Mau Hijrah dari Cantrang ke Gillnet, Nelayan Terkendala Modal

1 Mei 2017 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi jaring ikan. (Foto: Pixabay)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melarang para nelayan untuk menangkap ikan menggunakan cantrang. Selain merusak lingkungan laut, hasil tangkapan dari cantrang diyakini tak akan maksimal.
ADVERTISEMENT
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyediakan beberapa langkah penanganan untuk nelayan yang terkena dampak pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang tersebut. Penanganannya dibagi berdasarkan besarnya kapal nelayan.
Pertama, untuk nelayan dengan kapal di bawah 10 gross ton (GT), pemerintah menyediakan alat tangkap pengganti yang ramah lingkungan. Penggantian akan dilakukan secara menyeluruh.
Kedua, untuk nelayan dengan kapal 10-30 GT, pemerintah akan membantu fasilitas permodalan dari bank. Fasilitas itu diharapkan bisa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha nelayan.
Iustrasi nelayan melaut. (Foto: Pixabay)
Ketiga, bagi nelayan dengan kapal-kapal besar di atas 30 GT, pemerintah menyediakan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Timur dan Barat yaitu laut Arafura dan Natuna.
Meski demikian, hingga saat ini masih ada beberapa nelayan enggan beralih ke alat penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana mengatakan, ada beberapa alasan tersebut, salah satunya kendala modal.
"Mereka saya rasa mau beralih ke alat penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan, tapi memang bagi kapal-kapal besar kita ini terkendala di modal. Harga jaring gillnet memang enggak murah," ujar Suhana saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com) di Semarang, Jawa Tengah, Senin (1/5).
Kapal Cantrang yang sudah beralih alat (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
Selain modal, budaya juga mejadi alasan lainnya nelayan tersebut masih betah menggunakan cantrang. Menurutnya, bagi nelayan dengan kapal besar berlayar hingga ke Laut Arafuru, perairan yang berada di antara Australia dan Pulau Papua, mereka harus mengorbankan waktu yang lebih lama dibandingkan biasanya.
"Kalau pakai cantrang biasanya 30 hari katakanlah, kalau ke Arafuru mereka bisa tiga bulan enggak pulang atau lebih. Ada unsur budaya, keluarga mereka di rumah kan nunggu. Enggak mudah mengubah kebiasaan itu," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Nelayan menggunakan bahan bakar gas LPG 3 kg (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Akademisi dari IPB ini juga mengatakan, perbankan menjadi salah satu alasan para nelayan belum beralih ke alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Ia mengaku, dukungan perbankan bagi nelayan memang kurang.
"Karena nelayan kan dianggap enggak capable bagi perbankan, masih high risk. Jadi untuk kredit atau pinjam uang ke bank masih banyak pertimbangannya dari bank. Tapi KKP juga akan bantu," tuturnya.
Alasan lainnya yakni sosialisasi dan pelatihan dari KKP yang belum maksimal.
"Tinggal meneruskan ke bawahnya saja pasti bisa maksimal," pungkasnya.