Bisakah Membangun Infrastruktur Tanpa Utang?

Delly Ferdian
Peneliti di Indonesia Indicator, Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Desember 2018 13:58 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Delly Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keinginan Sandiaga Uno untuk membangun infrastruktur tanpa mengunakan utang, layak untuk diapresiasi. Tentu siapapun boleh saja berpendapat dengan mengeluarkan ide dan gagasan cemerlangnya. Apalagi seseorang itu adalah calon wakil presiden seperti Sandiaga Uno.
Sandiaga Uno bersepeda ontel keliling Desa Sambit Ponorogo. (Foto: Dok. Tim Sandiaga Uno)
Hemat saya, gagasan untuk membangun infrastruktur tanpa utang adalah gagasan yang sangat tepat untuk membantu memperbaiki ekonomi Indonesia di tengah pengambangunan infrastruktur yang terus digenjot pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Namun apakah gagasan tersebut rasional dan realisitis sehingga dapat direalisasikan di tengah perekonomian dan anggaran Indonesia saat ini?
Utang luar negeri Indonesia sendiri hingga akhir Oktober 2018 tercatat mencapai USD 360,5 miliar, meningkat 5,3 persen (YoY). Utang luar negeri Indonesia juga meningkat sekitar USD 700 juta ketimbang akhir September yang mencapai USD 359,8 miliar.
Komposisi utang tersebut terdiri atas utang Pemerintah dan Bank Sentral sebesar USD 178,3 miliar, serta utang perusahaan swasta termasuk BUMN senilai USD 182,2 miliar.
Bank Indonesia menjelaskan bahwa rasio Utang Luar Negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tetap stabil di kisaran 34 persen. (cnbcindonesia.com,18/12/2018)
Menanggapi keinginan Sandiaga Uno tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengapresiasi gagasan membangun proyek infrastruktur tanpa utang, karena menurutnya apabila pembangunan infrastruktur tanpa utang ala Prabowo-Sandi bisa terwujud maka anggaran negara ke depan tak akan terbebani oleh maraknya pembangunan infrastruktur saat ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Tak lupa, Sri Mulyani pun mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi sudah lebih dulu memiliki komitmen untuk tidak mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. Hal ini bisa dilihat dari defisit APBN yang semakin turun.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani juga menilai bahwa ide membangun infrstruktur tanpa utang dapat membuat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) semakin sehat. APBN yang sehat sejatinya akan meningkatkan kepercayaan diri dan perekonomian Indonesia.
Pernyataan Sri Mulyani tersebut seolah membenarkan bahwa utang negara dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pembangunan Infrastruktur. Lain Sri Mulyani, lain pula yang disampaikan ekonom senior, Faisal Basri.
Ekonom senior INDEF ini pernah mengatakan bahwa utang yang seharusnya untuk pembangunan infrastruktur itu justru dialokasikan ke belanja pegawai dan pos lain. Hal itu menyebabkan anggaran belanja pegawai kerap meningkat selama empat tahun terakhir.
Menurut Faisal Basri, utang Indonesia paling banyak digunakan untuk membayar bunga dari utang yang lalu. Tercatat bahwa utang yang digunakan membayar bunga utang pun naik 6 persen yakni dari 11,1 persen menjadi 17,1 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara dari data yang ada, presentase utang yang digunakan untuk belanja infrastruktur justru hanya mengalami kenaikan sebesar 1 persen, naik dari 12,2 persen menjadi 13,2 persen. (detik.com, 17/9/2018)
Berdasarkan fakta yang diungkapkan Faisal Basri, nyatanya Indonesia tak begitu memanfaatkan utang sebagai pendorong pembangunan infrastruktur yang selama ini digadang-gadangkan.
Namun mengapa masyarakat selama ini selalu mendengar bahwa utang Indonesia yang jumlahnya semakin besar digunakan untuk pembangunan Infrastruktur?
Pembangunan Infrastruktur di Jakarta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia mengetahui bahwa pemerintah berutang untuk memaksimalkan pembangunan infrastruktur yang begitu masif di bawah pemerintahan Presiden Jokowi.
Istilah membangun dari pinggiran seolah menjadi pembenaran bahwa pemerintah sedang giat dalam membangun agar ekonomi domestik ikut menggeliat. Akan tetapi pada kenyataannya, alokasi utang tersebut lebih deras mengalir kepada pos belanja pegawai.
ADVERTISEMENT
Apa jadinya jika karena kepentingan politik, lagi-lagi kebijakan populis salah satunya menaikkan gaji pegawai pada 2019 mendatang direalisasikan? Tentu anggaran kita semakin tak sehat.
Dari berbagai referensi yang saya tampilkan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa media tidak memberitakan secara gamblang data-data terkait perekonomian. Tentu ada maksud serta tujuan di balik itu semua, bisa jadi, upaya memoles data ekonomi yang diframing melalui media massa merupakan upaya pemerintah untuk memberikan stimulus serta sentimen positif perekonomian.
Karena pada dasarnya, media menjadi salah satu patokan para investor yang sedang wait and see untuk mengambil keputusan bisnisnya. Investasi yang tak tumbuh, tentu memberikan permasalahan tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi, apalagi pertumbuhan yang terperangkap dalam jebakan 5 persen seolah tak kunjung terobati.
ADVERTISEMENT
Membangun Tanpa Utang
Terkait masalah utang, sudah tak dapat dimungkiri bahwa utang sendiri memiliki manfaat bagi pertumbuhan. Tentu hal ini menyangkut kemanpuan fiskal sebuah negara, ketika utang dikelola dengan baik, maka pengelolaan utang yang sehat akan berdampak siginifikan pada pertumbuhan.
Di tengah himpitan ekonomi global yang sampai saat ini yang semakin menguat. Indonesia sudah patut merencanakan upaya untuk membangun infrastruktur tanpa menggunakan utang. Inilah tantangan bagi pemerintah saat ini.
Namun upaya membangun infratruktur tanpa utang tentu tak semudah membalik telapak tangan. Tercatat dalam RPJMN Indonesia 2015-2019, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur Indonesia mencapai Rp 4.796 triliun, sedangkan kemampuan fiskal negara hanya mencapai Rp 1.500 triliun.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut adalah dengan cara rasionalisasi anggaran, utang, atau bekerjasama dengan pihak kedua. Jika opsi utang dihilangkan maka upaya rasionalisasi dan kemitraan harus elaborasi.
ADVERTISEMENT
Terkait rasionalisasi, pemerintah dapat mengevaluasi berbagai pos anggaran yang tidak efektif dan memangkasnya. Upaya ini tentu pernah dilakukan pemerintah di awal masa kepemimpinan presiden Jokowi. Pada saat itu, Sri Mulyani memangkas beberapa pos belanja kementerian karena dianggap tidak efektif.
Akan tetapi, upaya ini biasanya akan sulit dilakukan pada masa menjelang akhir periode kepemimpinan, pasalnya, kebijakan populis akan lebih diandalkan karena dampak elektoralnya yang sangat besar. Oleh karena itu, harapan untuk adanya rasionalisasi anggaran tampaknya tak akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Kemudian terkait kemitraan. Upaya membangun infrastruktur dengan menggaet kemitraan atau lebih tepatnya mengajak dunia usaha dalam berkontribusi adalah langkah yang paling efektif. Upaya ini tentu tergantung dari apa yang ditawarkan pemerintah kepada dunia usaha khususnya investor swasta.
Ada beberapa skema yang dapat dilakukan untuk membangun kemitraan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pertama, penerapan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur. Skema KPBU sebenarnya sudah diperkenalkan pemerintah sejak tahun 2005 silam.
Namun, skema ini baru dikembangkan lagi dengan ketentuan yang diatur dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2015. Skema ini dinilai sangat penting karena dapat mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur di Indonesia, sebesar 1,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahun.
Satu hal yang terpenting dalam penerapan skema KPBU ini adalah pembiayaan pembangunan yang tidak terlalu mengandalkan anggaran negara. Swasta berperan bukan hanya dalam hal pembiayaan hingga pembangunan.
Namun, peran swasta lebih besar, yakni terlibat perancangan RPJMN. Selain dapat mengurangi beban APBN, skema ini juga dianggap dapat memudahkan dan membuat swasta lebih tergiur untuk membangun infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Kedua, skema pembayaran atas ketersediaan layanan (availability payment). Availability Payment sendiri merupakan skema pembangunan infrastruktur dengan cara bekerja sama dengan swasta untuk membangun secara utuh konstruksi infrastruktur komersial.
Setelah infrastruktur dapat beroperasi, pemerintah membayar biaya pembangunan konstruksi tersebut dengan cara mencicil sesuai waktu perjanjian yang telah disepakati.
Apakah berbagai opsi dan skema membangun infrastruktur tanpa utang akan terwujud atau hanya sekadar manis di bibir saja?