Dari Melbourne, Terima Kasih Mahkamah Konstitusi

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
28 Maret 2019 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY) foto bersama di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY) foto bersama di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak hadir secara langsung di Sidang Pleno Pembacaan Putusan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU Pemilu, saya mengikuti dengan saksama pembacaan putusan itu melalui live streaming yang tersedia di aplikasi “Click MK”. Saya tidak hadir karena masih harus melaksanakan beberapa tugas di Melbourne, Australia.
ADVERTISEMENT
Namun selaku kuasa hukum Para Pemohon, INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society) tetap hadir di persidangan diwakili beberapa advokat, termasuk hadir pula Perludem, Titi Anggraini; dan Hadar Nafis Gumay, selaku perwakilan Pemohon.
Terima Kasih MK
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pertama-tama, saya ingin memberikan apresiasi kepada MK karena telah memberikan fasilitas live streaming di aplikasi Click MK, sehingga syarat suatu putusan “dibacakan secara terbuka dan di depan umum” dapat betul-betul terlaksana. Terbukti, meskipun berbeda negara, sedang ada di Australia, kami tetap dapat menyimak putusan pengujian konstitusionalitas UU Pemilu tersebut secara langsung.
Terima kasih juga perlu dihaturkan karena MK telah memutus perkara ini dengan cepat. Terdaftar pada 5 Maret 2019, putusan sudah dibacakan pada tanggal 28 Maret, artinya hanya dalam waktu 23 hari kalender. Cepatnya putusan itu menunjukkan kesamaan pemahaman antara Mahkamah Konstitusi dengan kami, bahwa UU Pemilu memang sangat penting untuk diputus cepat, guna menjaga kelancaran dan keabsahan Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Kedua, saya kembali ingin memberikan apresiasi karena Mahkamah Konstitusi kembali mengambil peran untuk menjadi penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Dalam putusan perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019, perkara yang kami ajukan, Mahkamah Konstitusi telah secara tepat menangkap semangat penyelamatan pemilu yang berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang digariskan konstitusi, yaitu: LUBER dan JURDIL.
Permohonan yang kami ajukan memang bukan semata soal prosedur administratif kepemiluan, tetapi sebagaimana ditegaskan MK adalah prinsip-prinsip dasar yang harus dijaga agar pemilu tetap sah dan kredibel.
Terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan kami sebagian, kami menghormati putusan demikian, dan memahami jalan yang diambil Mahkamah Konstitusi, untuk pada satu sisi tidak memperbolehkan hak memilih warga negara hilang, namun pada sisi yang lain juga tetap memandang perlu adanya prosedur pemilu—seperti batas waktu mendaftar bagi pemilih yang pindah TPS, demi tertibnya pelaksanaan pemilu.
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
Pada dasarnya tujuan kami untuk menyelamatkan jutaan suara rakyat pemilih telah tercapai, meskipun ada perbedaan mendetail dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Namun, prinsipnya, KTP elektronik tidak lagi menjadi satu-satunya alat identitas untuk bisa memilih. Karena Surat Keterangan perekaman KTP elektronik yang dibuat oleh dinas Dukcapil juga dapat dijadikan identitas memilih.
ADVERTISEMENT
Walaupun kami sebenarnya ingin identitas lain seperti Kartu Keluarga, KTP biasa, Akta Nikah, Kartu Pemilih, juga dimungkinkan. Tetapi alasan Mahkamah Konstitusi hanya membatasi dengan surat keterangan tersebut, sedikit banyak telah merelaksasi identitas pemilih menjadi tidak hanya KTP elektronik.
Soal batasan pendaftaran 30 hari bagi yang pindah memilih (TPS), yang hanya diubah bagi pemilih yang punya kondisi tertentu, seperti sakit, ditahan karena proses hukum, dan melaksanakan tugas; serta batasan waktunya menjadi tujuh hari sebelum pemungutan suara; kami pun melihatnya sebagai jalan tengah MK.
Prinsipnya, kami memandang Mahkamah Konstitusi sependapat bahwa batasan waktu 30 hari semata adalah bertentangan dengan UUD 1945, sehingga perlu diberikan kelonggaran, utamanya bagi pemilih dengan kondisi khusus tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, terkait putusan MK, penghitungan suara harus selesai maksimal 12 jam setelah hari pemungutan suara, kami pun melihatnya, Mahkamah Konstitusi pada dasarnya menangkap semangat permohonan, bahwa ketentuan sebelumnya yang mewajibkan penghitungan selesai di hari yang sama dengan pemungutan suara adalah inkonstitusional. Karena simulasi yang dilakukan menunjukkan hal demikian sulit dicapai, sehingga membuka problem keabsahan pemilu. Putusan MK yang memberikan tambahan 12 jam, adalah pilihan yang bijak.
Mahkamah Konstitusi juga sebenarnya mengabulkan permohonan pembentukan TPS khusus di rumah sakit, tahanan, dan tempat-tempat tertentu. MK mengatakan itu adalah kewenangan KPU.
Berdasarkan putusan demikian, KPU makin punya dasar hukum untuk membentuk TPS Khusus dan memberikan hak memilih yang maksimal bagi tempat-tempat dengan pemilih berkarakter tertentu tersebut.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, INTEGRITY melihat semangat yang sama antara kami dengan Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan suara rakyat dan untuk menjaga agar pemilu tetap LUBER dan JURDIL, demokratis, dan legitimate.
Atas putusan yang demikian, karenanya kita patut berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang sekali lagi mengawal konstitusi dan kembali menyelamatkan banyak suara rakyat yang berpotensi hilang karena persoalan prosedur administratif.
Tugas Berat MK Selanjutnya
Misi selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya, adalah pasca-pemungutan suara Mahkamah Konstitusi menjadi pengadil sengketa hasil pemilu. Di Pemilu 2014, ada lebih dari 900 perkara yang terdaftar di MK.
ADVERTISEMENT
Putusan UU Pemilu di atas adalah modal bagi MK untuk kembali menjadi solusi di tengah kontestasi Pemilu 2019 yang menghangat. Untuk Pileg, sistem penentuan kursi dengan model penghitungan sainte lague yang baru mungkin akan memunculkan banyak sengketa.
Apalagi tingginya parliamentary threshold yang empat persen membuat beberapa partai yang mendekati angka itu mungkin akan berjibaku keras di dalam sengketa hasil pemilu di MK.
Yang paling perlu diantisipasi tentunya adalah sengketa hasil pilpres. Kita tentu berharap Pilpres 2019 akan berjalan baik, jauh dari konflik, apalagi fisik. Tetapi harapan saja tidak cukup. Maka salah satu manajemen konflik yang diberikan UUD 1945 adalah sengketa hasil pilpres di MK.
Di Pilpres 2004 hingga 2014, MK telah menjadi pemutus akhir hasil pilpres. Semoga di tahun 2019 kita juga bisa melihat Mahkamah menjadi pengadil yang kredibel dan mencegah konflik pilpres.
ADVERTISEMENT
Bola Ada di KPU
Gedung KPU Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Akhirnya, setelah putusan MK atas UU Pemilu, sekarang bola ada di KPU (dan Bawaslu) untuk menindaklanjutinya menjadi aturan main dan pelaksanaan di lapangan. Perubahan beberapa Peraturan KPU perlu dilakukan agar sesuai dengan putusan MK.
Pemahaman yang sama antara internal jajaran KPU, serta dengan Bawaslu, dalam membaca putusan MK menjadi penting, agar pelaksanaan di lapangan menjadi sinergi dan lebih koordinatif.
Akhirnya, mari semua kita berperan dalam posisi masing-masing untuk menjaga Pemilu 2019 berjalan lancar, aman, dan damai. Mari kita buktikan bahwa Indonesia telah makin matang dalam berdemokrasi. (*)