Menjaga Kredibilitas Wartawan Lewat Upah yang Layak

Denny Kristianto Mukti Stefanus
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan "Veteran" Yogyakarta
Konten dari Pengguna
17 Maret 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Kristianto Mukti Stefanus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi profesi jurnalis (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/tekan-wartawan-masker-gas-serangan-3491054/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi profesi jurnalis (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/tekan-wartawan-masker-gas-serangan-3491054/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tanggal 3 Mei menandai peringatan hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day. Berkaca dari sejarah, Hari Kebebasan Pers Sedunia ini dideklarasikan oleh Majelis Umum Dewan Perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993 atas seruan sekelompok jurnalis di Afrika. Para jurnalis ini untuk menuntut kebebasan, independensi, dan pluralitas lewat “Deklarasi Windhoek”.
ADVERTISEMENT
Setiap kali Peringatan Hari Pers Sedunia kebebasan pers dan berekspresi selalu menjadi topik utama pembahasan. Hal tersebut memang penting karena berkaitan dengan distribusi informasi kepada publik. Namun, bagaimana dengan kebebasan finansial para pekerja jurnalistik ini? apakah mereka saat ini sudah sejahtera? Ini juga penting karena akan berdampak pada kualitas produk jurnalistik yang mereka hasilkan.
Minimnya upah para jurnalis atau wartawan, salah satunya karena adanya perubahan pola bisnis yang dijalankan oleh media. Berbeda dengan dahulu, dimana media tradisional seperti koran, televisi, dan radio masih eksis, kini hampir semuanya bertransformasi ke media online. Namun, hal tersebut tampaknya tidak selalu berdampak positif karena jumlah media online saat ini semakin banyak sehingga persaingan untuk mendapatkan pembaca dan pengiklan juga semakin ketat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Dewan Pers jumlah media online di Indonesia hingga Januari 2023 berjumlah 1.711 perusahaan media.
Belum lagi tuntutan keras media kepada para wartawan. Untuk tetap bersaing di media online saat ini, adapun perusahaan media yang menuntut wartawan untuk membuat berita sebanyak-banyaknya demi mengejar algoritma Google. Selain itu, masih sering terjadi ancaman kekerasan, bahkan penyebaran informasi pribadi tanpa persetujuan pihak terkait atau biasa disebut dengan doxing. Menjadi seorang jurnalis tampaknya tidak mudah dengan banyaknya tuntutan dan ancaman kerja tidak sebanding dengan upah yang diterima.
Melansir dari JobStreet.co.id, rata-rata upah yang diterima oleh para wartawan di Indonesia saat ini berkisar Rp 2.500.000 hingga Rp 5.250.000 tergantung dari daerah dan media masing-masing. Hal ini masih jauh dari survei Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dimana wartawan berhak mendapatkan upah sebesar Rp8.299.229 untuk wilayah DKI Jakarta. Ini bukan tanpa alasan karena telah sesuai dengan peraturan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 dan telah disesuaikan dengan kebutuhan para wartawan.
Ilustrasi jurnalis yang sedang bekerja (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/tangan-laptop-komputer-mengetik-2069206/)
Hal ini tidak sebanding dengan biaya kuliah jurnalistik yang mereka tempuh di bangku kuliah. Mulai dari (UKT) uang kuliah tunggal, biaya kos dan kebutuhan lainya. Mungkin untuk mengembalikan seluruh biaya kuliah tersebut perlu waktu beberapa tahun bahkan belasan tahun bagi seorang yang berprofesi sebagai wartawan. Hal ini membuat para lulusan jurnalistik kerap kali banting setir dan memilih profesi lain yang tentunya lebih layak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, minimnya gaji para wartawan dapat menimbulkan potensi pelanggaran kode etik jurnalistik. Praktik pelanggaran yang kerap ditemui dalam profesi ini adalah jurnalis amplop, istilah ini merujuk pada pemberian “amplop” oleh narasumber kepada jurnalis. Pemberian “amplop” ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk suap dan hal tersebut dapat mempengaruhi objektivitas wartawan dalam menuliskan sebuah berita. Praktik ini telah membudaya selama bertahun-tahun, bahkan ada yang menganggap pemberian “amplop” ini hanya sekedar untuk menjaga silaturahmi dan hal wajar. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi kredibilitas pekerjaan mereka.
Seharusnya, kesejahteraan jurnalis atau wartawan perlu diperhatikan dan diperjuangkan agar mendapatkan penghidupan lebih layak. Ini penting karena profesi ini merupakan salah satu tonggak kehidupan demokrasi dan penyambung lidah rakyat. Jangan sampai profesi ini justru menjadi “sapi perah” bagi perusahaan media yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT