7 Strategi Hadapi Stres Keluarga Saat Pandemi

Desi Yoanita
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra. Mengajar kajian komunikasi interpersonal, komunikasi keluarga, dan literasi media.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 9:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desi Yoanita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, urusan pandemi masih belum ada titik terangnya. Makin banyak kota yang menjalankan PSBB. Sampai kapan kita menjalani kondisi ini, hanya Tuhan yang tahu. Sementara itu, kita harus bertahan, beradaptasi, dan bahkan harus mulai beraksi dengan cara yang baru.
ADVERTISEMENT
Semua perubahan ini memang rawan memicu kondisi stres, baik individu maupun keluarga. Relasi jadi rawan konflik, kecemasan juga meningkat. Apakah kondisi ekonomi bisa membaik? Bagi yang masih kerja takut dipotong gaji atau di-PHK, yang sudah di-PHK risau apakah akan bisa dapat pekerjaan lagi. Orang tua yang work from home (WFH) mendadak harus dobel peran jadi guru privat bagi anak-anaknya. Anak-anak juga tertekan karena 24 jam di bawah pengawasan orang tua, kebebasan seolah terenggut.
Suka atau tidak suka, pandemi Covid-19 ini harus kita jalani bersama. Menghindari stres jelas tidak mungkin, karena itu adalah reaksi wajar terutama dalam kondisi luar biasa seperti sekarang. Lantas bagaimana keluarga kita bertahan melewati masa-masa ini? Pakar keluarga Wesley R Burr dan Shierly R Klein menawarkan tujuh strategi yang bisa dilakukan dalam menghadapi family stress situation.
ADVERTISEMENT

Kognitif

Strategi paling dasar tapi bisa jadi paling sulit adalah menerima keadaan. Dalam situasi seperti sekarang ini, reaksi paling umum adalah mengeluh dan bertanya kenapa ini terjadi. Tapi justru dalam kondisi tidak berdaya itulah, kita memerlukan the power of acceptance. Menerima bahwa ada hal-hal yang di luar kontrol kita dan tidak bisa kita ubah. Alih-alih mengeluh dan meratapi nasib, sikap menerima akan memberikan kekuatan untuk berpikir lebih jernih.
Burr & Klein juga menyarankan kepada kita untuk tetap mencari berbagai informasi yang berguna, khususnya yang bisa menolong kita survive. Misalnya informasi terkini kebijakan pemerintah tentang pandemi, informasi kesehatan, informasi ekonomi. Tentu dalam hal ini kita perlu menyaring mana informasi yang akurat, dan mana yang hoax, atau yang berpotensi menambah rasa khawatir.
ADVERTISEMENT
Menerima kondisi dan mendapatkan informasi yang tepat akan memberikan kita perspektif dan pola pikir yang baru. Bisakah kita menjadikan pandemi ini sebagai peluang? Saya sendiri ketika mempraktikkan strategi ini akhirnya menyadari, ada kesempatan-kesempatan mewujudkan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan saat harus bekerja di kantor. Sekarang saya bisa menikmati makan bersama keluarga, punya waktu untuk menulis, ‘terpaksa’ belajar teknologi baru dalam mengajar, dan banyak lagi lainnya.

Emosi

Wajar jika dalam kondisi sekarang ini banyak yang emosinya teraduk-aduk. Cemas, takut, sedih, marah campur jadi satu. Ada juga yang merasa lega karena bisa lepas dari kemacetan yang biasa dialami kalau ke kantor, tapi juga frustrasi karena terkungkung di rumah. Ada baiknya kita bisa mengekspresikan perasaan kita dengan cara yang sehat. It’s ok to discuss it with other family members. Bisa juga menuangkannya lewat berbagai cara: lukisan, tulisan, nyanyian, dll.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kita juga mesti menyadari, anggota keluarga kita juga memiliki emosinya masing-masing. Jadi, mereka pun butuh keleluasaan untuk mengekspresikannya. Bisa jadi pelepasan emosinya lewat nge-game, berlama-lama di kamar mandi (ada orang yang bisa tenang saat berendam misalnya), dll.

Relasi

Prihatin sekali ketika banyak mendengar kabar tentang retaknya keluarga gara-gara terlalu lama bersama saat stay at home. Inilah saatnya mempererat ikatan antar anggota keluarga. Ingat kan, susahnya cari waktu untuk sekadar hang out bareng. Masing-masing punya kesibukan.
Sekarang, mumpung semua ada di rumah, boleh lho menjadwalkan kegiatan sederhana yang melibatkan semua anggota keluarga. Tentunya jadwal ini mesti disepakati dan ditepati semua anggota. Bisa makan, masak, atau nonton bersama. Saat itu, sebisa mungkin buat komitmen no gadget. Kebersamaan ini kalau dibiasakan akan meningkatkan keterbukaan, saling percaya, kerjasama, dan toleransi. Agar fair dan tak ada yang merasa dipaksa mengikuti jadwal ini, berikan dan saling hormati me-time masing-masing personil.
ADVERTISEMENT

Komunikasi

Membangun kedekatan perlu komitmen untuk saling mendengarkan, bukan sekadar mendengar. Mendengarkan sebetulnya tak hanya membutuhkan telinga tapi juga mata dan pikiran. Anak saya yang baru berusia tiga tahun biasa memanggil saya terus sampai saya menoleh lalu mendekat ke arahnya. Dia tak akan berhenti memanggil meskipun saya sudah menyahut “Ya?”. Ketika saya menoleh dan mendekat, dia baru merasa yakin kalau saya benar-benar memperhatikannya.
Fokus kepada lawan bicara juga menolong kita untuk peka terhadap pesan nonverbal yang disampaikannya. Ini tentu penting, karena membuat 65% pesan yang disampaikan manusia setiap harinya adalah non-verbal. Seringkali kita baru bisa membaca pesan sesungguhnya dari seseorang lewat ekspresi, nada bicara, kontak mata, dll.
Keterbukaan satu sama lain, selain membutuhkan kejujuran juga memerlukan kerendahan hati. Mengapa demikian? Karena kadang kita mendengar sesuatu yang tidak kita sukai. Misalnya ketika orang tua atau anak saling menyampaikan keberatan atau kekecewaan mereka pada yang lain. Tapi ketika ada kerendahan hati, sebisa mungkin kita menempatkan diri kita di posisi mereka dan berusaha lebih memahami perspektif mereka.
ADVERTISEMENT

Komunitas

Meskipun keluarga adalah relasi yang paling dekat, bukan berarti kita menutup hubungan dengan pihak luar. Masing-masing anggota keluarga tetap perlu berkomunitas lewat berbagai grup daring. Berhubungan dengan dunia luar termasuk memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri. Siapa tahu, lewat komunitas-komunitas kita malah bisa memikirkan berbagai proyek positif atau menghibur yang bisa dilakukan di masa pandemi ini (donasi atau cover lagu misalnya).

Spiritual

Pandemi ini benar-benar menyadarkan kita tentang keterbatasan manusia. Para ahli dari berbagai bidang telah mengerahkan segala kemampuan mereka untuk menanggulangi virus dan efek domino yang ditimbulkannya. Namun sampai sekarang masih belum ada solusi yang pasti untuk kondisi ini. Keterbatasan manusia mengatasi masalah inilah yang membuat Burr & Klein merumuskan strategi keenam ini.
ADVERTISEMENT
Kita semua, sebagai individu maupun keluarga perlu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa, memohon kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini. Kondisi sekarang ini juga mengingatkan kita untuk bersyukur dalam semua hal, termasuk hal-hal simpel sekalipun. Selama ini ternyata kita sering take many things for granted. Bisa bernafas, bisa berjabat tangan, bisa sekolah, bisa kerja, bisa beribadah. Semua kebebasan yang selama ini kita anggap biasa, sekarang ditahan dari kita. Inilah saatnya mensyukuri semua yang kita punya, dan berharap pada waktunya nanti pandemi ini akan berakhir.

Pengembangan diri

Salah satu dampak positif dari pandemi ini adalah kemudahan kita belajar banyak hal baru. Begitu banyak pelatihan atau webinar yang dibuka, baik gratis maupun berbayar. Kalaupun berbayar, biayanya jauh lebih murah dibanding pertemuan tatap muka. Daring juga memungkinkan kita ikut acara-acara yang diadakan di luar kota maupun luar negeri. Tentu ini adalah kesempatan yang teramat baik untuk masing-masing individu dalam keluarga meningkatkan kemampuannya.
ADVERTISEMENT
Selain kelas daring, berada di rumah juga memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang biasanya sulit kita lakukan karena keterbatasan waktu. Ibu-ibu misalnya, pasti saat ini sedang terpaksa jadi chef setiap hari, berarti harus cari inspirasi menu dan coba masak makanan baru. Ada seorang kenalan saya yang semasa WFH ini belajar fotografi otodidak, hanya dengan memanfaatkan arah sinar matahari setiap hari di beranda kamarnya. Teman yang lain memborong kanvas dan cat, lalu mulai melukis lagi. Padahal ia terakhir melukis saat SMA! Dan turns out, goresannya masih sangat bagus. Hobi tersalurkan, stres teralihkan, dan bonus tambahan hiasan rumah.
Nah itu dia tujuh strategi, yang meski dirumuskan Burr & Klein di tahun 1994, namun ternyata masih sangat relevan saat ini. Bahkan jika ada kebiasaan-kebiasaan baik yang baru dimulai saat ini, bisa diteruskan, bahkan ketika pandemi berakhir. Selamat berstrategi dan bersinergi bersama keluarga masing-masing.
ADVERTISEMENT
Desi Yoanita
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra, Surabaya