Titik Temu Gender dan Gerakan Lingkungan

David Efendi
Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah, Pendiri Rumah Baca Komunitas dan staf pengajar di UMY
Konten dari Pengguna
25 Februari 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari David Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber:https://twitter.com/voicetopeople/status/1461900495425994756/photo/1
zoom-in-whitePerbesar
sumber:https://twitter.com/voicetopeople/status/1461900495425994756/photo/1
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Paragraf di atas adalah penggalan dari Pidato Kebudayaan DKJ yang akan disampaikan oleh Saras Dewi pada tahun 2018 silam. Suara jernih dari cikini ini mengafirmasi bagaimana pentingnya membangun masa depan dengan keseimbangan di planet bumi. Keseimbangan yang dicitrakan dengan keadilan gender, dan tidak biasa diskriminatif atas apa pun di permukaan bumi.
Gerakan keadilan dan gender bertemu atau malah sudah menubuh pada upaya untuk memastikan keadilan lingkungan termasuk keadilan iklim bagi semua. Tidak boleh ada yang memanen sumber kesejahteraan di atas derita masyarakat rentan. Sebagai contoh, kelompok korporasi mengeruk batubara, meratakan hamparan jutaan hektar hutan menjadi tragedi bagi masyarakat setelah mereka berpesta pora mendapatkan pundi-pundi kekayaan.
Politik lingkungan bekerja untuk memastikan tak boleh ada yang khianat atas berkah dan petaka. Petaka tak perlu diundang, sehingga kedamaian dan keadilan itu lestari dari dalam bukan pemberian. Kerusakan hutan akibat ulah industri, lalu konflik lalu ada pihak wali yang berusaha mendamaikan (resolusi konflik) padahal masyarakat tak pernah mengundang konflik itu hadir pada kehidupannya, kelompok ekonomi pertumbuhan dan rezim pembangunan yang mengundang bencana.
ADVERTISEMENT
Ada setidaknya 3 titik temu gerakan gender dengan gerakan lingkungan. Pertama, orientasi pertahanan keadilan dan menolak ketidakadilan. Perdamaian adalah bukan tidak ada konflik, tapi absennya ketidakadilan. Jika mau damai, berlakulah adil. Ketidakadilan berbasis gender terus dipupuk dan subur dalam segala lini kehidupan yang pada gilirannya menyulitkan kerja kolektif untuk keadilan lingkunagn karena relasi gender saja belum mendapati keadilan yang otentik--bagaimana mungkin imajinasi keadilan lingkungan atau iklim secara memadai terinternalisasi. Pasti sifat perjuangannya semu tanpa kerja mengadilkan relasi kemanusiaan.
Kedua, nilai pengasuhan perempuan yang sangat compatible dengan gerakan penyelamatan jagad ibu bumi. Perempuan dan ibu itu satu tiada dapat diceraikan. Keduanya menghadirkan simbiosis mutualisme yang otentik. Simbiosis mutualisme adalah gambaran keterkaitan antara bumi dan manusia yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Keduanya saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Manusia menjaga dan merawat bumi, sedangkan bumi memberikan kebutuhan pokok manusia berupa sandang, pangan dan papan. Potensi memberi tanpa mengharap balasan adalah pengejawantahan dari sosok ibu, yaitu rela berkorban nyawa demi melahirkan buah hati, merawat dan membesarkannya. Karena itulah lahir istilah Ibu Bumi.
Metafora Ibu Bumi dipandang baik ketika memunculkan kesadaran bahwa bumi telah memberikan banyak hal kepada manusia dengan ikhlas. Dalam beberapa daerah, ada tradisi yang semakin menguatkan statement mengenai persamaan antara bumi dan perempuan.
Dinamika lingkungan sebagai produk saling penguatan dari banyak susunan yang saling berinteraksi dan proses dari pada lebih suatu desain. Dengan demikian, perbedaan yang fundamental antara tabiat manusia dan lingkungan bermakna bahwa pemahaman peran suatu masyarakat di dalam sistem lingkungan memerlukan bukan hanya pemahaman bagaimana masyarakat telah berbuat di masa lampau, tetapi juga apa yang mereka rencanakan untuk masa depan (Hidayat, 2008).
ADVERTISEMENT

Dari Bumi Ke Politik

Ketiga, gerakan pertahanan lingkungan sebagai kerja politik. Politik lingkungan adalah kerja memastikan adanya relasi manusia-alam secara adil dan lestari. Manusia memanfaatkan alam sebagai penopang hidup, bukan sebagai obyek eksploitasi tanpa batas.
Michael Watts berpendapat bahwa, “Political ecology is the complex relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for environmental health and sustainable livelihoods.” (Robbins, 2012). Dapat dipahamai bahwa multi disiplin politik Lingkungan memiliki konsekuensi pada pembentukan hubungan kompleks antara alam dan masyarakat terkait bentuk akses dan kontrol atas sumber daya dan implikasinya terhadap kesehatan kolektif lingkungan dan kehidupan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Politik Lingkungan dipahamai sebagai pendekatan interdisipliner yang muncul untuk mempelajari interaksi manusia-lingkungan dengan lensa kritis. Secara umum, kajian ini berfokus pada bagaimana kesenjangan kekuasaan berhubungan dengan perubahan lingkungan, dan distribusi biaya dan manfaatnya. Ciri utama ekologi politik adalah politisasi permasalahan lingkungan. Artinya, permasalahan lingkungan dipandang sebagai permasalahan distribusi dan pelaksanaan kekuasaan politik dan ekonomi, yang ditandai dengan konflik mengenai alternatif masa depan dan benturan antara nilai-nilai alternatif dan khayalan. Menyadari hal ini berarti bahwa masalah-masalah lingkungan hidup harus ditanggapi dengan baik dengan masalah-masalah politik dan ekonomi: masalah-masalah demokrasi, masalah-masalah ekonomi, masalah-masalah ideologi, dan lain-lain (Andreucci. et.al, 2019).
Menurut Vandana Siva (1993), akar krisis ekologis terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan (Hasibuan, 2008). Peterson mengatakan bahwa politik lingkungan adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam di masyarakat baik dalam skala individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Kemudian menurut Lamont C. Hempel menjelaskan konsep Political Ecology:
Lingkungan memiliki sejumlah kharakteristik khas yang idealnya dapat dijadikan titik rujuk bagi politik sebagai instumen pengaturan kepentingan bersama. Tiga kharakteristik dasar lingkungan bisa diidentifikasi (Lay, 2007). Pertama, watak lingkungan sebagai sebuah kesatuan sistem melintasi sekat-sekat administrasi pemerintahan dan politik. Fenomena alam tidak ada KTP-nya, tidak pernah bisa dipagari oleh ruang produk keputusan politik. Ia melintasi batas-batas negara, mengabaikan konseptualisasi tentang “kedaulatan” sebagai titik pijak dalam pemaknaan kekuasaan negara modern.
ADVERTISEMENT
Kedua, lingkungan melekat di dalamnya kepentingan paling subyektif dari manusia sebagai makhluk, terlepas dari ruang politik dan terbebas dari penjara waktu. Setiap individu, membutuhkan lingkungan sebagai ruang kebutuhan hari ini yang tak bisa ditunda pemenuhannya dan sekaligus ruang kebutuhan masa depan yang tak dapat dipercepat. Lingkungan adalah ruang kita sebagai makhluk manusia bukan saja sebagai ruang hari ini, tapi sekaligus sebagai ruang masa depan diri dan anak keturunan kita. Dalam konteks ini, lingkungan memiliki variasi makna, mulai dari posisinya sebagai ruang ekonomi, ruang kultural, bahkan hingga pada ruang dalam makna fisikalnya. Ruang hidup perempuan selalu memiliki makna ganda yang membuat relasi ini menjadi rentan dan beresiko.
Ketiga, daya menghukum lingkungan yang indiskriminatif. Hal ini timbul sebagai akibat dari pengabaian dan nornalisasi oleh manusia atas ketidakamanan lingkungan. Bencana alam meresikokan siapa saja tanpa berhitung atau mempedulikan kelas sosial, kekayaan asal-usul, agama dan berbagai kategori pembeda manusia lainnya. Tidak harus para pendosa ekologis, yang tanpa dosa pun bisa menerima resiko.
ADVERTISEMENT
Bacaan
Cornelis Lay, (2007), Nilai Strategis Isu Lingkungan dalam Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik vol. 11 nomor 2. UGM Yogyakarta. Hal 156-157
Diego Andreucci, dkk., Political Ecology for Civi Society, (ENTITLE‐European Network of Political Ecology, 2016) diunduh pada 10 Februari 2019 dari http://www.politicalecology.eu/documents/events/94-entitle-manual-may-2016/file, hal 5
Herman Hidayat.2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia hal 9
Paul Robbins, Political Ekology: Second Edition, (Oxford: John Wiley & Sons Ltd, 2012), hal 16
Umar Syadat Hasibuan. 2008. Green Politics dan Penyelesaian Persoalan Lingkungan Hidup di Indonesia. Melalui <http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=9104&coid =3&caid= 31& gid=5> (4 Januari 2019 pukul 19.39)