketika ingin bergerak naik membangun ekonominya dari negara yang sudah lebih maju.
ADVERTISEMENT
Tindakan ini dilakukan oleh negara yang lebih maju kepada negara yang sedang berkembang agar mengamankan kepentingan ekonomi nasionalnya, misal agar lebih makmur, lebih kaya, atau lebih maju. Oleh karena itu, Ha-Joon Chang, menganalogikan fenomena tersebut seperti orang yang sudah berada di tempat yang lebih tinggi menendang tangga yang sedang dinaiki orang dari bawah, agar menjelaskan situasi negara yang sudah atau lebih maju menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara yang berkembang, melalui tindakan intervensionisnya.
Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang dengan cukup pesat dan memiliki banyak komoditas seksi dunia, tentu saja tidak lepas dari dilema ini. Kemajuan yang diharapkan Indonesia melalui nikel contohnya, terhambat oleh gugatan Uni Eropa yang dilayangkan melalui Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO kepada Indonesia. Gugatan ini terkait pembatasan ekspor yang dilakukan Indonesia untuk memaksimalkan hilirisasi industri nikel.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut lagi, hal ini mungkin familiar bagi masyarakat Indonesia, karena kita diingatkan melalui isu nikel pada isu lainnya yang serupa, yaitu isu sawit, yang juga digugat oleh Uni Eropa, walaupun sawit Indonesia merupakan komoditas mayor dari golongan minyak nabati di dunia.
Lantas, mengapa dilema seperti ini acap kali terjadi pada Indonesia? Mungkin karena Indonesia "mengancam" negara-negara maju? Yang pasti, moral yang dapat dipetik dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah sesungguhnya Indonesia mampu dan mau menjadi negara maju dengan segala komoditas asli yang dimilikinya, seperti nikel dan sawit.
Kendati demikian, banyak pihak lain yang merasa terancam dan tidak aman, ketika kepentingan ekonominya bergeser atau berubah akibat sebuah aksi yang dilakukan bukan dari suatu entitas yang tidak satu warna. Seperti kisah Uni Eropa yang menggugat Indonesia terkait nikel dan sawitnya di pentas global.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bagaimana seharusnya Indonesia menyikapi hal ini? Secara diplomatis, Indonesia harus mampu mengamankan kepentingan dan keamanan ekonomi nasionalnya agar tujuan pembangunan yang diharapkan dapat tercapai, misal melalui nikel dan sawit melalui argumen yang asertif
Secara tata kelola hubungan internasional, yang dilakukan Indonesia melalui pembatasan ekspor nikel, adalah hal yang biasa dan tidak melanggar norma apa pun, karena sebagai negara yang berdaulat dan berkuasa penuh atas kedaulatannya, Indonesia berhak melakukan apa saja sesuai dgn norma yang berlaku terkait ekonominya, seperti membatasi ekspor. Ekspor nikel, sawit, atau bahkan komoditas ekspor lainnya.
Indonesia harus mampu berdiplomasi tangkas dalam "pertempuran" di WTO melalui argumen yang asertif dan mencakup narasi pembangunan domestik yang memang diperlukan untuk pemulihan ekonomi 270 juta masyarakat Indonesia, sehingga pembangunan Indonesia dapat terus berjalan sesuai yang direncanakan.
ADVERTISEMENT