Harga Murah di Social Commerce: Predatory Pricing?

Deswin Nur
Praktisi Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen, dan Kepala Biro Humas dan Kerja Sama pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Konten dari Pengguna
6 September 2023 5:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deswin Nur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Belanja Online. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Belanja Online. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Istilah social commerce atau perdagangan melalui media sosial mulai menuai popularitas belakangan ini. Terakhir dengan adanya keinginan pemerintah untuk mengusut barang impor di TikTok Shop yang dijual sangat murah dan di bawah harga pokok produksi produk lokal, serta mengarah pada predatory pricing.
ADVERTISEMENT
Apakah benar mengarah pada praktik predatory pricing atau harga yang sangat rendah dan mematikan? Atau ada hal lain? Berbagai pertanyaan inilah yang akan kita kuliti lebih jauh.
Sebelum masuk ke sana, kita patut akui bahwa social commerce adalah hal baru yang tengah naik daun. Kata DigiVenders di tahun 2020, nilai globalnya mencapai USD 89,4 miliar dan diprediksi USD 604,5 miliar pada tahun 2027. Di Indonesia, DSInnovate menyebutkan pasarnya ditahun 2022 mencapai USD 8,6 miliar dengan estimasi pertumbuhan tahunan 55% dan diperkirakan menyentuh USD 86,7 miliar pada 2028.
Social commerce di satu sisi menjadi wadah bagi UMKM untuk memasarkan produk, namun dapat menciptakan tekanan persaingan dari produk impor dan berkontribusi pada tutupnya toko-toko di pusat perbelanjaan, Tanah Abang misalnya. Perkembangannya tidak lepas dari pesatnya penggunaan media sosial di Indonesia, yang 167 juta orang, atau setara 78% dari total pengguna internet Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam berbelanja, konsumen Indonesia makin senang berbelanja secara daring. Mereka menggunakan media sosial untuk mencari dan membandingkan produk, sebelum akhirnya melakukan pembelian. Survei Global WebIndex menyebut proses itu dilakukan oleh 54% pengguna internet.
Ilustrasi TikTok. Foto: Shutterstock
Kebanyakan menggunakan media sosial untuk membeli pakaian, produk kecantikan, makanan, dan aksesoris elektronik, sebagaimana hasil survei Populix tahun lalu. TikTok Shop adalah platform yang paling banyak digunakan oleh perempuan, sedangkan Instagram Shop oleh laki-laki, lanjutnya.
Integrasi platform media sosial dan penjualan barang memberikan kenyamanan dalam menentukan perilaku berbelanja. Apalagi jika konsumen sudah sangat percaya pada pemengaruh tertentu. Tidak jarang proses belanja dilakukan secara instan, karena diiming harga murah dan jumlah terbatas. Apakah itu mengarah pada predatory pricing?
ADVERTISEMENT
Perlu kita pahami bahwa platform media sosial menyediakan wadah interaksi antar pengguna, yang menghubungkan penjual dengan pembeli. Jadi platform sebagai pasar. Jika platform tidak mengeluarkan produk sendiri dan menjualnya di platform mereka, mereka murni bertindak sebagai platform atau perantara.
Penjual adalah pengguna platform. Jadi jika ada harga sangat rendah yang ditawarkan penjual, bukan berarti platform yang menawarkan harga sangat rendah. Bagaimana jika harga penjual sangat rendah? Ini bisa karena beberapa hal, seperti produk itu dijual secara grosiran atau berkualitas rendah atau untuk menghabiskan stok lama atau bukan produk asli.
Predatory pricing atau harga yang sangat rendah atau jual rugi dikenal dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang persaingan usaha sehat di pasar. Konteks persaingan di pasar mengasumsikan produk yang dijual di pasar tersebut memenuhi berbagai standar atau kriteria yang sama agar lingkungan di pasar tersebut kondusif.
com-Ilustrasi berjualan online Foto: Shutterstock
Tidak ada penjual yang didiskriminasi. Artinya setiap penjual di pasar atau platform, harus memenuhi berbagai standar atau ketentuan yang berlaku sebagaimana ditetapkan pemerintah pada penjual. Bisa jadi izin perusahaan, pajak, standar nasional, merek/label atau penjelasan kandungan/asal barang, kebijakan penukaran atau pengembalian barang, hingga berbagai kebijakan untuk melindungi konsumen.
ADVERTISEMENT
Platform sebagai pasar, apakah telah dan konsisten melakukan hal itu? Jika para penjual telah memenuhi ketentuan untuk berusaha secara adil atau setara di pasar, barulah kita berbicara mengenai persaingan usaha sehat, atau predatory pricing. Karena tidak pas kita berbicara undang-undang tersebut atas barang selundupan melawan barang yang diproduksi secara sah.
Jadi, kembali ke konsep predatory pricing. Praktik ini merupakan penjualan secara merugi atau harga yang sangat rendah, dengan maksud menyingkirkan atau mematikan usaha pesaing di pasar bersangkutan atau yang sama.
Secara praktik, perilaku dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar besar. Karena mereka harus menjual secara rugi atau sangat rendah dalam waktu yang cukup lama, agar pesaingnya mulai tersingkir atau keluar dari pasar.
ADVERTISEMENT
Perilaku ini tidak bisa dilakukan UMKM atau penjual dengan modal terbatas. Penekanan lain adalah, pesaing di pasar bersangkutan atau yang sama. Jadi diperlukan pembuktian bahwa predatory pricing berdampak pada pesaing di pasar yang sama.
Ilustrasi Belanja Online. Foto: Shutterstock
Penjual pakaian dengan penjual elektronik bukan di pasar yang sama. Perusahaan platform tidak berada dalam pasar yang sama dengan penjual. Pesaing perusahaan platform adalah perusahaan platform lain. Jadi kalau bicara TikTok, maka pesaingnya Shopee, Instagram dan lainnya. Jadi persoalan yang berkembang saat ini, belum dapat didekati dengan istilah predatory pricing. Nah, lalu apa persoalannya?
Persoalan ini lebih pada ketidakseimbangan dalam persaingan. Penjual yang memanfaatkan platform untuk menjual barangnya, harus dikenakan aturan atau kebijakan yang sama. Misalnya atas standar kualitas minimal barang, kewajiban perlindungan konsumen, perizinan, beban perpajakan, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tugas platform sebaiknya memeriksa apakah calon penjual memenuhi berbagai kondisi tersebut sebelum diizinkan melakukan penjualan di platform-nya.
Sementara, tugas pemerintah adalah memastikan agar platform tidak bertindak sebagai penjual di platform miliknya, memastikan agar data atau perilaku pembeli tidak disalahgunakan, serta memastikan keamanan transaksi dan pemenuhan hak konsumen dalam bertransaksi di platform.
Jadi berbagai pihak, baik platform, pemerintah, atau pengawas memiliki perannya masing-masing dalam mengawal social commerce, dan tidak dicampuradukkan. Yang dibutuhkan adalah koordinasi dan transparansi antar pihak, bukan saling menyalahkan.
Ibarat kata orang tua (paling tidak orang tua saya), di tengah gelapnya malam, arahkanlah sentermu ke depan untuk mencari jalan. Jangan diarahkan ke tubuhmu, karena yang terlihat hanya bayanganmu.
ADVERTISEMENT