Menghormati JK, Menegakkan Konstitusi

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
28 Juli 2018 18:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jusuf Kalla (Foto: Prima Gerhard S/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jusuf Kalla (Foto: Prima Gerhard S/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masa pendaftaran bakal pasangan capres dan cawapres tinggal menghitung hari pada 4 hingga 10 Agustus 2018. Namun, format final koalisi parpol dan pasangan capres dan cawapres belum juga mengerucut. Salah satunya, karena masih ditunggunya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan masa jabatan maksimal wakil presiden. Kami, INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society) telah menjadi kuasa hukum dalam permohonan syarat ambang batas capres.
ADVERTISEMENT
Besok Senin, 30 Juli 2018, INTEGRITY juga akan menjadi kuasa hukum bagi Para Pihak Terkait yang akan bergabung ke dalam permohonan menyoal masa jabatan wapres. Para Pihak Terkait yang akan kami wakili ada lima, yaitu: Titi Anggraini (Perludem), Bayu Dwi Anggono (Puskapsi Fakultas Hukum Universitas Jember), Feri Amsari (Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas), Agus Riewanto (Pusat Kajian Hukum dan Demokrasi Fakultas Hukum UNS Surakarta), Jimmy Usfunan (dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana), dan Oce Madril (dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM).
Keenam orang tersebut dengan Bivitri Susanti dari Jentera Law School, yang akan menjadi ahli Para Pihak Terkait, telah membentuk “Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi”.
Pada tulisan kali ini, kami akan fokus untuk menjelaskan soal konstitusionalitas masa jabatan wakil presiden, dan tidak membahas lebih jauh soal presidential threshold, yang telah kami tuliskan dalam artikel sebelumnya, “Syarat Capres, Piala Dunia, dan Rasionalitas”.
ADVERTISEMENT
Menghormati Jusuf Kalla
Pertama-tama, perlu dijernihkan bahwa inisiatif kami untuk menjadi kuasa hukum Para Pihak Terkait dalam menyoal konstitusionalitas masa jabatan wapres ini sama sekali bukan bermaksud melawan Pak Jusuf Kalla (JK). Sehingga, sebenarnya tidak tepat judul berita yang mengatakan Denny Indrayana Ikut Jadi Pihak Terkait Lawan JK di Gugatan UU Pemilu.
Yang kami ingin hadapi sama sekali bukan posisi Pak JK. Apalagi, perlu dipahami, bahwa dalam soal uji konstitusional (constitutional review) di Mahkamah Konstitusi sebenarnya tidak ada sengketa di antara para pihak yang berlawanan ataupun berhadapan. Yang diuji di meja merah MK adalah norma suatu undang-undang apakah bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Kasus uji materi undang-undang di MK maksudnya adalah untuk memperjelas aturan bernegara, agar tetap sesuai dengan hukum dasar, yaitu UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalaupun kami mewakili Para Pihak Terkait yang berbeda dengan posisi Pak JK dalam membaca pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang tertuang dalam Pasal 7 UUD 1945, bukan berarti kami berlawanan dengan Pak JK. Sebaliknya, kami sedang sama-sama meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penegasan bagaimana sebenarnya batasan masa jabatan wakil presiden.
Jokowi dan Jusuf Kalla. (Foto: presidenri.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Jusuf Kalla. (Foto: presidenri.go.id)
Kami justru sangat menghormati Pak JK. Berulang kali kami sampaikan, Pak JK bukan hanya layak menjadi cawapres kembali, beliau bahkan lebih dari layak menjadi capres. Persoalannya, bukan pada diri pribadi Pak JK. Bukan pada kapasitas dan integritas beliau yang sudah nyata-nyata teruji dalam jagat politik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlebih, hubungan kami dengan Pak JK pun cukup baik. Beliau banyak membantu kami secara personal dalam banyak hal, termasuk ketika kami berada dalam masalah-masalah yang rumit. Karena itu, tentu tidak elok jika kami kemudian justru dihadap-hadapkan dengan beliau yang kami hormati.
ADVERTISEMENT
Namun, isu dasarnya adalah bagaimana kita menghormati aturan dasar bernegara. Bagaimana kita seharusnya menjunjung tinggi norma hukum yang sudah ditegaskan di dalam konstitusi. Karena yang dipertaruhkan adalah penghormatan kita pada konstitusi, maka kami memandang sangat penting untuk ikut urun-rembuk atas norma konstitusi yang sedang dipersoalkan.
Bukan Uji UU, tetapi Mengubah Konstitusi
Permohonan menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur, “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” yang diajukan oleh Perindo, dan kemudian dikuatkan oleh Pihak Terkait Jusuf Kalla, senyatanya bukan menguji norma pasal UU Pemilu tersebut, tetapi adalah upaya untuk menyoal norma konstitusi itu sendiri, khususnya Pasal 7 UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Karena, apa yang ada dalam Pasal 169 huruf n ataupun penjelasannya, sebenarnya sudah sejalan dan tegak-lurus dengan norma konstitusi, bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah maksimal dua periode jabatan untuk jabatan yang sama, berturut-turut, ataupun tidak berturut-turut. Hal mana telah secara tegas dan jelas diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, yaitu:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Karena yang diuji oleh Perindo dan Pihak Terkait Jusuf Kalla adalah norma konstitusi—bukan norma undang-undang—maka sebenarnya MK tidak berwenang menguji permohonan tersebut. Jika permohonan ini dikabulkan, maka berarti Mahkamah telah mengubah Pasal 7 UUD 1945. Padahal yang berwenang menguji UUD 1945 adalah MPR, yang oleh konstitusi diberi mandat mengubah dan menetapkan UUD 1945".
ADVERTISEMENT
Norma Pembatasan Masa Jabatan Sudah Jelas
Apalagi, norma konstitusi yang ada di dalam Pasal 7 UUD 1945 tersebut sudah jelas secara tata bahasa. Pada saat diperdebatkan dan dirumuskan ke dalam norma hukum, telah melibatkan ahli bahasa untuk menghilangkan ketidakjelasan, salah satunya karena rumusan sebelum amandemen konstitusi yang ambigu.
Dari pasal 7 UUD 1945 itu, yang intinya adalah pembatasan masa jabatan, dapat dibagi norma hukumnya sebagai berikut:
a. Subjek yang dibatasi adalah, “Presiden dan Wakil Presiden”.
b. Batasan waktu masa jabatan satu periode adalah, “lima tahun”.
c. Batasan dipilih kembali, “untuk jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Perumusan demikian karenanya sudah terlalu jelas, crystal clear, yaitu untuk jabatan yang sama, maka masa jabatan lima tahun bagi Presiden dan Wakil Presiden, dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali lagi. Tegasnya, seseorang hanya bisa menjadi presiden maksimal 10 tahun, dan wakil presiden juga 10 tahun saja.
ADVERTISEMENT
Rumusan norma yang sudah jelas demikian tidak bisa dimaknai lain, bahwa wakil presiden bisa dipilih kembali lebih dari dua kali masa jabatan, sebagaimana diargumenkan oleh Perindo dan Pihak Terkait Jusuf Kalla.
Untuk lebih terangnya, mari kita kupas secara detail soal pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan menggunakan empat metode penafsiran, yaitu: (1) gramatikal, (2) historikal, (3) original intent (maksud pembuat rumusan norma), dan (4) konseptual.
Penafsiran Gramatikal
Sebagaimana telah saya paparkan di atas, rumusan norma Pasal 7 UUD 1945 tersebut dibuat bukan hanya oleh ahli hukum, namun yang tidak kalah penting juga oleh ahli bahasa, hal mana merupakan standar kerja dalam pembuatan norma hukum, apalagi hukum dasar atau konstitusi.
ADVERTISEMENT
Secara tafsir gramatikal, sudah jelas subjek yang dibatasi di dalam norma itu adalah presiden dan wakil presiden. Artinya, yang dibatasi untuk menjabat maksimal dua periode, alias hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama bukan hanya presiden, tetapi juga wakil presiden.
Karenanya menjadi aneh kalau kita membaca argumentasi Perindo maupun Pihak Terkait Jusuf Kalla, bahwa yang dibatasi hanya presiden, dan tidak termasuk wakil presiden. Kalaupun anggaplah benar tafsir pemohon dan pihak terkait tersebut, maka subjek yang dibatasi hanya presiden saja—tanpa menyebutkan wakil presiden. Atau ditegaskan bahwa untuk subjek presiden ada pembatasan masa jabatan, tetapi untuk wakil presiden ditegaskan tidak ada batasan masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Bahwasannya rumusan pembatasannya adalah subjek “Presiden dan Wakil Presiden” menunjukkan bahwa yang dibatasi adalah keduanya alias tidak hanya presiden, tetapi juga wakil presiden.
Kata “hanya” dalam frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” adalah penekanan alias penegasan bahwa untuk jabatan yang sama tidak dimungkinkan dipilih kembali lebih dari satu kali. Pembatasan mana, sekali lagi, berlaku untuk presiden dan wakil presiden.
Argumen Pihak Terkait Jusuf Kalla, bahwa frasa “Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 7 UUD 1945 bukan membatasi masa jabatan wapres, karena frasa itu terkait dan “lahir dari rezim pemilu” adalah dalil yang tidak tepat.
Bahwasannya ada frasa “Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 6A dan 22E UUD 1945 terkait pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sama sekali tidak kemudian bisa dijadikan dasar, bahwa pembatasan subjek “Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 7 UUD 1945, hanya berlaku untuk presiden. Lompatan logika dan kesimpulan demikian tidak bisa dibenarkan, dan karenanya mesti ditolak.
ADVERTISEMENT
Apalagi frasa “Presiden dan Wakil Presiden” juga muncul dalam banyak norma lain dalam UUD 1945, misalnya dalam Pasal 9 terkait sumpah jabatan, dan bukan berarti lalu dapat diargumenkan itu adalah norma khusus untuk rezim sumpah semata. Bukankah tidak mungkin, jika kemudian soal sumpah ini pun juga dimasukkan ke rezim pemilu, sebagaimana didalilkan Pihak Terkait Jusuf Kalla.
Adanya frasa “Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 7 UUD 1945, adalah hal sederhana, dan tidak perlu dibuat rumit. Frasa itu, sebagaimana jelas dari perumusannya mengatur pembatasan masa jabatan untuk Presiden dan Wakil Presiden, berlaku bagi keduanya, sama sekali bukan pengecualian bagi wakil presiden.
Jusuf Kalla di Silaturahmi Partai Golkar (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jusuf Kalla di Silaturahmi Partai Golkar (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Argumentasi bahasa lain yang sering didalilkan untuk membuka ruang masa jabatan wakil presiden lebih dari dua kali untuk Pihak Terkait Jusuf Kalla adalah, masa jabatannya yang tidak berturut-turut, 2004 ke 2009, dan berselang sebelum kemudian 2014 ke 2019. Tentang hal ini dapat dibantah dengan dua argumentasi: gramatikal dan original intent. Untuk penafsiran original intent akan saya paparkan pada bagian selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Secara gramatikal, jika pembuat UUD akan membuka ruang pengecualian (exception) bahwa batasan maksimal dua periode itu tidak berlaku jika masa jabatannya tidak berturut-turut, maka pengecualian demikian harus dibunyikan jelas dalam undang-undang. Logika hukumnya, suatu norma hukum tanpa tegas dikecualikan, maka tidak ada pengecualian. Oleh karenanya, ketika tidak ada perumusan norma yang mengecualikan, berarti berlaku pembatasan maksimal dua periode jabatan atau maksimal 10 tahun bagi Presiden dan Wakil Presiden, tidak perduli apakah masa jabatannya berselang ataupun tidak.
Penafsiran Historikal
Yang saya maksud dengan penafsiran historikal ini adalah bagaimana soal pembatasan itu dirumuskan sebelumnya, dan apa yang melatarbelakangi hadirnya Pasal 7 UUD 1945.
Sebelum perubahan pertama di tahun 1999, rumusan pasal 7 UUD 1945 adalah, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Yang patut digarisbawahi rumusan norma juga mengatur subjek hukum bagi “Presiden dan Wakil Presiden”, bukan presiden semata.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya di awal reformasi, dengan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tetang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, muncul rumusan, “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Sekali lagi, dalam judul Ketetapan MPR tersebut, sudah sangat jelas bahwa yang dibatasi bukan hanya presiden, tetapi juga wakil presiden. Demikian pula rumusan hukumnya, yang lagi-lagi frasanya, “Presiden dan Wakil Presiden”, yang artinya pembatasan berlaku bagi keduanya, tidak ada pengecualian bagi wakil presiden.
Rumusan norma Tap MPR itulah yang kemudian diadopsi menjadi Pasal 7 UUD 1945, dengan tanpa perubahan. Yang mana menunjukkan, bahwa penafsiran historikal membuktikan sedari awal maksud pembatasan masa jabatan ini juga berlaku untuk wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Karena di tahun 1998, belum ada perubahan UUD 1945, belum pula ada konsep rezim pemilihan presiden langsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A dan 22E, yang didalillkan Pihak Terkait Jusuf Kalla, maka fakta bahwa rumusan dalam Tap MPR tersebut sama persis dengan Pasal 7 dalam Perubahan Pertama, makin menguatkan bahwa perumus undang-undang sama sekali tidak berfikir tentang rezim pemilu sebagaimana diargumenkan pihak terkait tersebut.
Penafsiran Original Intent
Model penafsiran lain yang makin menegaskan bahwa permohonan Perindo ataupun Pihak Terkait Jusuf Kalla harusnya tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi adalah, maksud perumus norma pasal 7 dalam Perubahan Pertama konstitusi itu sendiri. Untuk itu, bisa dibaca dalam "Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002" (Buku Keempat, Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I, halaman 472 – 486).
ADVERTISEMENT
Jika dibaca dengan teliti maka original intent di dalam buku tersebut kembali menegaskan apa yang telah kami uraikan di atas, bahwa pembatasan masa jabatan “Presiden dan Wakil Presiden” untuk duduk pada jabatan yang sama, hanyalah maksimal dua periode, berturut-turut ataupun bersela sekalipun.
Untuk sekadar contoh, dalam risalah sidang tersebut misalnya Harun Kamil dikutip, mengatakan:
ADVERTISEMENT
Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi menyampaikan pendapat fraksinya, “Kemudian, masalah yang prioritas lagi yang kami lihat adalah berkenaan dengan Pasal 7. Tadi juga saya pikir sama dengan teman-teman bahwa di sini konsep kami adalah Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya hanya selama lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan. Jadi, harus secara tegas”.
Lalu, apakah pembatasan hanya berlaku untuk masa jabatan berturut-turut ataupun berselang, telah pula dibahas. Misalnya, Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri berpendapat bahwa masa jabatan Presiden maupun Wakil Presiden harus mengacu pada TAP XVIII Tahun 1998, dan mengatakan:
“… Kemudian Pasal 7 masa jabatan Presiden, Wakil Presiden. Ini bisa mengacu pada Tap XVIII/MPR/1998 ini, dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Jadi bisa berturut-turut bisa berselang. Jadi bisa selang waktu, atau berturut-turut”.
ADVERTISEMENT
Soal penegasan bahwa masa jabatan presiden dan wapres itu tetap berlaku meskipun ada sela masa jabatan itulah yang kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, “Yang dimaksud dengan belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 [ima) tahun”.
Masih banyak lagi yang bisa dikutip dari buku risalah rapat MPR tersebut di atas, termasuk sebenarnya beberapa yang telah dikutip oleh Pihak Terkait Jusuf Kalla. Meskipun dalil pihak terkait yang berargumen bahwa karena yang dibicarakan adalah masa jabatan presiden, maka berarti wakil presiden tidak dibatasi.
ADVERTISEMENT
Dalil Pihak Terkait Jusuf Kalla tersebut tidak utuh, dan menafikan bahwa, meskipun ada kalimat-kalimat dari anggota MPR yang hanya menyebut presiden, itu sama sekali bukan berarti masa jabatan wakil presiden tidak dibatasi. Tidak disebutnya frasa “wakil presiden” lebih karena bahasa lisan yang seringkali lebih singkat dan efisien, sedangkan apa yang dimaksud para perumus tersebut dapat dilihat lebih jelas dan tegas dari usulan rumusan Pasal 7 UUD 1945.
Berdasarkan rumusan usulan perubahan Pasal 7 UUD 1945, kita bisa melihat bahwa semua fraksi mengusulkan pembatasan berlaku bagi keduanya, karena semuanya menggunakan frasa “Presiden dan Wakil Presiden”.
Maka jelaslah, berdasarkan metode penafsiran original intent dapat dipahami secara mudah dan jelas bahwa yang dibatasi berdasarkan Pasal 7 adalah masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yang maksimal hanya dua kali, baik masa jabatannya berturut ataupun bersela.
ADVERTISEMENT
Penafsiran Konseptual
Salah satu dalil yang digunakan oleh Pihak Terkait Jusuf Kalla adalah dengan berpijak pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, maka yang perlu dibatasi kekuasaan dan masa jabatannya hanya presiden. Lebih jauh Pihak Terkait Jusuf Kalla mendalilkan hanya pembantu presiden, sama halnya menteri, dan karenanya patut untuk tidak dibatasi masa jabatannya. Atas argumentasi demikian, kami berbeda pandangan.
Untuk memudahkan penjelasan, anggaplah argumentasi itu benar, maka Pasal 7 tetap tidak berubah, rumusan frasanya adalah pembatasan untuk “Presiden dan Wakil Presiden”.
Apalagi, soal wakil presiden tidak punya kekuasaan negara itu adalah konsep yang bisa diperdebatkan. Argumentasi yang lain mengatakan, kekuasaan pemimpin pemerintahan memang ada pada presiden, tetapi wakil presiden, menteri dan pejabat negara yang lain, tentu saja tetap mempunyai kekuasaan dan kewenangan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Tidak tepat kalau mengatakan bahwa yang mempunyai kekuasaan pemerintahan hanya presiden maka yang perlu dibatasi hanya presiden. Di dalam kekuasaan pemerintahan juga ada kepala daerah misalnya, yang masa jabatan gubernur, bupati, dan wali kota juga dibatasi hanya untuk maksimal 2 (dua) periode jabatan, sebagaimana telah ditegaskan konstitusionalitasnya dalam Putusan MK Nomor Nomor 8 Tahun 2008 dan Nomor 22 tahun 2009.
Kalaupun berpandangan bahwa wakil presiden dan menteri adalah sesama pembantu presiden, dan tidak ada pembatasan masa jabatan menteri, maka argumentasi demikianpun tidak tepat. Kita sama-sama mafhum bahwa banyak aturan yang membedakan antara wapres dan menteri, dan justru banyak aturan yang sama antara wapres dengan presiden.
Misalnya, syarat menjadi calon presiden adalah sama dengan wapres. Mekanisme pemilihannya sama dengan presiden, dipilih langsung oleh rakyat. Syarat dan ketentuan pemberhentiannya pun, sama dengan mekanisme impeachment presiden. Bahkan demikian pula dengan sumpah jabatannya yang berbunyi relatif sama dengan presiden.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, ada aturan suksesi lembaga kepresidenan yang hanya berlaku untuk wapres, yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) bahwa, “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.
Masih secara konseptual, bisa juga digunakan metode komparasi bagaimana soal pembatasan jabatan wakil presiden ini di negara-negara lain. Kami dapat pastikan hampir seratus persen negara-negara dengan sistem presidensial mengatur pembatasan wakil presiden dalam satu tarikan napas, alias sama, dengan presidennya. Artinya, hampir merupakan suatu konsep yang diterima sebagai kebenaran universal bahwa wakil presiden mempunyai kekuasaan menggantikan presiden, dan karenanya pembatasan kekuasaannya pun menjadi sama dengan presiden.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya, kami hanya menemukan Guetemala yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden yang berbeda dengan wakil presiden. Namun, yang perlu digarisbawahi, konstitusi di Guetemala tidak mengatur soal pembatasan masa jabatan wapres, sehingga diinterpretasikan masa jabatannya bisa berulang kali.
Kembali ke tanah air, apa yang terjadi di Guetemala karenanya tidak bisa diterapkan di Indonesia. Karena berbeda dengan Guetemala yang tidak mengatur di dalam konstitusinya, di kita Pasal 7 UUD 1945 sekali lagi telah membunyikan dengan jelas pembatasan masa jabatan itu berlaku untuk subjek hukum “Presiden dan Wakil Presiden”.
Tegakkan Konstitusi
Akhirnya, dengan seluruh penjabaran dan argumentasi di atas, semoga menjadi jelas, bahwa sebenarnya rumusan norma konstitusi dalam Pasal 7 UUD 1945 adalah sudah sangat tegas, bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam jabatan yang sama dibatasi maksimal hanya untuk dua kali masa jabatan, tidak terkecuali masa jabatan yang pertama dan kedua berturut-turut ataupun berselang.
ADVERTISEMENT
Karena jelasnya norma Pasal 7 itu, kami tegaskan pandangan bahwa yang sedang disoal oleh Perindo maupun Pihak Terkait sebenarnya bukan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, tetapi adalah konstitusi itu sendiri. Artinya, seharusnya Mahkamah memutus tidak menerima permohonan tersebut karena tidak memiliki kewenangan. Yang berwenang untuk merubah dan menetapkan UUD 1945 adalah MPR, bukan Mahkamah Konstitusi.
Kalaupun Mahkamah Konstitusi berpandangan mempunyai kewenangan, maka kami telah jelaskan berdasarkan penafsiran gramatikal, historikal, original intent, dan konseptual termasuk perbandingan berbagai negara—maka, permohonan Perindo maupun Pihak Terkait Jusuf Kalla untuk tidak membatasi masa jabatan wakil presiden sebaiknya ditolak, alias tidak dikabulkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, tentu dengan tetap menghormati permohonan Perindo, dan khususnya Pak Jusuf Kalla, Mahkamah Konstitusi harus melaksanakan perannya untuk menjaga marwah konstitusi, untuk tidak tunduk pada kekuasaan, dengan: menolak permohonan dan tetap menegaskan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden tetap dibatasi maksimal dua kali, sebagaimana telah dengan tegas dan jelas diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. (*)