Rentannya Para Remaja di Masa Pandemi

Desi Yoanita
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra. Mengajar kajian komunikasi interpersonal, komunikasi keluarga, dan literasi media.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2020 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desi Yoanita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga. Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga. Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
COVID-19 yang santer disebut sejak Januari 2020, mengobrak-abrik segala rencana awal tahun hampir semua manusia di muka bumi ini. Tak hanya individu, ia juga menghantam lebih dari 200 negara. Aktivitas ekonomi melambat, jutaan tenaga kerja dirumahkan atau diberhentikan. Sektor pariwisata nyaris lumpuh. Hotel dan maskapai penerbangan merugi habis-habisan.
ADVERTISEMENT
Virus ini memang tak pandang bulu. Bahkan negara yang mutakhir dalam bidang kesehatan pun seolah tak berdaya. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada konfirmasi pasti tentang vaksin yang berhasil dibuat.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), selain orang-orang dengan penyakit kronis, lansia juga merupakan golongan yang paling rentan terhadap virus ini. Namun orang-orang sehat yang usianya lebih muda juga termasuk kelompok rentan, secara ekonomi. Di Indonesia saja, menurut data Menaker, sekitar dua juta orang kena PHK. Mereka yang masih bekerja juga tak bisa terlalu tenang, karena sebagian perusahaan memilih melakukan pemotongan gaji sementara.
Di saat dua kelompok usia tersebut sedang berjuang mengatasi beratnya tekanan hidup dalam masa pandemi ini, ada satu kelompok usia yang secara fisik tampak kuat, secara ekonomi juga tak mendapat dampak langsung. Kendati demikian, menurut saya mereka pun masuk kategori rentan, khususnya secara mental. Mereka adalah yang masih berstatus “anak” dalam keluarga. WHO menyatakan, anak usia 10-19 tahun rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Bahkan jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat, mereka bisa berakhir bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Selama ini mereka disibukkan dengan aktivitas belajar, pertemanan, dan segudang kreativitas kekinian. Kini semua berubah dalam sekejap. Semua aktivitas itu harus tertahan. Semua dikerjakan dari rumah. Mereka yang sekolah atau kuliah di perantauan kebanyakan juga memilih pulang ke kampung halaman, untuk menghemat pengeluaran.
Mendekam di rumah saja sudah merupakan tantangan tersendiri buat Generasi Z yang terbiasa punya banyak aktivitas. Dan meskipun mereka disebut digital natives, mereka juga butuh bersosialisasi tatap muka. Dalam sekejap dunia mereka berubah. Mereka harus beradaptasi dengan kelas dan tugas daring, keterbatasan kuota, pembatalan berbagai acara menarik yang sudah mereka rencanakan.
Saat sedang kalang kabut menyesuaikan diri, mereka harus berhadapan dengan masalah keluarga yang biasanya terkubur atau bisa dilupakan dengan berbagai rutinitas dan kesibukan di luar rumah. Pertengkaran ayah dan ibu maupun omelan orang tua menjadi lebih sering terdengar karena kali ini mereka 24 jam berada di rumah. Memang COVID-19 ini tak hanya menyerang secara fisik, tapi berbagai dampaknya bisa mempengaruhi mental health banyak orang, termasuk orang tua. Urusan finansial sampai pembagian tugas sehari-hari di rumah menjadi stressor yang tak terelakkan.
ADVERTISEMENT

Wajar, tapi jangan perberat

Sebenarnya wajar saja jika selama masa karantina konflik antaranggota keluarga meningkat. Selain tekanan dari masalah eksternal yang kuat, konflik sendiri pasti akan lebih sering terjadi kalau kita lebih sering bertemu. Kesalahan-kesalahan lebih sering terlihat, dan hampir tiap orang mengeluarkan “dark side”-nya ketika dalam kondisi tertekan. Lebih mudah marah, lebih sensitif, lebih gampang tersinggung. Otomatis gesekan antar individu lebih sering terjadi. Dilansir dari dailymail.co.uk, dalam tiga minggu, 300 pasangan suami istri mendaftarkan perceraiannya. Alasannya, mereka terlalu banyak menghabiskan waktu bersama akibat karantina selama COVID-19 outbreak. Tentu harapannya ini tak terjadi di Indonesia.
Kondisi ini tentu tak enak buat semua pihak, termasuk para anak dalam keluarga. Pandemi ini, bagaimanapun merupakan unpredictable stressor. Tak seorang pun di dunia ini, mungkin termasuk pemimpin negara, yang siap menghadapi situasi karut marut seperti sekarang ini. Para remaja yang selama ini terlihat santuy menjalani hidup, kini limbung. Apalagi ditambah harus melihat orang tuanya stres karena masalah finansial, mendengar orang tuanya ribut, dan merasakan omelan orang tua.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini tak bermaksud menggurui para orang tua yang tentunya sedang berjuang menghadapi masa yang berat ini. Tapi apa yang terjadi di masa yang sementara ini (dan kita harapkan segera berakhir), bisa berdampak jangka panjang. Sakit hati dan tekanan mental yang dihadapi anak kita saat ini akan menorehkan luka dan trauma berkepanjangan. Bahkan bisa berdampak pada keluarga masa depannya kelak.
Sebagai orang tua, merupakan salah satu tugas berat kita untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi kesehatan mental mereka. Rendahnya level konflik dalam keluarga merupakan salah satu faktor yang memproteksi anak-anak dari mental disorders (Chadda, 2018). Kita perlu menyadari, situasi ini tidak hanya sulit untuk orang dewasa, tapi juga untuk mereka. Menurut Davey, Gulish, Askew, Godette, & Childs (2005), anak-anak merupakan pihak yang sangat terpengaruh oleh tekanan dalam keluarga karena mereka merasakan kesedihan, kebingungan, dan kemarahan. Apalagi mereka yang berusia remaja hingga pemuda karena mereka sudah cukup mengerti apa yang sedang terjadi.
keselamatan dan perlindungan keluarga Foto: Shutterstock

Tiga Langkah Sederhana

Anak-anak muda ini, meski tampaknya cuek, meski diam saja, sesungguhnya mereka tahu dan paham kalau saat ini orang tua mereka sedang gelisah dan kesusahan. Namun mereka ingin mendengar keluh kesah yang disampaikan dengan baik, dalam bentuk diskusi. Mereka tak sanggup lagi mendengar omelan, sindiran, bentakan, atau teriakan. Komunikasi yang tidak tepat malah bisa jadi sumber stressor dalam keluarga. Sementara komunikasi yang baik dan bijak bisa menjadi coping strategy dalam situasi penuh tekanan (Maguire, 2012).
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi level stres mereka. Pertama, jangan bertengkar di depan anak. Prinsip ini tetap penting, terutama di tengah kondisi rawan konflik. Kalau terpaksa harus berdebat, lakukan di ruang tertutup. Lalu sebisa mungkin selesaikan konflik dengan segera. Melihat atau mendengar pertengkaran orang tua adalah hal terakhir yang mereka inginkan ketika berada di rumah.
Kedua, ajak mereka berdiskusi tentang situasi keluarga saat ini. Percayalah, anak-anak ini punya banyak ide, jejaring mereka luas, wawasan mereka tak sesempit yang orang dewasa pikirkan. Mereka hanya butuh dilibatkan. They need to be needed. Mungkin mereka punya ide menarik yang membukakan mata kita akan peluang usaha baru. Kita juga butuh bantuan mereka ketika harus berurusan dengan teknologi. Biarkan mereka berkreasi. Kita memang lebih berpengalaman, namun ide segar dan keberanian mereka bisa jadi sangat kita butuhkan saat ini. Buat mereka bangga karena ikut berjuang dalam masa sulit ini. Inilah kesempatan mereka belajar tentang kerasnya kehidupan rumah tangga dengan cara yang konstruktif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tetap berikan mereka privasi. Ketika sedang berada di kamar, belum tentu mereka rebahan terus-terusan. Bisa saja mereka kerja tugas, membuat konten, kolaborasi proyek, atau kegiatan produktif lainnya. Ketika kita tidak mencurigai mereka, keterbukaan akan tentu akan mengikuti. Buat perjanjian saja, kapan seluruh anggota keluarga harus berkumpul, aktivitas bersama, dan kapan masing-masing punya waktu mandiri.
Di tengah pandemi ini, ketika semua orang harus kembali ke rumah, this is the time to make our family stronger than ever. Jadikan situasi rawan konflik ini menjadi batu uji yang membawa keluarga kita naik kelas. Supaya bisa naik kelas, dibutuhkan kerjasama semua anggota keluarga, termasuk anak-anak. Jadikan jiwa mereka yang rentan itu menjadi sekuat intan.
ADVERTISEMENT