news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mencari Terapi Pukul 3 Pagi

Denia Oktaviani
Salah satu tim Push to the Limit-nya kumparan
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2020 16:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dini hari. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dini hari. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Saya pernah ke terapis dan saya ingin menceritakan pengalamannya.
Pertama kali saya ke terapis pada awal tahun 2019, ketika sudah dua tahun berjuang keras mengelola emosi dan masalah sendirian—membaca-baca artikel psikologi, mendiagnosis hingga menyimpulkan sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya bisa cerita banyak tapi maaf saya memilih untuk tidak mengungkapkannya. Intinya, pengalaman pertama ini buruk. Konseling ini tidak pernah berlanjut ke sesi kedua.
Saya tahu terapi itu penting, silakan googling "kenapa harus ke psikolog?" atau "apakah saya butuh ke psikolog?". Maka itu, Rabu lalu (30/9)—setahun setelah konseling pertama, saya kembali membuat jadwal terapi tapi kali ini dengan terapis yang berbeda. Saya teringat sepanjang dini hari mencari-cari terapis ini.
Mengapa saya merasa perlu terapi?
Pertama, saya merasa ada sesuatu yang tidak bisa dikontrol, di luar kendali. "Aku baik-baik saja, sungguh.." itulah yang saya katakan pada diri saya sejak awal 2018 lalu, merasa semuanya aman terkendali, meyakinkan diri bahwa semua bisa dilalui. Kemudian pertanyaan muncul, "Kenapa selalu terjaga dan menangis di tengah malam?"
ADVERTISEMENT
Saya kembali pulang ke rumah orang tua, terbayang suasana nyaman dan tenteram.
Tapi tidak begitu dengan proses dan kenyataannya, mengalami berbagai mood swings yang tidak diketahui penyebabnya itu ternyata lebih menjengkelkan dibandingkan tiba-tiba menginjak kotoran asu atau melihat kasir supermarket pakai masker di dagu.
“Rasa marah seringkali menjadi salah satu bagian dari presentasi depresi itu sendiri.” Kata Dr Ramani Durvasula, Psikolog Klinis dari California, dilansir dari Forbes.
Kedua, harmful thoughts. I know better than anyone that it’s a ‘sign’. Tidak perlu malu, memang nyatanya saya punya bekas luka kok, bahkan keponakan berumur 3,5 tahun menyadarinya, "Ini luka apa kok belum sembuh?" tiap kali dia lihat pergelangan tangan saya. "Enggak apa-apa," selalu jadi kalimat balasan agar dia berhenti bertanya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, hubungan saya memburuk. Kemampuan saya bersosialisasi dan berhubungan dengan siapa pun, entah itu hubungan relasi dengan teman, sahabat, rekan kerja, dan keluarga, memburuk lagi tahun ini. Sepertinya kepercayaan diri saya (lagi-lagi) merosot grafiknya. Usaha apa pun selalu terasa sia-sia, lelah juga kalau begini terus.
Takut enggak diterima, pokoknya banyak alasan lain yang saya buat-buat, jadi saya menarik diri sejauh-jauhnya. Kadang juga, bukan itu yang jadi alasan utamanya.
Keempat, jam tidur berantakan. Perubahan jadwal kerja bukan hal yang saya keluhkan, tapi kenapa saya cuma bisa tidur rata-rata 3-5 jam? Waktu istirahat berkurang, kerja tidak maksimal. Waktu terbuang begitu saja, seakan scrolling media sosial atau binge-watching Netflix telah menjadi "substansi adiktif" yang sia-sia, begitu lelah dan terbangun besoknya, harus teringat lagi.
ADVERTISEMENT
Kelima, saya hanya butuh bicara dengan seseorang. Kali ini rasanya waktu lewat begitu cepat, lalu tiba-tiba badai datang. Kelimpungan mencari, bukan keluarga atau sahabat yang menjadi tempat berlabuh.
Kadang bukan mereka yang dibutuhkan, sampai-sampai harus merasa kesepian seperti ini. Tandanya, saya butuh orang lain untuk membantu mengendalikan nakhodanya.
Tidak ada penyesalan sesudahnya. Walaupun bukan berarti semua masalah selesai, momen tersebut meyakinkan saya bahwa tidak apa jika hanya mampu membuat langkah-langkah kecil.
Khususnya, mencari cara mengasihi diri. Seperti salah satu usaha kecil ini, menatap kutipan Twain yang selalu ada di meja.
ADVERTISEMENT