Presiden dan Perppu Penyelamatan KPK

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
27 September 2019 15:12 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo usai pertemuan dengan para tokoh di Istana Merdeka. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo usai pertemuan dengan para tokoh di Istana Merdeka. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi sudah mengambil keputusan yang tepat dengan menunda proses legislasi empat Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan. Prosesnya diputuskan akan diserahkan kepada DPR periode selanjutnya yang akan dilantik per 1 Oktober yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Namun, itu saja tidak cukup, justru yang lebih penting Presiden Jokowi perlu melengkapinya dengan kebijakan legislasi lain terkait RUU Perubahan UU KPK (revisi UU KPK).
Berbeda dengan keempat RUU tersebut, RUU KPK dipandang sudah melalui proses persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah, sehingga tinggal menunggu proses penandatanganan presiden dan pengundangan, untuk berlaku menjadi undang-undang. Sehingga banyak yang berpandangan pembatalannya sebaiknya dilakukan melalui uji konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi (MK).
Saya kurang sependapat dengan pendekatan melalui MK tersebut. Betul bahwa MK berwenang menguji revisi UU KPK, namun saya terus terang tidak yakin MK akan menyelamatkan KPK dari kematian.
Berangkat dari putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 yang menguatkan konstitusionalitas Pansus Hak Angket DPR, tidak mengherankan jika MK masih akan berpandangan konservatif bahwa revisi UU KPK merupakan open legal policy. Yaitu, norma hukum yang terbuka konstitusionalitasnya, dan karenanya terserah kepada pilihan politik hukum DPR dan Presiden untuk mengadopsinya menjadi materi muatan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Harapan pada Presiden Jokowi
Harapan penyelamatan KPK dari kematian yang abadi masih bisa disematkan ke pundak Presiden Jokowi. Tidak sekali-dua kali, Presiden menegaskan komitmennya untuk menguatkan KPK.
Maka, setelah membaca dengan seksama revisi UU KPK, saya yakin Presiden Jokowi akan dengan mudah menyimpulkan bahwa KPK justru sedang dibunuh pelan-pelan, dan karenanya perlu diselamatkan.
Sebagai kepala negara dan pemegang tanggung jawab utama pemberantasan korupsi adalah kewajiban Presiden Jokowi untuk memastikan KPK tidak benar-benar mati dan menjadi tiada. Caranya adalah dengan menerbitkan Perppu yang membatalkan revisi UU KPK, dan memberlakukan lagi UU KPK sebelum revisi tersebut.
Karena itu, sudah tepat jika Presiden Jokowi menerima dan menyetujui usulan para tokoh yang hadir ke Istana Negara, dan berbicara tentang perlunya Perppu Penyelamatan KPK pada Kamis lalu (26/9/2019).
ADVERTISEMENT
Sebagai pemimpin yang suka berpikir cepat dan simpel, Presiden Jokowi perlu diyakinkan, penerbitan Perppu bukanlah persoalan rumit. Bahkan sebaliknya, Perppu adalah solusi cepat dan tepat. Bukan hanya untuk menghidupkan lagi KPK, tetapi juga jalan keluar dari berbagai demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak pelemahan KPK.
Berdasarkan UUD 1945, dalam proses legislasi, Presiden diberikan tiga kewenangan, yaitu: Pertama, DPR dan pemerintah menyetujui bersama setiap RUU (Pasal 20 ayat (2)). Kedua, tidak menandatangani RUU hingga melewati batas waktu 30 hari, yaitu setelah RUU tersebut disetujui bersama DPR dan pemerintah (Pasal 20 ayat (5)). Dengan catatan, RUU demikian, meskipun tanpa tanda tangan Presiden, akan tetap berlaku menjadi UU. Ketiga, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden menerbitkan Perppu (Pasal 22 ayat (1)).
ADVERTISEMENT
Dalam hal revisi UU KPK, Presiden Jokowi sudah melakukan kewenangan yang pertama, yaitu persetujuan bersama dengan DPR. Karena itu, Presiden tinggal menyisakan dua opsi lainnya, yaitu tidak menandatangani RUU tersebut selama 30 hari, terhitung sejak 17 September 2019, namun RUU KPK tersebut tetap berlaku menjadi UU; atau menerbitkan Perppu Penyelamatan KPK.
Tidak menandatangani dalam rentang 30 hari terkesan moderat dan bisa membangun argumen bahwa Presiden Jokowi sebenarnya tidak setuju dengan revisi UU KPK. Namun, karena sudah terlanjur disetujui bersama dalam rapat paripurna DPR, maka Presiden hanya tidak berkenan menandatanganinya.
Sikap itu untuk menunjukkan keberpihakannya pada agenda pemberantasan korupsi dan penolakan pelemahan KPK. Namun, untuk menyelamatkan KPK dari kematian, sikap tidak menandatangani demikian saja tidaklah cukup. Sebab, meskipun tanpa tanda tangan Presiden, revisi UU yang melemahkan KPK itu akan tetap sah berlaku sebagai undang-undang.
ADVERTISEMENT
Maka, satu-satunya solusi yang tersisa untuk dilakukan Presiden Jokowi jika serius ingin menyelamatkan KPK adalah menerbitkan Perppu Penyelamatan KPK.
Perppu adalah solusi
Selalu timbul perdebatan, apa alasan penerbitan Perppu. Konstitusi mensyaratkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Perppu diterbitkan. Lalu, bagaimana situasi dan kondisi kegentingan yang demikian?
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan rambu-rambu, bahwa “kegentingan yang memaksa” tersebut penilaiannya diberikan kepada subjektivitas Presiden, yang objektivitas politiknya dinilai oleh DPR.
Jadi jelasnya, Presiden Jokowi mempunyai kewenangan mutlak untuk secara subjektif menilai bahwa dengan berbagai demonstrasi mahasiswa, penolakan para tokoh, dan aktivis antikorupsi, serta kedaruratan untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi nasional—melalui penolakan pelemahan KPK, maka Perppu pembatalan revisi UU KPK perlu diterbitkan.
ADVERTISEMENT
Apalagi, Perppu yang membatalkan berlakunya suatu undang-undang bukanlah ahistoris. Sebelumnya di pengujung masa jabatannya, Presiden SBY juga telah menerbitkan Perppu, yang membatalkan undang-undang yang baru saja berlaku.
Pada 2 Oktober 2014, Presiden SBY menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara langsung, yang membatalkan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2014 yang baru saja menerapkan sistem pilkada tidak langsung.
Kala itu, Presiden SBY menangkap aspirasi yang sangat kuat dari masyarakat untuk tetap menerapkan sistem pilkada langsung. Untuk mewadahi aspirasi tersebut, maka Presiden SBY menerbitkan Perppu.
Bahkan bukan hanya satu, saat itu diterbitkan dua Perppu sekaligus. Perppu yang kedua Nomor 2 tahun 2014 adalah perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
ADVERTISEMENT
Perppu kedua diterbitkan karena diperlukan penyesuaian dalam UU Pemda terkait sistem pilkada yang berubah dari tidak langsung kembali menjadi pemilihan langsung lagi.
Bagaimana teknisnya?
Penerbitan perppu bukanlah hal yang rumit. Karena alasannya adalah kegentingan yang memaksa, maka tidak perlu ada naskah akademik bagi terbitnya Perppu. Terkait revisi UU KPK, Presiden dapat melawatkan waktu 30 hari masa penandatanganan, agar revisi UU KPK berlaku menjadi undang-undang.
Tidak menandatangani adalah langkah politik untuk mengirimkan pesan bahwa setelah membaca dan mempelajari dengan saksama, Presiden Jokowi menyadari bahwa revisi UU KPK justru melumpuhkan dan meniadakan KPK, dan karenanya harus dibatalkan.
Pembatalan dilakukan dengan menerbitkan Perppu penyelamatan KPK yang isinya cukup hanya membatalkan revisi UU KPK dan memberlakukan lagi UU KPK sebelumnya. Jadi materi muatan perppu penyelamatan KPK juga sangat sederhana dan tidak sulit untuk disiapkan.
ADVERTISEMENT
Sepanjang ada kemauan dan ketegasan presiden, maka draft Perppu bisa diselesaikan kurang dari setengah jam, karena mudah dan sederhananya norma hukum yang perlu dirumuskan.
Satu lagi alasan kenapa Perppu adalah solusi lebih tepat ketimbang uji konstitusionalitas di MK adalah ketokohan dan kekuatan politik Presiden Jokowi. Dengan modal koalisi parpol yang mayoritas mutlak di parlemen dan legitimasi kemenangan pilpres, maka menjadi lebih mudah bagi Presiden Jokowi untuk meminta DPR agar mendukung Perppu Penyelamatan KPK yang diterbitkannya.
Sebab, harus dipahami bahwa penerbitan Perppu saja tidaklah cukup. Perppu penyelamatan KPK harus mendapatkan persetujuan DPR pada persidangan selanjutnya, agar dapat berlaku menjadi UU.
Tanpa persetujuan DPR, Perppu penyelamatan KPK akan sia-sia. Pada titik itulah, ketokohan dan kekuatan politik Presiden Jokowi diperlukan agar koalisi partai politik pendukungnya di DPR menjadi solid menyetujui Perppu tersebut.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja akan ada kecanggungan, karena sebelumnya seluruh fraksi di DPR menyetujui revisi UU KPK, tetapi melihat penolakan mahasiswa dan masyarakat umum yang begitu meluas, dan sekali lagi dengan kepemimpinan Presiden Jokowi, seharusnya Perppu penyelamatan KPK dapat diterbikan dan menjadi solusi agar KPK tetap hidup dan terus membebaskan Indonesia dari penjajahan para koruptor.
Akhirnya, kita tunggu langkah bijak Presiden Jokowi, untuk pada saatnya menjadi penyelamat KPK dari kematian, yaitu dengan menerbitkan Perppu Penyelamatan KPK. Semoga! (*)