Adakah Regulasi 'Pelecehan Seksual' di Lingkungan Pendidikan?

Denia Oktaviani
Curhat-curhat ada di kumparan.com/deniaokta
Konten dari Pengguna
5 Januari 2017 23:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah tidak asing lagi terdengar bahwa pelecehan seksual telah lama terjadi di mana-mana. Bahkan dari institusi terkecil pun seperti di lingkungan keluarga, Indonesia memiliki banyak contoh pelecehan dan/atau kekerasan seksual pada wanita, pria dan anak-anak. Namun bagaimana hal nya jika pelecehan seksual terjadi di institusi-institusi pendidikan besar dan ternama di Indonesia? Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan kampus. Bahkan beberapa kasus cenderung menguap tanpa ada penyelesaian. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar, apakah payung hukum yang ada di Indonesia saat ini belum cukup untuk memberikan keadilan bagi korban, sehingga kampus sebagai institusi pendidikan diharapkan dapat menggodok dan menelurkan aturan terkait kasus pelecehan seksual yang melibatkan warga kampus. Tulisan ini akan menjabarkan sejumlah alasan mengapa peraturan kampus terkait kasus pelecehan seksual urgent untuk diterbitkan.
ADVERTISEMENT
Pertama, jumlah kasus pelecehan dan/atau kekerasan seksual di kampus terus meningkat dari tahun ke tahun. Pihaknya mendapatkan angka kasus pelecehan di kampus sulit didapatkan melihat banyak contoh yang kasusnya tidak terkuak media/hukum, mengambang, dan tidak jelas penyelesaiannya, juga ditutupinya kasus yang terjadi di universitas-universitas ternama. Pelecehan dan/atau kekerasan seksual terjadi tidak hanya di institusi pendidikan ternama di Indonesia. Sebagai perbandingan, universitas-universitas ternama di Amerika Serikat mempunyai kejadian yang serupa, bahkan tidak hanya terjadi pada mahasiswi atau staff pengajar melainkan terjadi pada mahasiswa yang dilecehkan oleh sesama mahasiswa lainnya. Menurut Associaton of American Universities (AAU), beberapa universitas itu termasuk Michigan, Yale, Harvard dan Brown yang terdaftar sebagai empat universitas dengan angka persentase pelecehan seksual terbesar pada mahasiswi baru (dikutip dari Anderson dan Svrluga, 2015). Bukan hanya perempuan, laki-laki (dewasa dan anak-anak) banyak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Seperti contoh kasus pedofilia oleh staff Jakarta International School (JIS), ataupun Andrew seorang mahasiswa baru di Brown University yang dilecehkan di kamar mandi asrama oleh senior laki-laki nya.
ADVERTISEMENT
“Kamu cantik sekali saya perkosa dulu boleh?” kata Novi seorang korban pelecehan verbal oleh salah satu pengajarnya di sebuah universitas swasta di Pamulang, Tangerang Selatan (dikutip dari Arief, 2015). Dari salah satu bukti pengakuan tersebut lah menunjukkan masih maraknya pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya lingkungan kampus. Lingkungan yang seharusnya digunakan sebagai tempat berpendidikan dan bermoral, tidak lain digunakan pelaku untuk melakukan pelecehan seksual yang semata-mata melihat kampus sebagai sarang pencarian mangsa. Lalu apa yang bisa disebut dan terbilang pelecehan dan/atau kekerasan seksual? Beberapa bentuk pelecehan seksual dapat berupa ucapan verbal, perilaku nonverbal dan perilaku fisik dengan tendensi seksual, gurauan cabul yang tidak diinginkan, penghinaan berbasis gender dan kontak seksual, serta perilaku yang menyebabkan lingkungan belajar atau bekerja yang tidak aman secara seksual. Namun jika dilihat dari sudut pandang korban, segala hal tindakan atau ucapan yang tidak membuat nyaman, tidak diinginkan, sekalipun pemaksaan,terbilang sebagai pelecehan dan/atau kekerasan seksual, termasuk ciuman yang tidak diinginkan, menyentuh, fondling, hingga perkosaan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut lah yang seharusnya dilihat lebih dulu oleh para aparat hukum jika menangani kasus pelecehan seksual, yaitu melihat dari kacamata korban. Bukan lagi hanya mengasumsi dan melihat dari sudut pandang pelaku, yang berulang kali terjadi di setiap pengusutan kasus pelecehan seksual di Indonesia oleh peraturan dan aparat hukum itu sendiri, serta mengakibatkan korban tertekan mengadili kasusnya. Lebih parahnya lagi korban-korban lainnya akan makin sulit untuk menuntut keadilan karena melihat kasus-kasus sebelumnya yang selalu mengambang. Seperti yang dikatakan Ema Mukaronah—seorang Koordinator Komnas Perempuan—yang mengatakan dalam diskusi RUU Anti Kekerasan Seksual di Auditorium Gedung X FIB UI (22/9/14), bahwa dalam praktek penanganan kasus-kasus tersebut banyak perempuan yang didiskriminasi oleh peraturan yang berlaku (dikutip dari Shadewo, 2014) Seringkali juga motif suka sama suka ditemukan di kasus pemerkosaan dan dijadikan pelaku sebagai alasan untuk melakukan pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Hal inilah yang sebenarnya tidak dituliskan secara jelas dalam peraturan yang berlaku, yaitu bunyi Pasal 285 KUHP tentang pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Oleh sebab itu, kerapkali pelaku pelecehan seksual lolos begitu saja. Terlihat dari undang-undang tentang pelecehan seksual yang ada di Indonesia, keterbatasan kata di dalamnya seringkali mengakibatkan keadilan untuk masyarakat tidak tercapai.
ADVERTISEMENT
Kedua, beberapa kasus yang terjadi di universitas-universitas ternama Indonesia di bawah ini dapat dijadikan contoh sebagai referensi pembaca untuk mempertimbangkan apakah penyusutan kasus-kasus pelecehan dan/atau kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia masih atau sudah tidak lagi mengkhawatirkan mengingat banyak kasus yang tidak pernah jelas penyelesaiannya. Kasus pertama, terjadi pada seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ind (22) yang diperkosa oleh dosen pembimbingnya TN (40) saat bimbingan di luar lingkungan kampus. Akan tetapi, pelaku melakukan pembelaan yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan pada Ind bukanlah tindakan pelecehan seksual, melainkan atas dasar suka sama suka. TN pun memang sudah dinon-aktifkan sejak 22 Oktober 2008 (Humas UI: Kliping). Akan tetapi pemberentian tersebut semata-mata bukan karna pelaku terbukti bersalah, melainkan untuk melancarkan proses investigasi dari pihak polisi. Oleh sebab itu, Universitas Indonesia memperketat aturan akademis dengan merancang regulasi tentang larangan hubungan akademis dosen dan mahasiswa di luar kampus. Namun, regulasi tersebut belum tentu akan menjamin bahwa kejadian tersebut akan terjadi lagi di dalam ataupun luar kampus.
ADVERTISEMENT
Korban kasus kedua lagi-lagi terjadi pada seorang mahasiswi yang diperkosa oleh dosen nya. Sang korban merupakan mahasiswi jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), Universitas Negeri Jakarta, yang bermula saat 8 Februari 2015, sang korban diajak dosen nya itu (AR) untuk datang ke rumah kost nya dan mengerjakan laporan penelitian. Namun disana korban dipaksa untuk berhubungan badan meski sang korban sudah menolak keras. Kasus ini sudah dilaksanakan dua kali musyawarah oleh pimpinan Jurusan IPS, Dekanat dan Senat Fakultas Ilmu Sosial (FIS) namun tidak kunjung ada keputusan atau tindakan hukum untuk si pelaku. Bahkan saat puluhan mahasiswa Jurusan PIPS melakukan aksi demonstrasi di depan fakultas nya pada, Senin (13/4/15), untuk menuntut pimpinan kampus agar memberikan sanksi dan hukuman berat kepada pelaku, ditanggapi negatif oleh perwakilan Senat FIS Sarkadi, “ini aib sendiri jangan sampai tersebar luas” dan beliau menganggap aksi tersebut berlebihan. Disinilah merupakan contoh pemikiran-pemikiran primitive yang tidak didasari oleh pemikiran yang terbuka. Apakah disaat korban telah dilecehkan tubuh nya secara paksa, korban tidak boleh menuntut keadilan? Bahkan jika selalu dianggap ‘aib’,kapan korban-korban pelecehan dan/atau seksual dapat ketentraman hidup jika tidak menuntut nya secara adil? Yang seharusnya pihak korban berhak mendapatkan perlindungan bukan dihakimi sebagai penyebar aib. Contoh ketiga, dari angket yang disebarkan oleh Tim Advokasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014) pada tanggal 17 April 2014 kepada 123 responden dari semua fakultas nya, sebanyak 37% responden menyatakan pernah melihat kekerasan seksual dan sebanyak 10% responden menyatakan pernah menjadi korban kekerasan seksual di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pelaku nya termasuk mahasiswa, staff pengajar, dan pegawai.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya banyak alasan yang bisa diberikan kepada pejabat-pejabat kampus untuk membuat regulasi tentang pelecehan seksual di kampus ini. salah satunya yang pertama adalah hak asasi manusia (HAM). Bukan hanya perempuan dan bukan hanya mahasiswi yang butuh perlindungan oleh institusi pendidikan nya, tetapi mahasiswa, staff pengajar, pegawai, atau bisa disebut sebagai suatu kesatuan ‘masyarakat kampus’, berhak mendapatkan perlindungan yang adil di tempat mereka belajar dan bekerja. Ketika pelecehan dan/atau kekerasan masuk ke dalam institusi pendidikan (dengan predikat terbaik se-Indonesia maupun internasional), pasti selalu akan membuat orang-orang terhenyak tidak percaya. Lalu jika sudah ada keberanian dari pihak korban untuk melapor, apa tindakan yang harus diambil oleh institusi pendidikan dan bagaimana penyelesaiannya?
Dari beberapa ulasan di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan guna memulai pembuatan regulasi tersebut. Tahap awal yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan, atau oleh badan-badan kampus di dalamnya, untuk memulai pembuatan Regulas tentang Pelecehan Seksual yakni menyelenggarakan orientasi kepada masyarakat kampus (mahasiswa-mahasiswi, staff pengajar, dan pegawai) tentang ‘Understanding Sexual Assault’. Orientasi yang di dalamnya lengkap membahas apa yang wajib diketahui oleh masyarakat kampus untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan dan/atau kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kampus atau di luar kampus (yang melibatkan masyarakat kampus). Orientasi ini juga akan membahas bagaimana melihat kasus ini dari sudut pandang korban, lingkungan, juga cara-cara melindungi dan menangani korban saat pra dan pasca kejadian. Satu hal yang tidak kalah penting nya adalah—Institusi pendidikan, skala universitas ataupun sekolah-sekolah—perlu membentuk suatu badan perlindungan seperti yang bisa di contoh dari Universitas Harvard, ‘The Office of Sexual Assault and Prevention’ yang didirikan dengan tujuan menangani kasus tersebut dan agar institusi pendidikan ini mempunyai orang-orang yang dapat fokus dan berkewajiban menangani hal semacam ini. Dengan begitu masyarakat kampus mendapat perlindungan yang pasti dan terjamin kegiatannya selama di lingkungan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Untuk menjaga lingkungan pendidikan di Indonesia berjalan dengan semestiya, dan mencegah berkeliarannya pelaku bersalah, regulasi tentang pelecehan seksual diperlukan untuk menjamin hak dan kewajiban semua masyarakat kampus dan pelaku pelecehan seksual dapat ditindak-lanjuti sesuai hukum yang berlaku. Dengan begitu, kepada badan-badan organisasi kampus, internal maupun eksternal diharapkan untuk bekerja sama dan bersama-sama menggalang kekuatan dalam rangka gerakan ‘anti pelecehan seksual di kampus’dan hendaknya berpikiran terbuka agar tidak menyudutkan korban. Kepada KEMENDIKBUD dan para aparat penegak hukum diharap untuk tidak lagi menjadikan kasus pelecehan dan/atau kekerasan seksual sebagai hal yang tabu dan menganggap kasus tersebut aib yang tidak harus disebar luaskan. Tunggu berapa banyak korban lagi untuk membuktikan bahwa institusi pendidikan di Indonesia tidak aman dari pelaku pelecehan seksual?
ADVERTISEMENT