Konflik Asimetris Terhadap Etnis Rohingya di Myanmar

Devi Adelia
A student of International Relations at the Islamic University of Indonesia.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2022 20:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Devi Adelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengungsi Rohingya (Sumber foto: Antara Foto/ Antara/ via Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Sumber foto: Antara Foto/ Antara/ via Reuters
ADVERTISEMENT
Etnis Rohingya merupakan sekelompok muslim yang bertempat tinggal di sisi barat wilayah Myanmar, tepatnya di Rakhine. Dalam catatan sejarah, konflik ini telah muncul sejak tahun 1962. Namun, konflik ini kembali menjadi isu hangat dan diperbincangkan oleh dunia internasional pada tahun 2012, dikarenakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar diduga melanggar hak asasi kaum etnis Rohingya. Faktor penyebab terjadinya konflik tak seimbang tersebut yaitu karena adanya ketidakadilan struktural (Structural Inequality) yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut dibuktikan dengan tindakan aparat keamanan Myanmar yang cenderung represif sehingga membuat kelompok etnis Rohingya merasa tidak aman dan etnis Rohingya mengalami ketakutan yang luar biasa akibat adanya tekanan aparat keamanan Myanmar yang dilandasi oleh kebijakan politik yang otoriter.
ADVERTISEMENT
Dinamika Konflik
Berbicara konflik asimetris yang dihadapi oleh etnis Rohingya tidak terlepas dari sejarah. Sekilas dapat dilihat bahwa keberagaman etnis di Myanmar tidak dapat dilepaskan dari kependudukan Inggris pada tahun 1824. Pada tahun 1962, saat itu ketika Pemerintah junta militer merebut kekuasaan, gerakan politik diskriminasi terhadap agama dan ras minoritas di mulai. Etnis Rohingnya dianggap sebagai sekelompok masyarakat asing dan bukan bagian dari Myanmar. Tepat pada tahun 1982, pemerintah menetapkan kebijakan baru pada undang-undang yang membuat masyarakat Rohingya semakin terpinggirkan bahkan tidak dianggap yakni dengan tidak memasukan Rohingnya sebagai warga Myanmar. Terlepas dari faktor tersebut, pengaruh rendahnya ekonomi dan pendidikan menjadi salah satu faktor penting mudahnya provokasi yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat Budha yang berkedok isu identitas.
ADVERTISEMENT
Berbagai bentuk tindakan kekerasan kerap kali dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Sebagian dari kelompok etnis Rohingya mengungsi ke berbagai negara untuk menghindari kekerasan. Berdasarkan data yang dilansir dari laman berita BBC, hingga pada oktober tahun 2018 korban jiwa yang terbunuh karena tindakan kekerasan Pemerintah Myanmar mencapai angka ribuan. Pengungsi yang keluar dari Myanmar juga kian hari mengalami peningkatan. Tentu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru karena tindakan kekerasan ini telah terjadi selama berpuluhan tahun, yaitu tepatnya sejak tahun 1948 dimana Myanmar merdeka dari Inggris.
Etnis Rohingya sebagai sebuah etnis yang tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah sendiri, kerap kali mendapatkan perlakuan buruk salah satu diantaranya yaitu kerja paksa yang merupakan hal yang begitu lazim dilakukan oleh pemerintah Myanmar. Selain itu, etnis Rohingya juga mendapatkan siksaan dalam bentuk religi lewat rusaknya rumah ibadah dan pembatasan berbagai hak asasi yang seharusnya didapatkan oleh etnis Rohingya sebagai seorang manusia maupun sebagai seorang warga negara. Dengan begitu lantang pemerintah Myanmar menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh. Meskipun etnis Rohingya sudah beberapa kali membantah asumsi tersebut, tetapi hal tersebut terus disangkal oleh pemerintah Myanmar. Tentu hal ini membuat etnis Rohingya sebagai salah satu etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki status kewarganegaraan.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan Aktor dan Kepentingannya
Berdasarkan pada kronologi konflik, setidaknya ada 2 aktor yang terlibat dalam konflik tersebut yaitu etnis Rohingya dan Pemerintah Myanmar. Etnis Rohingya atau kelompok minoritas terlibat aktif dalam hal menyuarakan dan menuntut pemerintah Myanmar untuk memenuhi hak-hak dasar mereka baik itu dari segi hak atas sipil maupun politik. Tentu tuntutan atas hak-hak tersebut dapat diimplementasikan dengan cara mengakui secara sah bahwa etnis Rohingya merupakan bagian dari salah satu etnis yang ada di Myanmar. Sedangkan, aktor yang kedua yaitu pemerintah Myanmar, yang dimana merupakan aktor yang memainkan peran yang sangat penting dalam konflik tersebut. Pemerintah Myanmar kerap kali melakukan tindakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut bertujuan untuk membuat etnis Rohingya merasa tidak aman dan segera keluar dari wilayah Myanmar. Abubacarr Tambadou yang merupakan seorang politisi sekaligus pengacara Gambia mengatakan bahwa militer dan warga sipil menyusun taktik serangan terhadap etnis Rohingya melalui tindakan kejahatan dengan melibatkan orang dewasa hingga anak-anak dan bahlan bayi turut menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana pemerintah yang semestinya, pemerintah Myanmar seharusnya dapat menjadi aktor yang dapat meredakan konflik. Sikap yang dikeluarkan oleh pemerintah Myanmar tentu membuat banyak aktor berspekulasi bahwa konflik ini disengaja untuk mencapai kepentingan politik semata.