Kalah-Menangnya Jokowi dan Gelap-Terangnya Kasus Novel Baswedan

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
31 Juli 2017 14:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel Baswedan. (Foto: Ikhwanul Habibi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Novel Baswedan. (Foto: Ikhwanul Habibi/kumparan)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hari ini, terhitung telah 111 hari sejak Novel Baswedan diteror air keras, setelah selesai melaksanakan sholat shubuh berjamaah di dekat rumahnya. Hari ini, setelah hampir 4 bulan, Presiden Jokowi menerima laporan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian, bagaimana perkembangan penanganan kasus teror tersebut.
Melihat perkembangan kasus Novel, saya harus merubah pemahaman pembuktian dalam kuliah Hukum Pidana. Seseorang tidak bisa dijadikan tersangka, apalagi di penjara, bukan hanya karena tidak ada alat bukti yang cukup, tetapi juga karena kekuatannya untuk bermain di atas hukum itu sendiri.
Untuk orang yang “kuat” demikian, tidak ada hukum dunia yang bisa menjeratnya. Kecuali, jika ada orang lebih kuat yang menjadi bensin pendorong mogoknya proses hukum tersebut. Sang orang terkuat itu seharusnya adalah Presiden. Di negara republik, tidak boleh ada yang lebih kuat daripada presiden. Di negara republik, presiden adalah pemimpin dari segala pemimpin.
ADVERTISEMENT
Orang kuat yang “untouchable” biasanya mempunyai modal kuasa atau modal kapital yang besar untuk membangun benteng pertahanannya. Dalam salah satu segmen drama “Papa Minta Saham” diberitakan Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan pencatutan nama presiden kepada Jokowi. Merasa lawan yang dihadapi adalah orang-orang kuat, Presiden Jokowi sempat berhitung kekuatan yang dimilikinya. Setelah merasa cukup modal ia berkata, “Kelihatannya bisa menang”. Jokowi lalu memberikan izin Menteri Sudirman untuk melaporkan kasus itu ke DPR.
Ujungnya, hitungan itu meleset. Presiden kalah. Menteri Sudirman Said terdepak dari kabinet. Pelajarannya, meskipun merupakan pemimpin dari segala pemimpin, presiden bisa kalah. Dan jika kalah, presiden sekalipun harus berhitung ulang, dan mencari jalan lain yang lebih memutar untuk sampai ke tujuan.
ADVERTISEMENT
Penyerangan air keras kepada Novel Baswedan bukan kasus teror yang rumit. Kalaupun rumit, polisi kita sudah terkenal mempunyai rekam jejak mengkilat dalam pengungkapan kasus teror. Apalagi, jika kita melihat sosok Jenderal Tito Karnavian. Teror bukan saja keahliannya, tetapi adalah kehidupannya. Sebelum menjadi Kapolri, Jenderal Tito adalah kepala BNPT, dan sebelumnya lagi adalah Ketua Densus 88. Teror adalah bagian dari darah-daging perjalanan karir Pak Tito. Maka, mengungkap kasus teror ringan model Novel Baswedan, tidak ada apa-apanya dibandingkan keahlian dan keberanian Jenderal Tito.
Penyerangan Novel, meskipun di gelap shubuh, dilakukan dengan beberapa orang saksi mata melihat pelakunya berkendara sepeda motor. Ada CCTV yang merekam penyiraman air keras. Ada cangkir dengan sidik jari, yang dengan mudah bisa dijadikan bukti menangkap pelaku. Ada rentetan kejadian sebelumnya yang menunjukkan pelaku telah berada dan mengikuti Novel Baswedan. Semuanya menunjukkan bahwa kasus Novel adalah penyerangan mudah yang semestinya bisa diungkap dalam hitungan jam, bukan hari, apalagi bulan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada gelap dalam kasus yang membutakan mata kiri Novel Baswedan. Kasusnya justru sangat terang benderang, dan mudah. Karena itu, memang betul, seharusnya tidak diperlukan Tim Independen di luar jajaran polri untuk mengungkap kasus tersebut. Hanya diperlukan keberanian dan kejujuran. Kedua kata itu yang mudah diucapkan tetapi sulit diterapkan. Karena itu KPK sangat tepat ketika menyatukannya dalam kata juang, “Berani Jujur itu Hebat”. Tanpa keberanian, yang terang bisa jadi gelap. Tanpa kejujuran, yang menang bisa jadi kalah.
Apalagi dalam gelapnya kehidupan politik kita yang buram. Presiden Jokowi adalah politisi yang hitungannya cermat dan akurat. Dalam rimba politik Indonesia, tidak mungkin bisa menjadi presiden, jika tidak mempunyai kemampuan matematik politik yang mumpuni. Dengan badan Beliau yang enteng, daging politik Jokowi adalah salah satu yang terberat di tanah air. Meskipun tidak secara resmi memimpin satu pun partai di Indonesia—bahkan tidak pula PDI Perjuangan, Jokowi adalah tokoh politik paling berpengaruh, dan masih menjadi kandidat terkuat untuk presiden periode selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Maka, tidak sulit bagi Jokowi untuk berhitung seberapa berat dan ringan kasus Novel yang hari ini dilaporkan Kapolri. Tetapi seringan-ringannya kasus Novel, dia akan lebih berat daripada menerbitkan perpu perubahan undang-undang Ormas. Hitungan politik Kasus Novel juga jauh lebih berat daripada hitung-hitungan bisnis membangun infrastruktur, yang sekarang banyak digeber Jokowi harus selesai menjelang pilpres 2019.
Kenapa kasus Novel yang mudah secara pembuktian, justru menjadi berat untuk diselesaikan? Karena pelaku utamanya adalah orang “kuat”. Jika ringan-ringan saja, Kapolri sekaliber Jenderal Tito akan pantang untuk menyulitkan Presiden. Tanpa harus perlu menghadap, Tito sendiri yang akan menyelesaikannya. Namun, justru karena kasus Novel yang mudah itu tidak kunjung terungkap, hal itu justru makin membuktikan bahwa pelakunya adalah orang “kuat” yang memang untouchable.
Novel Baswedan. (Foto: Antara/Aprilio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Novel Baswedan. (Foto: Antara/Aprilio Akbar)
ADVERTISEMENT
Biasanya yang paling memberatkan adalah kalkulasi akibat politik. Bagi seorang presiden, akibat politik yang berat adalah jabatan presiden itu sendiri. Bukan hanya bertahan hingga 2019, tetapi juga melanjutkan kepresidenan itu hingga 2024. Apalagi jika sang aktor pelaku mempunyai akses dan modal politik yang kuat untuk berlindung, yang dapat mempengaruhi proses pencalonan presiden, maka kasus Novel Baswedan yang seharusnya seterang siang, bisa jadi berubah sehitam kelamnya malam.
Yang juga penting untuk dicatat, kasus Novel bukanlah masalah pribadi dirinya semata. Kita tidak perlu risau tentang Novel Baswedan. Penyidik hebat KPK ini sudah tidak merasa perlu lagi pengungkapan pelaku teror yang membutakan mata kirinya. Bukan berarti pembutaan mata kiri tidak penting. Namun, air keras itu tidak berpengaruh dengan semangat terang yang terus menyala dalam mata hati Novel. Tetapi, justru karena Novel adalah pelita benderang di tengah gelap gulitanya pemberantasan korupsi, maka negara berutang mata untuk membela Novel, membela KPK, dan memastikan pelakunya, sekuat apapun dia, untuk dihukum setimpal di hadapan hukum dunia.
ADVERTISEMENT
Sekarang, keputusan ada di tangan Presiden Jokowi. Perintahnya untuk mengungkap kasus Novel hingga tuntas sekarang berbalik menunggu keputusannya sendiri. Kalkulator politik Jokowi akan berhitung, dan menghasilkan keputusan matematis yang tidak sulit. Namun, mungkin menghasilkan hitungan politik yang rumit. Di tengah ketidakmudahan itu, sebaiknya Jokowi mendengar terang dari benderang kalimat Novel yang berkata, “Kalau orang berbuat jahat saja berani, mengapa kita yang berbuat baik harus takut”.
Di tengah gelap mata kirinya, Novel Baswedan telah menyalakan cahaya terang untuk kita terus melawan korupsi, sebarapa kuatpun para koruptor itu. Kita harus yakin, di tengah mata fisik yang memunculkan sosok raksasa koruptor, dengan mata hati kita bisa melihat mereka adalah jiwa-jiwa kerdil yang bersembunyi di balik teror air keras yang biadab.
ADVERTISEMENT
Di negara republik, tidak boleh ada hukum di atas hukum. Tidak boleh ada Kapolri di atas Kapolri. Tidak boleh ada Presiden di atas Presiden. Mudah-mudahan, setelah menerima laporan Jenderal Tito, Jokowi memberikan ketegasan, “Kita hadapi, dan harus menang”. Meskipun, di keremangan gelap sosok kuat koruptor itu akan berlindung di balik rahim ibunya para orang kuat. Karena, seberapapun kuatnya mereka, Ibu Pertiwi tidak boleh kalah, apalagi menyerah.
Negara berutang mata pada Novel, dan utang itu harus dibayar!
Melbourne, 31 Juli 2017
Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Profesor Tamu di Melbourne Law School dan Faculty of Arts
University of Melbourne