Ironi Korupsi dari Lapas Antikorupsi Sukamiskin

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
23 Juli 2018 8:31 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ruang Percetakan Lama,Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung, Bandung. (Foto: Instagram/@rosiana1990)
zoom-in-whitePerbesar
Ruang Percetakan Lama,Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung, Bandung. (Foto: Instagram/@rosiana1990)
ADVERTISEMENT
Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh KPK atas Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin Wahid Husein dan beberapa napi korupsi kembali menjadi ironi kesekian yang membuktikan gagalnya sistem hukum di tanah air.
ADVERTISEMENT
OTT itu lagi-lagi mengkonfirmasi bahwa sistem hukum kita sudah gagal, karena di dalamnya justru tumbuh subur praktik korupsi alias mafia hukum (judicial corruption).
Dalam kasus yang lebih besar, kita melihat Ketua Mahkamah Konstitusi sudah pula tertangkap tangan KPK, dan telah divonis bersalah seumur hidup. Demikian pula oknum polisi, jaksa, advokat, dan panitera.
Kali ini, KPK melengkapinya dengan OTT di lembaga pemasyarakatan khusus korupsi. Maka, lengkap dan paripurnalah gambaran korupsi di dunia hukum. Semua sektor penegakan hukum dari hulu hingga ke hilir, sudah terkontaminasi. Tidak ada wilayah hukum yang imun dari kanker ganas korupsi.
Meskipun dari sisi uang korupsinya, ada yang menilai OTT kali ini hanya ecek-ecek, namun yang berpendapat demikian telah gagal melihat potret lebih luas, bahwa korupsi di sektor pemasyarakatan daya rusaknya sangat besar.
ADVERTISEMENT
Pungli dan korupsi berbagai fasilitas di lapas telah merusak dan membuat sistem pemasyarakatan kita menjadi sistem yang gagal, dan itu adalah sistem dengan anggaran triliunan rupiah setiap tahunnya. Sehingga sama sekali bukan nilai material yang bisa dikatakan kecil.
Apalagi ini OTT korupsi di lapas antikorupsi. Sama ironis dan memalukannya dengan kejadian yang kami alami, ketika di dalam Lapas Khusus Narkoba Cipinang ditemukan pabrik narkoba yang dikomandani Freddy Budiman, yang ketika dipindahkan ke Nusa Kambangan pun, masih melakukan operasi perdagangan narkoba, sebelum akhirnya dieksekusi mati pada akhir Juli 2016, dua tahun yang lalu.
Namun, dari sisi perbaikan sistem di lembaga pemasyarakatan, yang publik tidak tahu, bagaimana upaya kami untuk mengirimkan pesan tegas pembenahan, dengan memecat Kalapas Khusus Narkotika Cipinang itu, yang di dalamnya ada pabrik sabu tersebut, justru berujung keajaiban yang lain. Kalapas tersebut memenangkan kasusnya di peradilan tata usaha negara, dan tidak bisa dipecat. Ironis!
ADVERTISEMENT
Ironi Enggan, Tapi Wajib
Kalapas Sukamiskin Wahid Husen tesmi ditahan KPK.
zoom-in-whitePerbesar
Kalapas Sukamiskin Wahid Husen tesmi ditahan KPK.
Ironi yang lain, saya sebenarnya enggan untuk berbicara persoalan di lembaga pemasyarakatan. Tetapi, setiap kali muncul persoalan di lapas, saya selalu diminta pendapat, dan akhirnya memutuskan untuk berbagi pandangan dan pengalaman.
Memang, persoalan lapas cukup lekat dengan amanah yang pernah saya emban. Ketika menjadi Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, kami membongkar sel mewah Arthalita Suryani (Ayin) di Rutan Pondok Bambu. Ketika diberi amanah sebagai Wamenkumham, salah satu fokus kerja kami adalah reformasi menyeluruh di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, termasuk menyepakati Lapas Sukamiskin menjadi lapas khusus antikorupsi.
Mengapa saya enggan berkomentar banyak soal Sukamiskin? Karena saya tidak ingin mencari masalah dan paham resikonya. Banyak warga binaan di Sukamiskin yang kurang berkenan dengan kebijakan-kebijakan tegas yang kami terapkan. Salah satunya, terkait dengan Peraturan Pemerintan Nomor 99 Tahun 2012 yang mengetatkan pemberian hak-hak napi seperti remisi, pembebasan bersyarat dan sejenisnya.
ADVERTISEMENT
PP 99 tersebut selalu dikatakan sebagai kebijakan Wamenkumham, alias saya. Padahal tentu tidaklah demikian. Itu adalah kebijakan negara untuk menghentikan praktik “obral remisi” yang terjadi sebelumnya. Kebijakan itupun bukan “menghilangkan” atau “menghapuskan” hak-hak napi, tetapi memperketat syaratnya, misalnya hanya diberikan untuk pelaku korupsi yang bekerjasama (justice collaborator).
Para napi korupsi, salah satunya dengan kuasa hukum Profesor Yusril Ihza Mahendra, telah beberapa kali menguji PP 99 itu ke Mahkamah Agung namun gagal. MA berpendapat PP 99 tidak bertentangan dengan undang-undang.
Upaya hukum paling akhir yang dilakukan para napi korupsi Sukamiskin adalah menguji konstitusionalitas UU Pemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi, yang target utamanya sebenarnya membatalkan PP 99. Ikhtiar itupun ditolak oleh MK. Sehingga kebijakan “tidak mengobral remisi” bagi napi koruptor itu sudah dinyatakan absah secara hukum dan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Tentu kita paham, remisi dan hak-hak sejenis itu adalah oase di padang pasir bagi napi korupsi, dan karenanya saya terus menanggung risiko setiap bertemu dengan saudara-saudara warga binaan, khususnya di Sukamiskin.
Terakhir, setelah selesai mengemban amanah Wamenkumham, dan mengunjungi Andi Mallarangeng, beberapa napi korupsi meluapkan kekesalan dan amarahnya langsung di hadapan saya. Sesuatu yang saya hadapi dengan berat hati, karena saya paham betapa tidak nyamannya hidup di penjara. Namun, kebijakan antikorupsi—termasuk menolak “obral remisi”—adalah pilihan yang harus tetap dijalankan sebagai kebijakan negara, yang pastinya bukan kebijakan saya semata.
Maka, dengan segala risiko menghadirkan ketidaknyamanan bagi napi-napi korupsi di Sukamiskin, saya tetap menulis dan berbagi pandangan tentang reformasi di pemasyarakatan, dan perbaikan di Sukamiskin pada khususnya.
ADVERTISEMENT
Mengapa Lapas Antikorupsi di Sukamiskin?
Ditjen PAS Kemenkumham sidak Lapas Sukamiskin (Foto: Iqbal Tawakkal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ditjen PAS Kemenkumham sidak Lapas Sukamiskin (Foto: Iqbal Tawakkal/kumparan)
Setiap kali ada masalah di Sukamiskin, selalu muncul pertanyaan: Kenapa Sukamiskin dijadikan lapas khusus antikorupsi? Kenapa napi korupsi tidak dibiarkan berkumpul dengan napi umum seperti pemerkosa dan pembunuh, agar lebih jera dan tidak mendapatkan fasilitas mewah?
Jawaban saya atas pertanyaan demikian mestinya tidak cukup hanya dituliskan dalam satu artikel singkat, karena persoalan pada sistem pemasyarakatan itu sudah terlalu kompleks dan rumit. Namun, kalaupun terpaksa menyederhanakan jawaban, maka respons saya adalah: kebijakan menjadikan Lapas Sukamiskin menjadi lapas khusus antikorupsi, adalah pilihan manajerial yang berbasis sentralisasi pengawasan.
Artinya, kami memilih untuk mengumpulkan napi korupsi di satu lapas untuk memudahkan pengawasan, ketimbang mereka tersebar di lebih dari 500-an penjara di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jangan membayangkan kalau mereka dikumpulkan dengan napi-napi kejahatan lain, maka napi korupsi tidak bisa membeli fasilitas dengan uangnya? Itu terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya sangat sulit.
Faktanya, beberapa oknum napi korupsi tetap bisa membeli fasilitas mewah tersebut, dan karena rentang wilayah seluruh Indonesia yang sangat luas, maka pengawasan menjadi lebih sulit dilakukan.
Di penjara yang tersebar di seluruh Indonesia itupun, sudah menjadi rahasia umum para oknum napi korupsi tetap membeli sel sendiri dengan berbagai fasilitasnya, termasuk mempekerjakan napi-napi umum sebagai “pembantu” mereka.
Pemikiran bahwa jika dikumpulkan dengan napi pembunuh dan pemerkosa, maka napi korupsi akan lebih jera, adalah pemikiran yang tidak sesuai dengan tujuan pemasyarakatan, dan pun tidak demikian faktanya di lapangan, karena yang menjadi sumber kekuasaan para napi korupsi adalah kemampuan finansialnya, yang biasanya masih jauh dari terbatas.
ADVERTISEMENT
Lalu, kenapa di Sukamiskin masih kebobolan dan terjadi OTT korupsi oleh KPK? Karena, kebijakan penetapan Sukamiskin sebagai lapas antikorupsi seharusnya bukan kebijakan tunggal yang berdiri sendiri. Sesuai maksudnya untuk memudahkan pengawasan, maka sistem kontrol di Sukamiskin harus ditingkatkan jauh di atas rata-rata lapas-lapas di seluruh Indonesia.
Kalapas, serta jajaran hingga sipir di Sukamiskin, haruslah orang yang terbaik, melalui proses seleksi yang ketat. Integritas tak terbeli adalah syarat mendasar yang tidak bisa ditawar sama sekali.
Fakta bahwa Kalapas Wahid yang di OTT KPK baru menjabat empat bulan menunjukkan ada persoalan mendasar pada sistem rekrutmen untuk posisi Kalapas Sukamiskin. Saya sangat yakin, masih banyak kader-kader pemasyarakatan terbaik yang lebih layak dan mampu untuk diberikan amanah menjadi Kalapas Sukamiskin.
ADVERTISEMENT
Ketika kami mengemban amanah Wamenkumham, sistem seleksi Kalapas Sukamiskin sangat ketat dan luar biasa berat, berbeda dengan penjara lainnya di tanah air. Sukamiskin adalah satu-satunya kalapas yang kami seleksi langsung, melalui proses yang sangat ketat dan berjenjang, layaknya proses menjaring komisioner KPK.
Kepada kandidat terbaik dilakukan psikotes, juga penelusuran rekam jejak menyeluruh. Transaksi keuangannya kami cek ke PPATK, LHKPN-nya kami cek ke KPK, jejak hukumnya dilihat di kepolisian dan kejaksaan, serta pajaknya dicek ke Ditjen Pajak.
Lalu, setelah semua clean and clear, barulah pada tahap akhir, kepada beberapa kandidat terpilih, kami lakukan wawancara langsung. Melalui proses yang ketat dan berjenjang itulah terpilih Kalapas Sukamiskin.
Namun, sistem pengawasan di pemasyarakatan–utamanya di Sukamiskin tidak cukup hanya dijaga oleh Kalapas saja. Kepala Divisi Pemasyarakatan dan Kepala Kantor Wilayah Jawa Barat juga harus kader terbaik. Bahkan, Dirjenpas juga harus orang terbaik yang mendukung penuh dan membentengi Kalapas Sukamiskin dari berbagai godaan, tantangan dan hambatan dalam menjalankan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk memastikan hal itu, kami melakukan lelang jabatan terbuka (open bidding) posisi Dirjenpas, dan terpilih Bapak Handoyo Sudrajat, mantan Direktur di KPK, yang sudah pasti kadar integritasnya tidak bisa dibeli. Sayangnya, Pak Handoyo mengundurkan diri di awal 2015, tidak beberapa lama setelah kami menyelesaikan tugas selaku Wamenkumham di akhir 2014.
Mengapa Harus Rekrutmen Terbaik?
Ditjen PAS Kemenkumham sidak Lapas Sukamiskin (Foto: Iqbal Tawakkal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ditjen PAS Kemenkumham sidak Lapas Sukamiskin (Foto: Iqbal Tawakkal/kumparan)
Tanpa sistem rekrutmen terbaik untuk jajaran Kalapas Sukamiskin, dan pegawai di bawahnya, serta dukungan penuh dari pimpinan di Kemenkumham, maka ide mengumpulkan napi korupsi di satu lapas, akan menghadirkan beban godaan yang tidak akan mungkin ditahan oleh Kalapas seorang, apalagi yang tidak memiliki pondasi “integritas tak terbeli”.
Terlebih godaan dan tantangan di Sukamiskin bukan hanya terkait uang, tetapi juga pengaruh kekuasaan. Pengalaman selaku Wamenkumham, saya hampir setiap hari berkomunikasi dengan Kalapas Sukamiskin.
ADVERTISEMENT
Jika bukan saya yang menelepon, Kalapas yang menghubungi saya. Suatu ketika Kalapas berkonsultasi karena ada napi yang meminta izin keluar.
“Pak Wamen izin berkonsultasi, Napi X ingin keluar dengan alasan sakit Pak”.
Saya bertanya, “Sakit benar, atau tidak?”
Dijawab, “Tidak Pak”.
“Kalau tidak, ya jangan dikasih izin. Tidak perlu konsultasi, soal mudah begitu.”
Kalapas menjawab, “Maaf Pak, Napi X mengatakan mengenal Presiden dan Menkumham, dan mengancam akan melaporkan, dan minta saya digeser jika berkeras tidak memberikan izin keluar”.
Secara guyon, tapi serius, saya tegaskan kepada Kalapas, “Jangankan dia mencatut nama Presiden atau Menkumham sekalipun, ibarat kata dia membawa-bawa nama Tuhan sekalipun, kalau dia tidak sakit, ya jangan pernah diberikan izin keluar”.
ADVERTISEMENT
Contoh cerita di atas adalah satu kejadian di antara banyak fakta serupa yang terjadi di Sukamiskin—dan banyak lapas lain di tanah air. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa setelah Lapas Sukamiskin ditetapkan sebagai lapas khusus korupsi, maka sistem pendukungnya juga harus dilengkapi.
Sistem itu bukan hanya sarana dan fasilitas pengamanan yang lebih baik, tetapi juga rekrutmen Kalapas dan jajarannya, bahkan hingga ke level Kadivpas, Kakanwil Jabar dan Dirjenpas.
Lebih dari itu, Kalapas Sukamiskin tidak bisa dibiarkan sendirian tanpa proteksi dan dukungan dari pimpinan Kemenkumham, untuk menghadapi berbagai godaan materi dan tekanan kekuasaan dari oknum napi korupsi yang memang masih memegang banyak uang dan pernah menduduki berbagai posisi kekuasaan penting di tanah air.
ADVERTISEMENT
Itu pula sebabnya, saya seringkali melakukan sidak ke Sukamiskin. Satu-dua memang terekam tayangan televisi, tetapi lebih banyak lagi yang saya datang tanpa membawa awak media.
Pesan yang ingin saya kirimkan ke jajaran Sukamiskin adalah saya serius mengawasi, sekaligus mendukung dan melindungi penuh mereka dalam menjalankan tugas. Karena alasan perlunya sidak itu pula, saya tidak memilih Nusakambangan sebagai lapas antikorupsi.
Karena, kalau ke Nusakambangan, sangat sulit melakukan sidak dan mengecek kondisi lapangan secara kedap. Belum sampai menyeberang laut ke pulau Nusakambangan, baru mendarat di Semarang, besar kemungkinan kehadiran saya sudah bocor.
Dengan memilih Bandung, maka beberapa kali sepulang jam kerja, saya meluncur tiga jam dari Kuningan Jakarta, dan tiba mendadak di lapas antikorupsi Sukamiskin. Jadi, sekali lagi, pilihan Sukamiskin di Bandung adalah berdasarkan alasan manajerial pengawasan yang lebih terpusat dan terkontrol dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
What's Next?
OTT Kalapas Sukamiskin seharusnya tidak hanya menjadi ironi terbongkarnya praktik korupsi di Lapas khusus antikorupsi Sukamiskin. Kita sudah bosan mendengar berbagai tragedi di berbagai penjara di tanah air, yang terus berulang lagi, dan lagi. Konsep-konsep perbaikan, tidaklah kurang.
Berbagai kajian dan penelitian telah dilakukan oleh banyak pihak. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah: Adakah niatan kuat untuk melakukan perbaikan secara revolusioner?
Persoalan di lembaga pemasyarakatan kita tidak bisa diselesaikan dengan parsial dan insidentil, setiap kali muncul ledakan persoalan, lalu memecat pegawai yang terkena masalah. Solusinya harus lebih sistemik daripada hanya sekedar memecat orang.
Perubahan kultur harus dilakukan di seluruh jajaran pemasyarakatan, dan Kemenkumham. Pondasi dasar dari seluruh persoalan ini adalah menegaskan syarat, “Integritas tak terbeli”.
ADVERTISEMENT
Hanya orang-orang dengan integritas terbaik yang layak diberikan amanah dan posisi strategis, yang ditempatkan dengan sistem promosi dan mutasi yang imun dari praktik setoran, ataupun semata karena like and dislike.
Jika tidak ada upaya dan niatan serius untuk berubah, maka tidak akan lama lagi, yakinlah, kita akan dihadirkan kejutan selanjutnya dari serial: Ironi Korupsi dari Lapas Antikorupsi Sukamiskin. (*)