Negara Minus Negarawan

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
4 Februari 2018 12:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (Foto: Hafidz Mubarak/Antara Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (Foto: Hafidz Mubarak/Antara Foto)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini makin kuat desakan agar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mundur dari jabatannya. Dua kali pelanggaran etika yang dilakukannya, menyebabkan Profesor Arief dianggap tidak lagi layak, dan tidak lagi memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi. Pelanggaran etika pertama karena menerbitkan katabelece untuk mendorong karir seorang jaksa. Pelanggaran etika kedua karena bertemu informal di hotel dengan Komisi Hukum DPR, terkait dengan proses seleksi hakim konstitusi yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Apakah tepat desakan mundur tersebut? Mengapa menjaga etika itu sangat penting, bahkan mendasar, utamanya bagi seorang hakim konstitusi, apalagi Ketua MK?
Etika Pondasi Hukum
Ketika Presiden Jokowi berbicara tentang perlunya revolusi mental, beliau sudah melakukan diagnosa yang tepat akan penyakit bangsa ini. Tentu apa yang dimaksud dengan revolusi mental bisa mempunyai beragam makna. Jika dilihat dari sisi pandang hukum, bagi saya revolusi mental adalah soal perbaikan etika, soal moral, soal nilai-nilai, soal values. Revolusi mental dari sisi yuridis inilah yang akan saya ulas pada tulisan singkat kali ini.
Hukum adalah salah satu bidang yang relatif tertinggal perkembangannya dalam era reformasi, yang usianya menjelang dua dekade pada Mei tahun ini. Dimulai dengan awal yang baik, melalui reformasi UUD 1945, dengan empat perubahan konstitusi, aturan sistem hukum kita mengalami perbaikan regulasi tertulis yang signifikan. UUD 1945 berubah dari awalnya memberikan kekuasaan yang terpusat pada presiden (executive heavy constitution), menjadi UUD yang menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan saling-kontrol-saling-imbang (checks and balances) yang lebih tegas. Selanjutnya di awal-awal reformasi perubahan regulasi yang mendasar dilakukan, semua berkontribusi untuk menghadirkan Indonesia yang lebih demokratis.
ADVERTISEMENT
Aturan perlindungan HAM, utamanya Perubahan Kedua UUD 1945, menghadirkan jaminan kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berorganisasi yang menumbuhsuburkan media, ormas, LSM dan partai politik. UU Antisubversi yang menangkap banyak tapol/napol ditiadakan. Aturan antikorupsi diperkuat. Kata ‘korupsi’ masuk ke dalam konstitusi, sebagai salah satu sebab bisa dipecatnya seorang presiden atau wakil presiden (impeachment).
Tidak hanya regulasi, institusi bernegara pun diperbaiki. Sebagai anak kandung reformasi hadirlah Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan lain-lain. Semuanya demi menjaga Indonesia yang lebih demokratis dan antikorupsi.
Namun, dengan berbagai perbaikan yang relatif mendasar tersebut, setelah nyaris dua dekade, reformasi hukum kita masih belum bergeser dari persoalan korupsi peradilan. Mafia peradilan masih membajak penegakan hukum. Keadilan masih diperjual-belikan. Proses hukum masih menjadi komoditas yang diperdagangkan. Mengapa demikian? Apa yang salah dengan reformasi hukum kita?
ADVERTISEMENT
Jawabannya adalah karena kita mengubah hardware-nya, tetapi tidak mengganti software-nya. Kita mengubah perangkat kerasnya, tetapi melupakan perangkat lunaknya. Menurut Lawrence M. Friedman sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum, yaitu kelembagaan penegak hukum; substansi hukum, yaitu peraturan perundangan; dan kultur hukum yaitu aturan yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Berdasarkan kacamata Friedman, kita memang sudah melakukan reformasi struktur, yaitu institusi hukum dan reformasi substansi, yaitu regulasi, namun masih belum mengubah budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang seharusnya tumbuh di dalam masyarakat.
Singkatnya, meskipun regulasi diperbaiki, institusi diperbaharui, namun jika etika hukumnya tidak berubah, maka sistem hukum tidak akan pernah menghadirkan keadilan. Profesor Ronald Dworkin menegaskan, “Moral principle is the foundation of law”. Etika moral adalah pondasi dasar bagi tegaknya hukum. Tanpa etika, hukum akan runtuh, keadilan akan rubuh. Etika alias moral adalah nilai-nilai kehidupan yang membedakan baik dan buruk. Dalam berkarya, etika adalah etos yang membedakan antara rajin dan malas. Dalam bergaul etika adalah sopan-santun yang membedakan jujur dan dusta. Dalam berpolitik, etika adalah nilai yang membedakan antara bersaing dengan sehat, dan berkompetisi secara curang, dengan politik uang. Dalam mengemban jabatan, etika moral membedakan antara tindakan koruptif, dengan yang memegang teguh amanah tanpa mengeruk uang haram selama menjabat.
ADVERTISEMENT
Maka, menjadi sangat penting untuk mengubah software hukum kita. Menanamkan kembali budaya hukum tentang keadilan, kejujuran, disiplin, rajin, bersih, antikorupsi dan seterusnya. Tanpa etika moral dengan nilai-nilai kehidupan yang mendasar tersebut, tidak akan ada penegakan hukum yang terhormat dan berwibawa. Mengubah regulasi dan institusi menjadi lebih baik dan demokratis tentu saja penting. Namun, jika perubahan itu tidak menyentuh sisi etika moral, maka reformasi hukum demikian hanya akan menghadirkan perubahan di permukaan, tanpa menyentuh persoalan mendasarnya, tanpa mengubah buruknya pondasi sistem hukum itu sendiri. Perubahan permukaan demikian akhirnya tidak substansial, dan mudah dimanipulasi. Sehingga tidaklah heran jika praktik penegakan hukum yang curang, berjayanya para mafioso peradilan, masih tetap marak kita temukan.
ADVERTISEMENT
Mundurnya Negarawan
Kembali ke pertanyaan awal artikel ini. Apakah tepat desakan mundur kepada Ketua MK Arief Hidayat? Dari sisi formal, desakan mundur demikian terkesan kurang tepat sasaran. Sistem pengawasan di MK sudah berjalan. Dewan Etik sudah menjatuhkan sanksi pelanggaran etika, dengan dua teguran lisan. Tidak ada keputusan yang memberhentikan Ketua MK. Namun, hukum bukan hanya soal formal semata, bukan hanya aturan tertulis saja, namun juga pertimbangan substansial, yang lebih mengedepankan etika moral, meskipun tidak tertulis.
Secara tertulis, hanya hakim konstitusi yang disyaratkan sebagai negarawan menurut UUD 1945. Bahkan Presiden sekalipun tidak disyaratkan demikian. Apalagi pejabat negara yang lain. Hal demikian bukan berarti presiden dan pejabat negara lain boleh bukan negarawan. Namun, khusus untuk hakim konstitusi, syarat negarawan itu dikuatkan, lebih ditegaskan.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Karena hakim konstitusi harus independen dan imparsial dalam memutuskan perkara di hadapan meja merah Mahkamah, yang kesemuanya mempunyai nuansa politik praktis yang sangat kental dan menggoda. Kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, memutus sengketa hasil pemilu, memutus sengketa kewenangan antara Lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, sampai dengan memutus pendapat DPR bahwa presiden layak dimakzulkan dalam proses impeachment, adalah kewenangan yang sangat strategis bagi kehidupan kita berbangsa. Kewenangan demikian hanya dapat diberikan kepada sosok negarawan yang amat menjaga etika pribadi, dan etika bernegara.
Menurut Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, hakim konstitusi harus memiliki “integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”. Syarat yang relatif sama yaitu, “integritas dan kepribadian yang tidak tercela” juga diatur bagi hakim agung dan pimpinan Komisi Yudisial. Hal demikian menegaskan cabang kekuasaan yudikatif harus diisi oleh orang-orang pilihan yang sangat menjunjung tinggi etika moral.
ADVERTISEMENT
Syarat “integritas dan kepribadian tidak tercela” adalah syarat yang sangat bernuansa etika moral. Integritas dan moralitas adalah dua hal yang tidak terpisahkan, bahkan dapat dikatakan satu hal yang sama. Tidak mungkin seseorang menegakkan integritas, tanpa menghormati moralitas, tanpa menjunjung tinggi etika.
Oleh karena itu, seorang hakim konstitusi yang negarawan dengan integritas dan kepribadian yang tidak tercela sewajibnya menjunjung tinggi etika dalam setiap tarikan nafas hidupnya. Maka, menjadi sulit membayangkan, seorang hakim konstitusi yang mestinya beretika, mentoleransi terbitnya katabelece yang koruptif. Juga tidak terbayangkan, seorang hakim konstitusi secara informal bertemu dengan Komisi Hukum, yang merupakan juga pihak berperkara, dan melobi perpanjangan masa jabatannya. Pertemuan di hotel yang sarat dengan benturan kepentingan demikian tidak akan mungkin dilakukan oleh negarawan yang berintegritas dan berkepribadian tidak tercela.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, negarawan dengan integritas kepribadian tidak tercela akan sangat menjaga etikanya. Negarawan tidak mungkin minus etika. Negarawan sejati tidak akan mudah melanggar etika, apalagi hingga dijatuhkan sanksi hingga dua kali. Negarawan yang melanggar etika, adalah negarawan yang ternoda, negarawan yang tercela. Negarawan yang melanggar etika berkali-kali batal demi hukum statusnyanya sebagai negarawan, dan karenanya tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, apalagi Ketua Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya pemimpin terdepan para negarawan hakim konstitusi.
Pada kesempatan ini, perlu juga ditegaskan bahwa, mundur dari jabatan publik tidaklah harus menunggu putusan formal, tetapi adalah tanggung jawab moral yang patut dikedepankan pemimpin negara yang beretika, sebagaimana diatur dengan jelas di dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
ADVERTISEMENT
Jadi jelaslah, desakan mundur kepada Ketua MK Arief Hidayat adalah desakan moral yang absah, bahkan sangat patut dilakukan. Meskipun, sebagai desakan moral, memang efektivitasnya akan sangat tergantung kepada diri Profesor Arief pribadi. Inilah kesempatan bagi Beliau untuk menunjukkan masih ada sifat negarawan dalam dirinya. Negarawan sejati tidak akan mempertahankan jabatannya. Apalagi jika bertahan itu akan berdampak makin rusaknya kehormatan institusi Mahkamah Konstitusi. Negarawan sejati akan mengorbankan kepentingan apapun, demi menyelamatkan martabat institusi, demi menjaga kehormatan bangsa dan negara.
Saya masih berkeyakinan ada sifat negarawan dalam diri Ketua MK Arief Hidayat. Saya masih berharap, mendorong mundurnya Ketua MK bukanlah hal yang tidak mungkin, ibarat punguk merindukan bulan. Saya masih yakin, ada etika moral dalam diri Profesor Arief Hidayat, karenanya mendorong mundurnya Ketua MK bukanlah hal yang mustahil, ibarat punguk merindukan etika. Kita tidak ingin Mahkamah Konstitusi diisi, terlebih lagi dipimpin, oleh negarawan minus etika. Kita tidak ingin bangsa ini menjadi negara minus negarawan.
ADVERTISEMENT
Denny Indrayana Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne, Australia