Patrialis Akbar dan Urgensi Perpu Anti-Mafia Peradilan

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
26 Januari 2017 22:26 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Patrialis Akbar. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Ketika sedang memikirkan topik Catatan Kamisan, saya dikejutkan dengan berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK atas salah satu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Memori saya bergerak ke masa lampau. Beberapa rekaman segmen kehidupan, hubungan saya dengan beliau, berkelebatan dalam ingatan.
ADVERTISEMENT
Tampilan Relijius
Pak Patrialis yang saya kenal adalah pribadi dengan tampilan relijius. Mungkin sidang pembaca masih ingat ketika beberapa tahun yang lalu sempat ramai diberitakan sidak Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) ke Rutan Pondok Bambu. Hasil sidak itu membongkar fasilitas mewah yang dinikmati nara pidana Arthalita Suryani alias Ayin.
Anehnya, tidak berapa lama kemudian, Ayin justru mendapatkan fasilitas Pembebasan Bersyarat (PB) dari Kemenkumham. Padahal salah satu syarat utama untuk memperoleh hak napi seperti PB adalah berkelakuan baik. Saya yakin, mempunyai fasilitas mewah di penjara adalah berkebalikan dengan prinsip dasar berkelakuan baik tersebut.
Saat itu, sebelum melaksanakan sidak, saya dengan dua anggota Satgas PMH lainnya (Mas Achmad Santosa dan Yunus Husein) bersepakat untuk mampir dan mengajak Menkumham saat itu, Patrialis Akbar. Setiba di tempat tinggalnya, kami tidak berjumpa dengan Pak Patrialis. Beliau sedang sholat maghrib berjamaah di masjid yang dekat rumahnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai Menkumham, Patrialis juga dikenal sering melakukan pengajian dengan mengundang anak-anak yatim piatu ke rumahnya. Beliau pula yang berinisiatif membangun masjid di lingkungan Kemenkumham.
Meskipun saya paham bahwa tampilan relijius tidak selalu seiring-sebangun dengan perilaku anti-korupsi, tetapi OTT Patrialis Akbar, dan penetapannya menjadi tersangka tipikor oleh KPK, tetap merupakan kejadian yang sangat disayangkan. Terlebih bagi lembaga terhormat selevel Mahkamah Konstitusi. Ini adalah tamparan keras kedua, setelah kasus korupsi sebelumnya menjerat Ketua MK Akil Mochtar.
Perpu MK 2013
Saat dunia hukum diguncang dengan OTT Ketua MK Akil Mochtar, Presiden SBY menggunakan kewenangannya untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Presiden SBY memahami bahwa kejadian itu memenuhi unsur “kegentingan yang memaksa” bagi syarat terbitnya Perpu berdasarkan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Kepada beberapa pihak yang menyoal soal kegentingan itu, saya katakan, “Sepengetahuan saya, belum pernah ada dalam sejarah dunia, ada ketua suatu mahkamah peradilan yang ditangkap tangan melakukan korupsi. Kejadian OTT Ketua MK Akil Mochtar adalah sejarah pertama di dunia. Itu ibarat runtuhnya dunia hukum di tanah air. Jika kejadian yang level merusaknya sangat dahsyat demikian tidak dianggap sebagai ‘kegentingan yang memaksa’, maka saya tidak paham lagi, bagaimana kriteria kegentingan tersebut.”
Kepada Presiden SBY yang menanyakan, saya jelaskan, berdasarkan Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 penerbitan Perpu adalah merupakan penilaian subjektif Presiden yang objektivitas politiknya dinilai oleh DPR. Sayangnya dalam perjalanannya Perpu itu meskipun disetujui oleh DPR namun kemudian dibatalkan oleh Putusan MK sendiri.
ADVERTISEMENT
Memang tidak mudah menyusun Perpu terkait dengan MK. Yang pasti, kami tidak punya maksud lain kecuali mencoba mencari rumusan terbaik untuk menjaga MK dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk nafsu korupsi. Dalam menyusun Perpu itu, saya sengaja mengundang beberapa pakar hukum di antaranya Profesor Saldi Isra, Profesor Zudan Arif Fakrulloh, Profesor Enny Nurbaningsih, Doktor Maruarar Siahaan, Doktor Refly Harun, dan Arsil dari LeIP.
Dengan menimbang berbagai hal, perdebatan kami menyepakati tiga hal yang perlu diperbaiki, yaitu: proses seleksi hakim konstitusi, syarat calon hakim konstitusi, dan perbaikan pengawasan hakim konstitusi.
Sebagai satu-satunya jabatan yang oleh UUD 1945 disyaratkan “Negarawan”, maka hakim konstitusi pasti mempunyai level godaan kekuasaan dan keuangan yang maha dahsyat. Bahkan posisi presiden, penguasa republik nomor satu sekalipun, tidak secara eksplisit mensyaratkan kriteria negarawan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menimbang faktor negarawan itu sangat langka, maka kami memang berpandangan seleksinya harus ketat. Kami menyadari, tidak mudah merumuskan proses seleksi yang sejalan dengan norma konstitusi. Tetapi kami satu pandangan sebaiknya ada proses yang transparan, partisipatif dan akuntabel. Karena itu, keterlibatan tokoh bangsa menjadi panel ahli untuk menyeleksi hakim konstitusi adalah formula yang kami usulkan.
Bagaimanapun, proses seleksi yang tepat akan menghasilkan hakim konstitusi yang profesional dan bermoral, begitu pula sebaliknya. Karena itu tim seleksi yang membantu kerja rekrutmen tiga hakim konstitusi dari Presiden, tiga dari DPR dan tiga dari MA, adalah kunci utama bagi hadirnya hakim konstitusi—dan akhirnya Mahkamah Konstitusi yang berwibawa.
Di dalam Perpu, kami juga merumuskan, agar menjamin imparsialitas dan independensinya, calon hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik paling sedikit tujuh tahun. Kami setuju, bahwa tidak ada jaminan bahwa unsur non-parpol pasti calon hakim yang baik. Kami paham, para terpidana korupsi yang ditangkap KPK tidak hanya dari unsur parpol, tetapi juga akademisi, birokrasi, dan pengusaha.
ADVERTISEMENT
Namun, melihat banyak kewenangan MK yang berbenturan dengan kepentingan politik, maka untuk meminimalisir conflict of interest, kami sepakat perlunya diskriminasi positif (affirmative action) bagi calon hakim konstitusi dari unsur parpol dengan jeda keanggotaan tujuh tahun tersebut. Usulan kami itu juga sejalan dengan Putusan MK nomor 81/PUU-IX/2011, yang menguatkan kemandirian penyelenggara Pemilu dengan batasan jeda 5 tahun keanggotaan dari parpol bagi calon komisioner KPU dan Bawaslu.
Unsur ketiga yang juga kami sepakati ada dalam Perpu adalah penguatan unsur pengawasan bagi hakim konstitusi. Memang soal pengawasan ini selalu tidak mudah formulanya. Apalagi bagi lembaga peradilan yang harus merdeka, bebas dari intervensi. Adonannya harus pas.
Terlalu banyak kadar pengawasan akan cenderung interventif. Terlalu sedikit derajat pengawasan akan cenderung koruptif.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, meskipun Perpu itu lolos secara politik dan disetujui DPR, namun akhirnya justru dibatalkan oleh putusan MK sendiri. Meskipun, dalam praktiknya, ide dalam perpu itu sebenarnya tetap diterima. Misalnya ide Panel Ahli akhirnya dilakukan dalam seleksi hakim konstitusi di DPR. Sistem pengawasan juga akhirnya diperbaiki dengan hadirnya Dewan Etik yang bisa mengusulkan pembentukan Mejelis Kehormatan MK, yang juga sebelumnya ada dalam rumusan Perpu.
Urgensi Perpu Anti-Mafia Peradilan
Melihat permasalahan peradilan kita yang kembali diguncang gempa OTT Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ini, saya mengusulkan solusi yang kita lakukan tidak lagi parsial tetapi menyeluruh. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ada baiknya Presiden Jokowi menerbitkan Perpu Anti-Mafia Peradilan. Norma Perpu hanya perlu singkat dan padat, yang menegaskan komitmen politik hukum negara untuk memberantas mafia peradilan.
ADVERTISEMENT
Politik hukum demikian harus ditegaskan sejalan, dan tidak bertabrakan, dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, menghomati lembaga peradilan MK, MA dan peradilan di bawahnya; termasuk lembaga penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan profesi advokat. Perpu wajib menegaskan dilakukannya reformasi menyeluruh untuk sistem kelembagaan, rekrutmen, promosi, renumerasi, dan pengawasan seluruh lembaga penegak hukum.
Untuk melaksanakan reformasi menyeluruh itu, di dalam Perpu dirumuskan pula Presiden membentuk satu Tim Presiden Anti-Mafia Peradilan yang bertugas merumuskan kebijakan total anti-mafia peradilan, yang akan bekerjasama erat dengan KPK. Tim Presiden Anti-Mafia Peradilan itu harus diberi tempo sesingkat-singkatnya untuk memberikan rumusan perbaikan menyeluruh dunia peradilan dan penegakan hukum agar bersih dari praktik mafia peradilan.
Dulu pernah dibentuk Satgas PMH, namun hanya berumur dua tahun, dan hanya berdasarkan Keppres. Masa kerja yang singkat dan dasar hukum Keppres demikian tidak cukup memadai untuk memberantas mafia peradilan yang sudah terlanjur kuat serta berurat-berakar.
ADVERTISEMENT
Dengan rumusan politik hukum yang tepat, meskipun tidak perlu terlalu detail, serta dengan dukungan politik yang sekarang dimiliki Presiden Jokowi, saya yakin Perpu itu akan mendapatkan dukungan DPR menjadi UU. Kalaupun, ada yang menguji ke MK, saya harap kali ini Mahkamah akan berpikir reformis dan mendukung penuh upaya presiden memberantas mafia peradilan.
Bentuk kebijakan berupa Perpu demikian perlu dilakukan untuk menegaskan bahwa kita sudah muak dengan merajalelanya praktik mafia peradilan yang telah merampas rasa keadilan, serta menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang kegentingan yang memaksa. Sudah tidak boleh ada lagi kesempatan dan ruang pemaaf bagi para gangster hukum yang memperdagangkan kasus-kasus hukum tersebut. Tidak boleh lagi kasus hukum dijadikan komoditas, diperjualbelikan. Cukup sudah! Enough is enough!
ADVERTISEMENT
Keep on fighting for the better Indonesia. (*)