Kita yang Seolah-olah Pancasila

Konten dari Pengguna
31 Mei 2017 17:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dendy Raditya Atmosuwito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbagai peristiwa politik yang terjadi sepanjang tahun 2016 sampai pertengahan tahun 2017 saat ini membuat dasar negara kita, Pancasila, mulai ramai dibicarakan lagi akhir-akhir ini. Kita tentu sudah tidak asing dengan istilah “Pancasila”, tetapi ada baiknya kita sedikit mengingat-ingat lagi berbagai peristiwa yang pernah dialami bangsa ini supaya kita tidak menjadi bangsa yang dalam istilah Y.B. Mangunwijaya disebut sebagai bangsa yang “seolah-olah” Pancasila tetapi sebenarnya tidak Pancasilais sama sekali.
ADVERTISEMENT
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, ada satu hal yang ingin saya tegaskan kepada pembaca bahwa jika pembaca menganggap Pancasila itu sakral maka penulis tidak bermaksud menjadikan kesakralannya untuk melegitimasi pendapat-pendapat yang akan penulis tuliskan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dengan P4-nya bahwa siapa saja yang anti terhadap dirinya maka dapat juga dianggap sebagai anti Pancasila. Penulis tidak akan repot-repot memberi cap kepada pembaca “perusak tenun kebangsaan”, “anti kebhinekaan”, “pendukung makar”, dan berbagai julukan lain yang dapat pembaca temukan dalam berbagai status, komentar, tweet, broadcast message, dan postingan di berbagai media sosial pembaca. Artinya pembaca tentu saja boleh tidak setuju dengan penulis.
Tanggal 1 Juni 1945, seorang insinyur alumnus THS Bandung menyampaikan sebuah pidato tentang rumusan dasar negara untuk negaranya yang rencananya akan merdeka tidak lama setelah itu. Insinyur itu bernama Sukarno, negara yang akan merdeka tersebut bernama Indonesia, dan pidato itu oleh dr. Radjiman Widyodiningrat (Ketua Badan Usaha-Usaha Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia) disebut dengan lahirnya Pancasila. Singkat cerita, setelah melewati berbagai perdebatan dan lobi dengan berbagai kelompok, akhirnya Pancasila disepakati sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi apakah perjalanan Pancasila ini kemudian lancar-lancar saja seperti yang diharapkan? Tentu saja tidak.
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun setelah merdeka, diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Soal DPR tentu kita sudah tahu tugas mereka seperti apa (soal tugas mereka dilaksanakan dengan baik atau tidak itu urusan lain), sedangkan Konstituante bertugas menyusun konstitusi dan dasar negara.
Di Konstituante inilah kemudian dasar negara Indonesia kembali diperbincangkan. Setidaknya, ada tiga faksi besar dalam Konstituante. Pertama, kelompok yang menginginkan Pancasila tetap menjadi dasar negara, kelompok ini terdiri atas Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai-partai koalisinya di Konstituante. Kedua, kelompok yang menginginkan Islam menjadi dasar negara Indonesia, kelompok ini terdiri atas Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan partai-partai Islam lain di Konstituante. Ketiga, kelompok dengan anggota yang paling kecil dan menginginkan Ekonomi-Politik sebagai dasar negara Indonesia (penulis belum berhasil menemukan secara detail apa yang dimaksud kelompok ini sebagai “Ekonomi-Politik”), kelompok ini terdiri atas Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) dan partai-partai yang sehaluan dengan mereka di Konstituante.
ADVERTISEMENT
Perdebatan sengit terjadi di Konstituante dan sepertinya tidak ada titik temu, walaupun menurut Adnan Buyung Nasution, penulis buku 'The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante' 1956-1959, dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo yang dimuat di majalah tersebut edisi khusus Muhammad Natsir mengatakan bahwa jika diberi waktu sedikit lagi maka Konstituante akan berhasil melaksanakan tugasnya.
Tetapi, kita pada akhirnya tahu, “Bung Besar” sudah tidak sabar. Berdiri di atas podium di teras Istana Merdeka, Minggu, 5 Juli 1959, mata Presiden Sukarno tampak lelah. Tapi, pada sore hari itu, suaranya tetap lantang: “Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!” Sebagian besar rakyat yang mendengar pembacaan dekrit presiden itu menyambutnya dengan gemuruh pekik dan tepuk tangan.
ADVERTISEMENT
Bagi para politisi, keputusan Sukarno bagaikan lonceng kematian. Dengan dekritnya, Presiden membubarkan konstituante-parlemen sah hasil pemilihan umum yang menurutnya terlalu banyak berdebat dan tidak konkrit alias fa fi fu. Inilah awal periode Demokrasi Terpimpin, yang sudah dipromosikan Bung Karno sejak 1957 tapi ditolak oleh Mohammad Hatta, Muhammad Natsir (Masyumi), Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia), dan I.J. Kasimo (Partai Katolik).
Pasca Demokrasi Terpimpin runtuh pada tahun 1966, Pancasila oleh rezim Orde Baru, yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan Negara Orde Baru sebagai rezim yang bersifat Neo-Fasis, dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan rezim tersebut dengan cara indoktrinasi lewat penataran P4 dan pemberlakuan asas tunggal Pancasila untuk seluruh organisasi massa dan partai politik yang ada di Indonesia. Kira-kira, begitu hikayat singkat dasar negara kita Pancasila dari lahirnya sampai masa Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Seolah-olah Pancasila
Pasca Reformasi, Pancasila jarang dibahas dalam perbincangan publik di Indonesia utamanya generasi muda. Penulis kira ada beberapa penyebab hal tersebut terjadi. Pertama, Pancasila mau tidak mau harus kita akui telah diidentikan dengan tingkah laku rezim Orde Baru yang menjadikannya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun. Kedua, masuknya berbagai paham dari seluruh penjuru dunia yang bagi kalangan muda lebih menarik dibandingkan Pancasila. Ketiga, berbagai kenikmatan yang dinikmati oleh generasi muda karena kemajuan teknologi membuat mereka tidak punya waktu dan kemauan untuk membicarakan hal yang dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka seperti Pancasila. Keempat, ini yang penulis kira paling mengkhawatirkan, jangan-jangan selama ini kita semua tidak sungguh-sungguh Pancasila, jangan-jangan selama ini kita semua hanya seolah-olah Pancasila.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya yang berjudul 'Menaklukan Gunung Slamet' dan dimuat secara bersambung di Harian Kompas edisi 14, 15, 16, dan 18 September 1967, seorang mahasiswa jurusan sejarah FSUI (Fakultas Sastra Univeristas Indonesia) menuliskan sesuatu yang membuat penulis merasa bahwa masalah “seolah-olah Pancasila” ini sudah ada sejak lama. Mahasiswa tersebut menulis, "Desa-desa yang kami lewati adalah desa-desa yang gersang. Di mana-mana terlihat tulisan Pancasila. 'Pancasila Jiwaku', Hidup Mati Bersama Pancasila”, dan slogan-slogan lainnya. "Di mana-mana Pancasila, seperti juga di mana-mana ada kemiskinan. Saya sedih lagi melihat inflasi Pancasila.” Bagi mahasiswa tersebut apa yang terjadi saat itu adalah kisah menyedihkan, kisah tentang ratusan juta manusia Indonesia yang menjilat-jilat dan membutakan matanya dengan slogan. Mahasiswa tersebut berharap kisah menyedihkan itu segera berakhir, sayangnya kisah tersebut masih terus bersambung. Mahasiswa yang menulis tulisan tersebut bernama Soe Hok Gie.
ADVERTISEMENT
Penulis berpikiran bahwa apa yang dulu pernah dituliskan oleh Soe Hok-Gie, saat ini juga masih terjadi. Kita seolah-olah mengaku berketuhanan yang maha esa padahal kenyataanya kita mempertuhankan kepentingan diri kita. Kita seolah-olah mengaku berkemanusiaan yang adil dan beradab tetapi kenyataannya kita membatasi kemanusiaan kita pada mereka yang sepaham dengan kita dan tidak menganggu kepentingan pribadi kita, bagi mereka yang tidak sepaham dan kita anggap menganggu boleh diperlakukan tanpa rasa kemanusiaan.
Kita seolah-olah mengaku ingin mewujudkan persatuan Indonesia padahal kenyataanya kita hanya ingin bersatu dengan orang-orang yang segolongan dengan kita dalam bingkai negara Indonesia yang bisa mewujudkan kepentingan pribadi dan golongan kita, mereka yang tidak segolongan dengan kita, kita cap sebagai perusak persatuan dan pengoyak kebhinekaan.
ADVERTISEMENT
Kita seolah-olah mengaku menjunjung tinggi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, padahal sesungguhnya kita hanya mau mengakui keputusan musyawarah yang sesuai dengan kepetingan kita dan hanya mau mewakili kepentingan diri sendiri pada setiap musyawarah yang kita ikuti tanpa sedikitpun ada hikmat kebijaksaanan dalam pikiran dan hati. Kita seolah-olah percaya pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, padahal kenyataanya keadilan sosial yang kita restui adalah yang menguntungkan dan tidak menganggu kepentingan pribadi, kalau ada sekelompok orang yang menuntut keadilan karena haknya direnggut oleh proyek pemerintah maka dengan gampang kita anggap mereka manusia primitif yang menolak kemajuan.
Slogan-slogan dan berbagai seminar kebhinekaan yang digunakan oleh segeintir pihak untuk mencari keuntungan semata itu tidak mungkin mampu membuat Pancasila menjadi lebih bermakna bagi bangsa Indonesia. Kalau tidak ada perubahan, maka tentu saja kita akan selalu seolah-olah Pancasila tanpa pernah menjadi benar-benar Pancasila. Semoga tidak, tentu saja. Semoga juga tulisan ini tidak menjadi seolah-olah tulisan yang ditulis oleh seolah-olah penulis.
ADVERTISEMENT