Tetap Perlu Teman di Masa Physical Distancing

Desi Yoanita
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra. Mengajar kajian komunikasi interpersonal, komunikasi keluarga, dan literasi media.
Konten dari Pengguna
16 September 2020 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desi Yoanita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi teman Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teman Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pandemi yang berkepanjangan ini nggak hanya bikin was-was dari sisi kesehatan dan ekonomi, tapi juga sisi sosial. Kekhawatiran ini khususnya ditujukan untuk kaum remaja. Ada seorang remaja yang bilang begini ke saya, "Lama-lama aku kok jadi males ya ngobrol sama teman. Kayaknya makin lama di rumah, makin merasa sendiri lebih baik!"
ADVERTISEMENT
Gawat juga ya kalau begitu. Padahal masa-masa pertumbuhan mereka sebetulnya penting sekali dibarengi dengan kemampuan bersosialisasi dan berteman secara sehat. Pada usia mereka, peran peer atau teman sebaya sungguh besar. Dalam masa-masa ini mereka sedang mengurai dan mengumpulkan puzzle konsep diri, merancang impian masa depan, bahkan lirik-lirik calon pacar.
Apa daya, keharusan melakukan pyhsical distancing membuat interaksi sosial juga terhambat. Nggak ada lagi acara nonton bareng, ngafe, kerja tugas kelompok, bahkan liburan bareng. Semuanya sekarang serba online. Ketemunya terbatas di layar hp atau laptop. Tak heran, banyak yang nggak tahan, lantas melanggar aturan new normal, dan malah berisiko menciptakan klaster COVID-19 baru.
Sebetulnya, pertemanan tetap perlu dilakukan meski ada kendala jarak. Kenapa? Karena kita (termasuk remaja) enggak bisa mengingkari natur sebagai makhluk sosial. Manusia punya kebutuhan dikasihi, diperhatikan, dan diakui. Berelasi membuat remaja merasa punya rekan senasib sepenanggungan. Rekan yang bisa memengaruhi dalam konteks positif.
ADVERTISEMENT
Nah, jadi bagaimana agar para remaja tetap bisa berteman di masa pandemi? Berikut do's and don'ts yang bisa dibagikan pada mereka:

Tetap usahakan kontak tiap hari

Meski tidak bisa ketemu, manfaatkan teknologi untuk tetap bisa connect dengan teman. Jangan hanya sibuk mantengin feed atau story IG. Harus betul-betul make a real conversation, seperti menyapa, nanya kabar, aktif ngobrol. Mulai dari obrolan ringan seputar drakor, olahraga, sampai curhatan.

Tidak egosentris dan egois

Kalau sudah berbincang, jangan lupa untuk fokus juga jadi pendengar. Jangan hanya berpusat pada diri sendiri. Teman kita juga butuh didengarkan, dikasih saran, dihibur. Juga jangan melulu pakai standar kita (ini juga berlaku untuk relasi offline sih). Misal kalau kita biasanya gercep atau fast response, nggak semua orang bisa gitu. Mereka punya kesibukan yang beda dan jangkauan sinyal berpengaruh juga pada kecepatan merespon.
ADVERTISEMENT

Jaga ketulusan

Jangan hanya kontak teman kalau pas butuh. Giliran nggak butuh, kita nggak kontak atau merespon. Orang yang seperti itu pasti lama-lama akan dijauhi teman-temannya. Selain itu, pertemanan yang tulus itu juga konstruktif. Kalaupun kita menegur atau mengingatkan, memang dengan motivasi membangun, bukan untuk menjauhkan. Kalau teman kita melakukan hal yang nggak pas, tegur secara langsung hati ke hati. Jangan dijadikan bahan omongan di belakangnya.

Berteman dengan yang 'nyata'

Don't talk to strangers! Bahayanya era virtual adalah menjamurnya identitas palsu. Jadi, sebaiknya jalinlah relasi dengan teman yang memang pernah kita temui. Jangan yang out of nowhere menyapa kita lewat DM medsos atau gim online. Kalau kita belum pernah ketemu, mana bisa kita tahu siapa dia sesungguhnya. Hati-hati, banyak predator dan penjahat siber yang lihai dan memanfaatkan situasi ini untuk memangsa korban.
ADVERTISEMENT

Hindari teman toxic

Pertemanan seharusnya membuat kita aman sentosa dan damai sejahtera. Kalau yang kita rasakan malah sebaliknya, itu tanda kita berteman dengan yang toxic. Merasa tertekan, dimanfaatkan, di-bully adalah tanda-tanda relasi kita sudah nggak sehat. Tapi, kita juga mesti berani koreksi diri. Kadang istilah toxic relationship ini overrated. Bisa jadi teman cuma mau mengkritik kita. Alih-alih memperbaiki diri, kita malah defensif lalu men-cap mereka toxic.
Nah, tapi bagaimana kalau teman kita toxic beneran? Ungkapkan ketidaknyamanan kita kepadanya. Kenapa? Karena bisa jadi dia tidak sadar (dan banyak lho yang memang nggak sadar). Jadi nggak ada salahnya, di tahap pertama kita perlu mengingatkan dan menyadarkan mereka. Tapi kalau setelah itu mereka nggak berubah, malah bahkan menjadi-jadi, then it's time to leave the relationship.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau teman kita mengancam? Apalagi di era daring ini semua hal bisa disebarluaskan dengan cepat. Rahasia kita bisa bergulir secepat kilat lewat jalur instant messaging atau medsos. Nah, inilah tandanya seorang remaja perlu bantuan orang dewasa. Bahkan, sesama remaja pun belum tentu bisa menyelesaikan relasi yang rumit seperti ini.
Bagaimana mengenali gejala toxic relationship dan bebas dari relasi seperti itu? Ini akan kita bahas di artikel selanjutnya ya.

Hindari komunitas gosip

Well, entah kenapa gosip memang selalu bisa jadi percakapan menarik. Bahkan ampuh jadi pencair suasana. Tapi, di kehidupan yang makin rumit ini, ada baiknya kita menghapus hal-hal yang nggak berfaedah. Waktu kita terbatas, kesempatan ngobrol juga terbatas. Jadi, sudah saatnya gosip dihapus dari kamus percakapan di masa pandemi ini (dan seterusnya). Bukan berarti obrolan kita melulu tentang hal-hal serius. Kita bisa tetap bercanda tanpa bicara hal-hal yang tak berdasar. Eits, tapi kalau mau mengkonfirmasi gosip, boleh kok. Supaya fakta yang sebenarnya terungkap dan gosip nggak berkembang ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Itulah beberapa tips mempertahankan pertemanan remaja di masa physical distancing ini. Skill ini harus tetap kita kembangkan, karena kita belum tahu kapan situasi akan kembali seperti dulu. Memang kita wajib physical distancing. Tapi jangan sampai remaja kehilangan pengalaman lika-liku berelasi gara-gara pandemi. Pengalaman berinteraksi bersahabat akan jadi momen berharga tak terlupakan seumur hidup.
------------------------------------------------------------------------
Desi Yoanita
Dosen Komunikasi Interpersonal dan Komunikasi Keluarga
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Kristen Petra Surabaya
Note
Materi ini juga dibawakan penulis dalam Sesi Webinar "Berteman di Masa Pandemi" untuk adik-adik kelas X SMAK Frateran, Surabaya.