Peradaban Toilet dan Kita

David Efendi
Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah, Pendiri Rumah Baca Komunitas dan staf pengajar di UMY
Konten dari Pengguna
30 Januari 2024 10:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari David Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumen pribadi/2022
zoom-in-whitePerbesar
dokumen pribadi/2022
ADVERTISEMENT
Masuk ke toilet di sekolah atau fasilitas publik lainnya sering sekali bikin ngelus dada. Prihatin mendalam. Bagaimana tidak? tempat itu lebih tragis nasibnya sepanjang Indonesia merdeka. Kisah toilet mungkin ini pernah ditulis orang sebagai perasaan yang jengkel, atau pikiran yang penuh kritik terhadap sisi kehidupan di negeri sendiri yang tidak beranjak dari bobroknya ruang-ruang agama yang juga dikorupsi.
ADVERTISEMENT
Jangankan makna kebersihan sebagian dari iman, bila terdesak tuhan pun dibajak untuk kegiatan yang antikemanusiaan, yang sering dipraktekkan rezim yang menuhankan keuangan sebagai plesetan atau kasarnya pembajakan tuhan dari falsafah luhur ketuhanan yang maha esa. Seorang guru pernah bertutur, bahwa tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari keadaan toilet umum di mana bangsa atau komunitas itu tinggal. Kalimat itu bisa diyakini betul, bisa dipercaya atau ditolak itu hak anda sepenuhnya ketika anda memang pengguna atau tidak pengguna public toilet. Saya tidak mengkaji asal muasal toilet tapi pasti kita sepakat bahwa kita butuh public toilet. Meski kita tidak merasa memiliki bahkan jengkel kalau toilet itu kotor, jijik, dan tidak tersedia air yang cukup. Hati dan emosi memuncak lalu muncullah pertengkaran. Hal ini bisa dilihat dari kasus toilet di kereta api kelas ekonomi yang saya alami sendiri.
ADVERTISEMENT
Kisahnya begini, pada saat liburan lebaran atau hari minggu sore kereta api progo selalu penuh sesak. Penumpang dari berbagai tempat kereta ini berhenti selalu dibanjiri penumpang sampai-sampai tidak ada tempat berdiri yang tersisa. Tidak ada solusi, tidak ada pilihan lain (no exit and choice). Penumpang memilih public toilet sebagai tempat berdiri atau sekedar melepas lelah dari pada berdiri dengan satu kaki atau bahkan tanpa kaki alias menggantung di samping pintu kereta api. Apa yang terjadi kemudian? beberapa penumpang maaf ibu-ibu dengan anak kecilnya butuh tempat untuk buang hajat. Ketoklah pintu si Ibu dan anak itu. Tidak ada respon dan bilang penuh orang di WC. Lalu dengan terpaksa Ibu itu kembali ke tempat duduknya. Semenit kemudian datanglah seorang bapak dengan wajah yang seram (maaf) itu juga berhasrat ke WC meski sudah tahu di WC tidak tersedia air. Tidak dibukakan pintu, muntablah dan pecahlah adu mulut sampai adu jotos gara-gara WC.
ADVERTISEMENT
Seorang yang belajar public service pasti akan mengatakan bukan yang berkelahi itu yang salah. Pasti penyelenggara jasa kereta api yang salah bagaimana tidak, para penumpang ini membayarkan kewajiban sebagai penumpang tapi tidak mendapatkan hak sebagai penumpang. Mungkin pemerintah bisa mencari solusi perihal toilet dan dampak ikutannya itu misalnya dengan membatasi penumpang, menambag gerbong kereta, atau perketat jangan sampai ada penumpang yang tidak membayar ikut naik yang mengakibatkan air toilet cepat habis, perkelahian, dan sebagainya. Pemerintah masih senang dengan cuek bebeknya soal ini, kenyataanya negeri ini tidak beranjak dari peradaban toilet karena terlalu gampang mengabaikan hal-hal yang kecil. Tiliklah barat yang tidak kenal "annadlhofatu al mina al iman" itu tertib dan bersih toiletnya dengan logika mencegah penyakit menular kemana-mana. Jangankan dikereta yang ditempati para musafir. Saya tengok dan silakan tengok sendiri bagaimana keadaan toilet di terminal, di kantor-kantor pemerintahan, di Sekolah-sekolah negara atau agama (pesantren).
ADVERTISEMENT
Toilet menjadi tempat yang jijik dan menjijikkan sampai-sampai penulis memilih membatalkan acara di toilet melihat keadaan yang sangat tidak humanize seperti toilet binatang (maaf). Kesadaran akan pentingnya toilet ini belum tertanam sampai titik kesadaran anak bangsa, tidak guru tidak murid, bahkan beberapa sekolah membedakan toilet guru dan murid yang kejadian ini tidak pernah terjadi di barat toilet dibedakan berdasarkan status guru,karyawan dan murid. Karena toilet siswa tidak ada air maka isenglah siswa-siswa itu untuk membobol toilet khusus guru dan kepala sekolah itu. Jika kesadaran dibangun bersama, ini tidak perlu terjadi. Sekali lagi, tidak perlu. Andai saja, nilai-nilai agama itu tidak sekedar dihafalkan dan ditempelkan ditembok. Tentu sedikit cahaya terang beranjak dari peradaban toilet. Kemana anggaran pendapatan nasional daerah yang terus bertambah itu larinya? ke saku pejabat? nauudzubillah...atau sama sekali memang toilet umum dibangun dengan sistem yang lebih baik yang mungkin beranjak dari peradaban yang terpuruk ini? tidak hanya toilet umum rakyat kecil, lihat di toilet kejujuran dan nurani para pejabat itu akan jauh terpuruk tertinggal dibelantara peradaban. Sampai sekarang, penulis pun tidak yakin bahwa tulisan emosi model beginian akan terdengar ke telinga pejabat yang tidak akan familiar dengan hal-hal kecil ini.
ADVERTISEMENT
Mereka akan tergerak ketika ada uang berkeliaran di sekitarnya, ketika ada tiket naik haji gratis untuk keluarga dan dana-dana yang dipaksakeluarkan dari bank-bank rakyat melalui keputusan legislatif dan eksekutif yang saling mendapat keuntungan sementara rakyat selalu mendapat getah dari pembangunan yang terampas. Siapapun anda, bertanggungjawablah atas dua hal toilet.
Bagai rakyat tentu penting untuk menjaga otak tetap waras agar peduli pada kebersihan toilet selagi menggunakan. Bagi pejabat dan penguasa, penggerak roda pemerintahan, mungkin toilet hati nurani perlu dinyalalakan sehingga terang benderang untuk berbagai kenyamanan dengan rakyat, jangan dinikmati sendiri sebab itu bagian dari kedzaliman yang sangat nyata. Sejahat-jahat manusia, adalah pemimpin/penguasa yang tidak adil! termasuk dalam hal penyelenggaraan pelayanan toilet yang memanusiakan manusia. Wallau a'lam bishowab
ADVERTISEMENT