PSI, Poligami, dan Bandwagon Effect

Delly Ferdian
Peneliti di Indonesia Indicator, Jakarta
Konten dari Pengguna
28 Desember 2018 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Delly Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) lagi-lagi mendapatkan sorotan negatif publik belakangan ini. Terakhir, partai besutan Grace Natalie ini menyatakan sikap menolak poligami. Poligami sendiri lebih diartikan masyarakat sebagai sebuah sistem perkawinan dengan salah satu pihaknya yang mengawini lebih dari satu orang.
ADVERTISEMENT
Tentu akibat pernyataan tersebut pro dan kontra terus berdatangan dan seolah membanjiri ruang publik. Tentu tak sedikit yang mendukung gagasan feminisme PSI yang satu ini, namun tak sedikit pula yang memberikan respon negatif. Apalagi urusan poligimasi disebut-sebut bersinggungan dengan agama. Ada yang bilang, agama saja tak melarang poligami, sementara PSI dengan tegasnya melarang poligami.
Penolakan atas sikap politik PSI tersebut bukan hanya datang dari eksternal PSI, namun juga internal. Salah satu kader PSI di Bonel, Sulsel, Nadir Amir, menyatakan bahwa dirinya menolak sikap PSI tersebut. Bukan hanya Nadir, Ketua DPD PSI Kabupaten Gowa, Muhammad Ridwan pun menyatakan sikap yang sama. Terkait penolakan tersebut pun, Grace Natalie angkat bicara dengan mengatakan bahwa PSI mempersilakan kadernya untuk mundur jika tidak sepaham dengan haluan PSI.
ADVERTISEMENT
Sebelumnnya, PSI juga disebut sebagai partai yang memberikan dampak negatif untuk Jokowi. Berawal dari pernyataan Sekjen PSI, Raja Juli Antoni yang mengusulkan agar KPU memasukkan isu 'korupsi orde baru' sebagai materi debat Pilpres 2019, direspon negatif oleh Ketua DPP Golkar, Andi Harianto Sinulingga. Andi mengatakan bahwa PSI harus menyadari bahwa korupsi pasca-orde baru tak kalah hebat daripada korupsi di orde baru. Andi pun mengatakan PSI sering membuat blunder yang justru pada akhirnya merugikan Jokowi sebagai seorang calon presiden.
Hemat saya, berkat hasil survei elektabilitas PSI yang kurang memuaskan dari LSI Denny JA beberapa waktu yang lalu, PSI mulai meningkatkan agresifitas dalam berpolitik. Tentu sebagai partai baru, wajar jika PSI masih memiliki elektabilitas yang rendah dibandingkan partai politik senior lainnya. Bisa dikatakan juga bahwa untuk saat ini PSI sedang trial and erorr untuk mencari pakem yang pas sebagai arah gerakan PSI yang dianggap mulai tak jelas.
ADVERTISEMENT
Selama ini, PSI dikenal sebagai partai yang mengedepankan milenial dalam gerakannya. Namun pada kenyataannya, isu milenial tak begitu mendongkrak elektabilitas PSI. Nyatanya, berdasarkan hasil survei terkait elektabilitas 16 partai politik peserta pemilu di 10 provinsi terbesar di Indonesia. PSI dapat dikatakan belum mendapatkan tempat terbaik di hati pemilih.
Tercatat, PSI tak mampu bertengger di peringkat 10 besar dalam jajaran partai politik peserta pemilu. Sebut saja di Jawa Barat, PSI menempati urutan ke 15 dengan perolehan 0,2 persen, di Jawa Timur PSI menempati urutan ke 12 dengan perolehan 0,3 persen, Jawa Tengah di urutan ke 11 dengan 0,2 persen, Banten di urutan ke 11 dengan 0,7 persen, DKI Jakarta di urutan ke 12 dengan 0,5 persen, Sulawesi Selatan di urutan ke 13 dengan 0,3 persen, lampung di urutan ke 14 dengan 0,2 persen, dan Riau di urutan ke 13 dengan 0,2 persen. Sedangkan di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara PSI kandas di urutan terakhir dengan perolehan 0,0 persen.
ADVERTISEMENT
Hasil survei yang tak memuaskan ini, membuat PSI mulai aktif bahkan agresif dalam hiruk pikuk panggung politik di Tanah Air. Hemat saya, PSI mulai terjun dengan memanfaatkan Bandwagon Effect dari kontestasi Pilpres yang kian memanas.
Bandwagon Effect
Istilah Bandwagon (kereta musik) itu sendiri mengacu pada pertunjukan musik dan sirkus yang diperkenalkan di Amerika. Kereta musik yang begitu menarik membuat banyak orang tertarik untuk meramaikan parade tersebut. Setelah begitu populer, kemudian muncullah istilah jump on the bandwagon. Siapa saja yang ingin menjadi terkenal dapat ikut dalam parade kereta musik lantaran masyarakat begitu menyukai pertunjukan yang disajikan. Dalam konteks politik, seorang politisi akan ikut bergabung dalam hiruk pikuk sebuah isu yang sedang berkembang dengan harapan cipratan popularitas yang juga berharap dapat berbanding lurus dengan peningkatan elektabilitas.
ADVERTISEMENT
Bandwagon effect juga dapat diartikan sebagai kondisi kecenderungan seseorang untuk mengikuti perilaku, gaya, bahkan cara berbicara orang lain hanya karena semua orang melakukan itu atau dapat disebut mengikuti tren yang berkembang. Oleh karena itu, tidak heran jika tak butuh waktu yang lama, satu tren tertentu dapat diikuti oleh banyak orang.
Dalam dunia politik, khususnya dalam konteks prilaku memilih masyarakat (voting behavior), Bandwagon Effect dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan seseorang untuk memilih seorang kandidat atau pasangan calon yang lebih diunggulkan atau terlihat lebih unggul dibandingkan kandidat lainnya. Misalnya dari berbagai hasil survei yang dirilis berbagai lembaga konsultan politik maupun lembaga riset seperti Litbang Kompas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dan banyak lembaga survei lainnya yang memenangkan pasangan Jokowi-Amin dibandingkan Prabowo-Sandi, maka ada kecenderungan bahwa masyarakat akan berbondong-bondong mendukung Jokowi-Amin karena telah menjadi pemenang berdasarkan hasil survei.
ADVERTISEMENT
Dampak survei demikian yang menjadi alasan mengapa masyarakat wajib cerdas dalam menanggapi hasil survei, pasalnya, tak dapat dimungkiri bahwa survei politik dewasa ini merupakan bagian dari upaya pemenangan kandidat dalam kontestasi pemilihan umum. Oleh karena itu, dengan hasil survei yang cenderung menyudutkan PSI, menjadi wajar jika PSI berusaha untuk tak mati akal dengan cara agresif dan reaktif terhadap isu yang berkembang.
Dapat kita amati, awalnya PSI menyatakan sikap untuk menolak perda (peraturan daerah) yang berlandaskan salah satu agama tertentu. Sikap ini jelas membuktikan bahwa PSI percaya isu politik identitas semakin menguat dan layak untuk disinggung sebagai modal mendongkrak elektabilitas. Kemudian ketika Wasekjen PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menyebut bahwa Soeharto adalah guru korupsi. PSI pun ikut angkat bicara melalui Raja Juli Antoni dengan mengatakan bahwa Soeharo merupakan simbol dari korupsi orde baru.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sejumlah kader PSI seperti Rian Ernest, Mikhail Gorbachev Dom Sigit Widodo dan beberapa kader lainnya yang tergabung dalam tim bersih-bersih DPR mendatangi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI untuk meminta agar lembaga terkait membuka akses informasi publik terkait anggaran, baik secara aktif tanpa permohonan maupun pasif atas permohonan masyarakat.
Fenomena aktifnya PSI belakangan ini adalah fenomena Bandwagon Effect yang diyakini PSI dapat menggenjot elektabilitasnya yang tak memuaskan. Namun dalam hal ini, kritik keras yang diutarakan PSI bukan tak mungkin dapat memberikan dampak negatif yang tak sesuai harapan. Tentu utamanya, pro dan kontra akan terus berdatangan untuk menjatuhkan PSI, pasalnya partai yang seumur jagung ini, belum memiliki pengalaman apapun dalam mewakili suara rakyat di parlemen. Jika tak cerdas menangkal serangan terhadap partainya, PSI dapat dicap sebagai partai yang sedang ketakutan lantaran terancam gugur akibat parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang ditetapkan KPU agar dapat melenggang ke senayan di 2019 mendatang.
ADVERTISEMENT