Urgensi Pembangunan Papua

Delly Ferdian
Peneliti di Indonesia Indicator, Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Desember 2018 13:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Delly Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penembakan 31 pekerja proyek jembatan di jalur Trans Papua tepatnya di distrik Yigi, Kabupaten Nduga, oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pada 2 Desember 2018 sekitar pukul 15.30 WIT, membuka tabir disintegrasi bangsa klasik yang tak pernah terselesaikan sampai pada detik ini.
ADVERTISEMENT
Penembakan tersebut diduga lantaran seorang dari pekerja PT Istaka Karya sempat melihat dan memotret kelompok kriminal bersenjata saat mereka sedang malaksanakan upacara. Dalam kasus ini pun, Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengklaim bertanggungjawab atas penembakan keji tersebut.
Tak dapat dimungkiri bahwa OPM sampai pada detik ini masih mengupayakan untuk memerdekakan Papua. Ancaman disintegritas dari OPM adalah fakta yang tak bisa ditepis namun tak pernah bisa dituntaskan oleh pemerintah Indonesia. Bahkan, OPM sendiri, sudah begitu mengakar serta mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat Papua dan juga dari Negara lain seperti Australia. Hal ini tentu tak lepas dari kepentingan internasional Australia itu sendiri.
Kasus penembakan ini juga menurut hemat saya merupakan tamparan keras bagi pemerintah khususnya pemerintahan Jokowi-JK yang telah mememasuki masa injuries time kepemimpinannya. Karena pada dasarnya, sekuat apapun elektabiltas Jokowi menjelang Pilpres 2019 ini, kemungkinan Prabowo memenangkan pertarungan masih cukup terbuka. Oleh karena itu, memprioritaskan kasus Papua khususnya terkait penembakan ini tak bisa ditunda-tunda dan tak perlu menunggu periode selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Faktor Sejarah
Permasalahan Papua bukan hanya soal keadilan dan kesejahteraan yang tak terdistribusi dengan baik, tapi juga faktor sejarah panjang Papua yang berdarah-darah yang mulai dari masa sebelum kemerdekaan sampai pada saat ini.
Sejatinya, Indonesia adalah Imagined Communities atau komunitas terbayang. Benedict Anderson seseorang yang mempopulerkan konsep tersebut dalam karyanya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism menjelaskan bahwa sebuah bangsa adalah komunitas yang dikonstruksi secara sosial, dibayangkan oleh orang-orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Indonesia sendiri dalam sejarahnya tak pernah dipimpin oleh satu Raja atau satu pemimpin, Indonesia adalah gabungan dari berbagai suku, ras, dan agama yang berbeda namun punya satu tujuan yakni merdeka dari jajahan kolonial. Pada awal kemerdekaan Indonesia pada 1945, dan diakui Belanda pada 1949, nyatanya Papua atau Irian Barat tak masuk dalam wilayah yang merdeka.
ADVERTISEMENT
Satu tahun setelah peristiwa konferensi meja bundar, barulah pembahasan terkait Irian Barat menjadi perhatian. Karena merasa Irian Barat memiliki sejarah yang sama dan sama-sama dijajah oleh kolonial, Indonesia memperjuangkan Irian Barat untuk menjadi satu kesatuan dalam imagined communities yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah Indonesia yang dipimpin Bung Karno (Soekarno) terus mengupayakan berbagai cara diplomatis sampai cara militer untuk membantu saudara kita (Irian Barat) lepas dari penjajahan. Dengan banyaknya peristiwa Heroik yang telah diupayakan pemerintah, akhirnya pada 1 Mei 1963, Irian Barat terbebaskan.
Namun, pada kenyataannya, pemerintah Indonesia sendiri tak begitu memprioritaskan Papua di masa lalu. Kesejahteraan dan Keadilan seolah tak menyentuh tanah Papua. Oleh karena itu, patut kita apresiasi bahwa di era Presiden SBY, Papua sudah mulai diperhatikan, bahkan di era Presiden Jokowi, pembangunan Indonesia Timur khususnya Papua begitu masif.
ADVERTISEMENT
Urgensi Pembangunan Papua
Alasan sejarah, ketidakadilan, sampai kesejahteraan, membuat OPM terus memberontak. Bagaiamana tidak kekayaan Papua yang terus dikeruk, nyatanya tak berbanding lurus dengan kesejahteraan Papua. Oleh karena itu, pembangunan Papua dari segala sektor tak bisa ditunda-tunda bahkan harus segara dikebut. Warga Papua harus merasakan keadilan dan kesejahteraan yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Meruntuhkan ketimpangan adalah pekerjaan rumah yang turun temurun harus diselesaikan pemimpin bansa ini, khususnya di Papua.
Sebagai saudara satu Negara, masyarakat non-Papua wajib mendukung dan berkontribusi dalam hal apapun demi suksesnya distribusi keadilan dan kesejahteraan di tanah Papua. Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi berbagai program Presiden Jokowi seperti pembangunan infrastruktur dan program BBM satu harga. Karena pada kenyataannya, program ini sangat membantu masyarakat, akses ekonomi di Papua pun diprediksi akan terus terbuka. Apalagi dengan program BBM satu harga, hemat saya program ini dapat disebut sebagai obat mujarab untuk menekan biaya ekonomi yang tinggi yang selama ini tak terentaskan.
ADVERTISEMENT
Saya percaya anggapan bahwa ‘setidak-tidak layaknya Papua untuk dibangun dari segi kelayakan, maka pembangunan harus tetap diutamakan’. Memang jika dikaji secara kelayakan investasi, tak ada layak-layaknya untuk pembangunan. Bahkan jika pun ada, kelayakannya sangat rendah.
Membangun infrastruktur adalah membangun kehidupan. Pembangunan infrastruktur adalah stimulus agar ekonomi dapat bertumbuh. Ketika akses jalan telah dibuka, jembatan telah dibangun, ekonomi masyarakat akan tergenjot dengan sendirinya. Investasi yang tumbuh, akan berbanding lurus dengan peningkatan daya beli dan tentunya konsumsi. Mendorong konsumsi dan investasi adalah bagian penting untuk mendongkrak pertumbuhan.
Namun, pembangunan fisik yang masif juga harus diikuti dengan pembangunan SDM secara domestik. Pemerintah jangan hanya membangun bangunan, tapi juga membangun kapasitas masyarakat yang artinya juga membangun manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, saya ingin menekankan betapa pentingnya sebuah pembangunan infrastruktur. Sederhanya saja, jika seseorang ingin pandai bermain gitar, maka yang pertama ia butuhkan adalah gitar (infrastruktur). Tanpa sebuah gitar, tidak akan mungkin seseorang bisa memainkan gitar. Oleh karena itu, infrastruktur dapat diartikan sebagai stimulus untuk mendorong pertumbuhan. Namun akan lain ceritanya jika gitarnya sudah tersedia, namun tak ada orang yang tertarik untuk memainkan gitar tersebut. Begitulah seharusnya pembangunan di Papua.
Penulis adalah Peneliti di Indonesia Indicator, Jakarta.