PSI dan Politik Identitas

Delly Ferdian
Peneliti di Indonesia Indicator, Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Desember 2018 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Delly Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Partai Solidaritas Indonesia (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Partai Solidaritas Indonesia (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) begitu menjadi sorotan. Terakhir PSI menyatakan sikap bahwa menolak Poligami. Pernyataan ini tentu membuat PSI semakin membuktikan bahwa mereka berani bermain dengan isu sensitif yang sedikit menyinggung keagaaman.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, juga menjadi sorotan lantaran ikut angkat bicara terkait pro dan kontra pernyataan Wasekjen PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, yang mengatakan bahwa Presiden RI ke-2, Soeharto sebagai guru korupsi.
Raja menyebut bahwa Soeharto merupakan simbol korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Namun, menurut hemat saya, pernyataan tersebut tak setajam dan semenohok pernyataan sikap Ketua Umum PSI, Grace Natalie, yang menyinggung perda (peraturan daerah) yang berbasis ketentuan salah satu agama tertentu atau tentang Poligami.
Wajar jika akhir-akhri ini PSI mulai getol menyatakan sikap. Pasalnya, hasil survei yang sempat membuat mereka urut dada, wajib menjadi pedoman PSI dalam menentukan strategi politik partai ke depan.
Ketua Umum PSI Grace Natalie (kanan) didampingi Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni (kiri) ketika menghadiri Festival 11 di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (11/12). (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PSI Grace Natalie (kanan) didampingi Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni (kiri) ketika menghadiri Festival 11 di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (11/12). (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Berdasarkan hasil survei yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny J.A, terkait elektabilitas 16 partai politik peserta pemilu di 10 provinsi terbesar di Indonesia, nama PSI nyatanya tak mampu bertengger dalam jajaran sepuluh besar partai yang diminati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tercatat, di Jawa Barat, PSI menempati urutan ke-15 dengan perolehan 0,2 persen; Jawa Timur, PSI menempati urutan ke-12 dengan perolehan 0,3 persen; Jawa Tengah, di urutan ke-11 dengan 0,2 persen; Banten, di urutan ke-11 dengan 0,7 persen; DKI Jakarta, di urutan ke-12 dengan 0,5 persen; Sulawesi Selatan, di urutan ke-13 dengan 0,3 persen; Lampung, di urutan ke-14 dengan 0,2 persen; dan Riau, di urutan ke-13 dengan 0,2 persen. Sedangkan di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara, PSI kandas di urutan terkahir dengan perolehan 0,0 persen.
Seolah tak mau mati akal dengan hasil survei LSI Denny JA yang cukup memprihatinkan tersebut, PSI mulai mencari isu alternatif selain milenial untuk mendongkrak elektabilitasnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Milenial adalah konsen dan daya tarik yang digunakan PSI selama ini, masyarakat cenderung mengenal PSI sebagai partai anak-anak muda.
ADVERTISEMENT
Namun, pada kenyataannya, dengan membawa isu Milenial, nama PSI belum mampu melambung di tengah masyarakat. Survei elektabilitas LSI adalah bukti nyata yang dapat memperkuat asumsi tersebut.
Oleh karena itu, kita dapat membaca, bahwa ikut bicaranya Raja Juliantoni dalam polemik ‘Soeharto Guru Korupsi’, dan sikap penolakan Grace Natalie terhadap perda berbasis keagamaan maupun sikap penolak terhadap poligami, adalah isu alternatif yang diangkat PSI berdasarkan hasil survei dan pengamatan tren politik yang sedang marak-maraknya, yakni politik identitas.
Tren Politik Identitas
Gaya milenial kader Partai PSI. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Gaya milenial kader Partai PSI. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Bagi saya, sikap politik yang diutarakan para politisi PSI, khususnya pernyataan Grace Natalie, adalah sinyal yang menyatakan bahwa PSI sudah menghanyutkan diri dalam arus politik identitas yang kian menguat di Indonesia. Bukti nyata bahwa politik identitas masih sangat kental dan kuat di Indonesia adalah gerakan 212 yang masih sangat kuat, dan baru saja buming kembali sejak reuni akbar 212 pada minggu, 2 Desember lalu.
ADVERTISEMENT
Tak dapat dimungkiri bahwa tren politik identitas mulai buming disebabkan oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, saat tergelincir oleh ucapannya di Kepulauan Seribu dan berujung pada munculkannya gerakan 212.
Pada dasarnya, gerakan 212 adalah gerakan bela Islam yang timbul untuk mendesak Ahok yang dianggap sang penista agama untuk diadili. Namun, tak sedikit yang menyebut bahwa gerakan ini adalah gerakan politis demi kepentingan elektoral Pilkada DKI Jakarta.
Tak mau ikut menjadi korban serupa Ahok, Jokowi pun memilih sikap yang sama, yakni memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang mendampinginya. Sikap inilah yang mengonfirmasi kepada kita bahwa politik identitas sangat kuat bahkan sangat mengancam kontestasi sekaliber pemilihan presiden.
Reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta Pusat. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta Pusat. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Setelah memilih Ma’ruf Amin, kita dapat melihat, bahwa serangan kepada Jokowi secara personal yang berbau sentimen keagamaan pada Pilpres kali ini dengan mudah terpental.
ADVERTISEMENT
Berita bohong pun yang menyerang Jokowi secara personal lebih mengarah kepada isu PKI (Partai Komunis Indonesia) yang jelas sudah basi, atau ujaran kebencian yang baru-baru ini dilontarkan seorang penceramah bernama Habib Bahar Smith yang menyebut 'Jokowi Haid' maupun 'Banci'.
Tentu, masyarakat sangat jeli untuk memilah baik maupun buruknya kasus yang diarahkan kepada Jokowi. Ujaran kebencian yang dilontarkan Bahar Smith jelas akan sia-sia, bahkan dapat menjadi keuntungan, lantaran serangan tersebut menciptakan sentimen positif berupa simpati masyarakat untuk Jokowi, sebaliknya ujaran tersebut berdampak negatif untuk mereka yang berada di pihak pelaku.
Selain isu politik identitas, isu-isu yang menyerang secara personal baik Jokowi beserta Ma'ruf Amin, maupun Prabowo dan Sandiaga Uno, akan mudah tertepis. Oleh karena itu, mengamankan sudut-sudut yang berpotensi menjadi kelemahan berbau politik identitas adalah upaya yang harus diprioritaskan oleh para kandidat sebelum tergelincir dan blunder yang akhirnya berdampak secara elektoral.
ADVERTISEMENT
Bagi PSI, ikut menyinggung politik identitas membuat mereka terdongkrak secara popularitas. Popularitas tersebut tentu bisa menjadi baik maupun buruk, tergantung bagaimana kemampuan persuasif seseorang yang memaanfatkannya.
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie di Kantor PGI, Jakarta, Senin (15/10/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie di Kantor PGI, Jakarta, Senin (15/10/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Inilah pekerjaan rumah PSI, di tengah hantaman yang terus berdatangan akibat sikap politik berupa penolakan perda berbasis keagamaan, mereka dipaksa harus mampu menyakinkan masyarakat bahwa sikap politik yang mereka utarakan dan perjuangkan adalah sikap politik yang rasional, realistis, dan memiliki urgensi yang tinggi serta krusial.
Pada dasarnya, politik identitas sangat mudah berkembang lantaran isu tersebut sangat akrab bagi masyarakat dan sifatnya yang sangat sensitif. Sensitivitas isu politik identitas menyebabkan masyarakat sangat mudah terpantik secara emosional.
Banyak yang bilang, se-nakal-nakalnya seseorang, ketika agamanya disinggung atau dihina, ia akan merespons dengan keras. Itulah mengapa, politik dan agama kerap dipelintir untuk kepentingan elektoral.
ADVERTISEMENT
Saya secara pribadi, memberikan apresiasi atas sikap politik PSI. Walaupun menyinggung politik identitas, PSI tetap menjaga batas untuk tidak menyinggung salah satu pihak, dan tidak membungkus isu yang mereka angkat dengan ujaran politik kebencian seperti apa yang disampaikan Habib Bahar Smith. Hemat saya, PSI memanfaatkan tren tersebut dengan sangat baik, dan konten yang elegan.
Sebutan bak Startup (perusahaan rintisan) Unicorn (memiliki nilai vaulasi yang tinggi) yang disematkan Jokowi tampaknya dapat dipertanggungjawabkan dengan sikap PSI yang menolak perda berlandaskan agama. Namun, apakah dengan mengikuti arus politik identitas kemudian isu milenial akan ditinggalkan, sebagaimana yang selama ini indentik melekat pada PSI?
Apakah dengan menyingung politik identitas membuat milenial akan lebih tertarik dengan politik, atau bahkan menjatuhkan pilihannya kepada PSI? Inilah tantangan nyata bagi PSI.
ADVERTISEMENT